cover landing

Sekali Lagi di Helsinki

By EvaWidya


Setelah penerbangan penuh guncangan tadi, Ada merasa begitu mual. Kakinya masih sedikit gemetar dan lemas. Berdirinya juga tak ajek, seolah sebagian dari dirinya masih belum yakin bahwa mereka sudah menginjak permukaan bumi yang rata dan stabil, bukan di dalam burung besi yang sebentar-sebentar terombang-ambing diempaskan angin. Ia amat sangat membenci pesawat, tak peduli milik maskapai seterkenal apa pun, tak peduli berapa lama durasi penerbangan yang ditempuhnya. Seaman-amannya burung besi itu, seperti yang dikatakan oleh banyak orang yang meyakini bahwa kecelakaan pesawat jumlahnya jauh lebih kecil daripada kecelakaan di darat, tetap saja ia tak pernah secara sukarela ingin berlama-lama di dalamnya. Seandainya ada jenis transportasi lain yang bisa digunakannya, niscaya ia akan memilih yang lain itu meski akan memakan waktu jauh lebih panjang.

Atau kalau memang bisa lebih baik daripada itu, ia sama sekali tak akan menolak jika ditawari tumpangan jet pribadi gratis misalnya. Selain bisa duduk tenang, ia tak akan perlu menahan diri untuk tidak mengomeli anak-anak berisik yang orang tuanya kurang ajar itu di pesawat. Anak-anak nakal yang berlarian ke sana ke mari di koridor pesawat dan membuatnya semakin pusing. Mengingatkannya bahwa dalam empat minggu ke depan ia harus berurusan dengan setan-setan kecil itu.

Sayangnya, tak ada yang seperti itu. Dari Jerman ke Finlandia pilihannya hanya sedikit: kereta dari Munich ke Moskow, lalu dari Moskow ke Helsinki yang totalnya akan memakan waktu sekitar 2-3 hari, atau berkendara dari Frankfurt ke Tallinn, lalu menyeberang dengan kapal. Itu juga sama lamanya dan pihak Goethe jelas tak akan memberikan restu semudah itu kepadanya. Sudah untung mereka menjatuhkan pilihan pada dirinya untuk program ini, sekarang malah mau mengatur-atur hal lainnya.

Sambil menghela kopernya yang besar, ia berjalan melewati palang pemeriksaan imigrasi otomatis untuk warga Uni Eropa, lalu terus melangkah dengan kaki lemas perut mual ke restoran yang ia lupa namanya, tetapi menurut pesan singkat yang tadi diterimanya ketika masih di Frankfurt, berada tepat tak jauh dari pintu masuk kedatangan, tepat di depan supermarket kecil. Hiruk-pikuk bandara yang tak terlalu besar—namun tak terlalu kecil—itu membuat dirinya sedikit banyak kembali hidup setelah terkurung dalam sangkar besi. Seraya memperlambat langkahnya, Ada memindai restoran mirip pujasera yang tak berdinding di sana, mencari-cari orang yang akan menjemputnya dan mati-matian berupaya mengingat seperti apa wajah si penjemput.

Otaknya yang masih menyesuaikan diri sama sekali tak bisa diajak bersahabat. Ia benar-benar lupa seperti apa tampang keponakan suami Ingrid itu. Yang ia ingat hanyalah namanya saja yang singkat, tetapi bukan wajahnya. Padahal, beberapa kali mereka saling berkirim pesan terkait sewa apartemen dan Ada telah melihat foto pria itu di profil WhatsApp. Bahkan sebelum ke sini pun ia sudah mengeceknya sekali lagi, berusaha mematrinya di dalam ingatan. Namun, jejak yang tertinggal di benaknya hanyalah rambut cokelat gelap nyaris hitam. Itu saja. Tak kurang dan tak lebih. Informasi yang benar-benar tak berguna mengingat betapa banyaknya pria berambut cokelat dengan berbagai gradasi warna yang berseliweran di bandara ini. Merasa sedikit putus asa, Ada merogoh saku jaketnya, mengambil ponsel yang layarnya terasa dingin.

Namun, sebelum ia sempat menyumpah karena batu baterainya habis dan ponselnya tak bisa dihidupkan, seseorang yang mungkin tadi terlewatkan olehnya melambai-lambaikan tangan. Pemuda yang sebelumnya duduk di bangku tinggi menghadap ke jalan itu segera beranjak dari sana dan berjalan menghampiri Ada yang melemparkan senyum ala kadarnya.

Moi. Halo.” Suara pemuda itu terdengar sedikit tinggi. Melengking.

“Aku Ada. Kau pasti Mika.” Tanpa berbasa-basi lebih lama, Ada mengulurkan tangannya yang lantas dijabat oleh pria di hadapannya dengan mantap.

“Mika? Aku Kari.” Dengan wajah yang serius, pemuda di depannya menggeleng. Respons seperti itu sontak membuat Ada melongo, menarik tangannya buru-buru, dan meminta maaf berkali-kali seraya menangkupkan kedua tangan di depan wajah. “Maaf. Kupikir kau kenalanku. Maaf. Maaf.”

Berengsek. Rupanya Inilah yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah lelah setengah mati, salah orang pula.