cover landing

Seductionship

By Adellelia


Dalam hidup, semua orang pasti pernah mengalami krisis. Hal yang membuat kita hanya mampu terpaku berdiri, menangis meratapi nasib dan menyalahkan keadaan yang membuat kita terluka. Putus asa yang teramat sangat. Sedih yang begitu menyiksa dan berpikir untuk menyerah.

Dalam bukunya yang berjudul “On Death and Dying” Elisabeth Kubler-Ross menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai lima tahap kesedihan. Lumrahnya seorang manusia yang terbiasa menyangkal kesedihan yang menimpanya, amarah pasti meliputi hati juga pikirannya. Dia akan mulai menyalahkan diri sendiri, orang lain hingga nasib yang mempermainkan hidupnya. Kompromi. Depresi. Satu per satu tahapan itu dilalui hingga akhirnya mereka mencoba berdamai dan menerima keadaan. Perlahan bangkit lalu kembali menjalani kehidupan seperti sedia kala.

Sore itu, Karina berdiri memandangi lautan yang terhampar di hadapannya. Di saat  banyaknya pasang manusia saling berpelukan dan berbagi momen romantis menatap matahari tenggelam di pantai Bali. Gadis itu malah mengembuskan napas lemah. Menatap nanar sang mentari yang berniat undur diri menerangi bumi.

Iris matanya berkaca-kaca. Ia menggigit bibir berusaha melupakan sakit hati yang menimpanya. Saat pertama kali hubungan yang ia bangun dengan seorang  pria tak ada titik temu hingga akhirnya harus berpisah, dunianya terasa hancur.

Ia sudah menyusun segala hal terkait hubungan mereka. Sebagai seorang Taurus sejati, Karina benar merencanakan semuanya dengan baik. Jordan, adalah  pria  yang ia tambahkan ke dalam rencana masa depannya. Menjalin hubungan, menikah, membangun keluarga dengan satu hingga dua orang anak lalu mereka menghabiskan masa tua mereka di Bali.

Saat hubungan mereka tidak berhasil, ego mempermainkan  mereka. Mereka saling menyangkal dan memberikan alasan. Mereka bertengkar dan saling melempar kesalahan.

Saat mereka mencoba untuk berdamai, nyatanya keadaan semakin sulit hingga akhirnya jalinan yang mereka coba sambung kembali pun putus dan tak dapat disambung kembali. Layaknya tayangan drama yang memperlihatkan kesedihan yang teramat dalam, Karina menangis seraya menatap sang surya yang kini benar-benar menghilang. Mengubah langit menjadi temaram.

Sudah lima tahun berlalu, Karina masih terjebak nostalgia masa lalu. Bahkan ia tetap datang seorang diri ke pantai Bali untuk mengenang kebersamaannya dengan satu-satunya pria yang pernah menggetarkan hati. Bagai seorang pecundang, hingga saat ini ia terlalu takut untuk kembali membuka hatinya kepada kaum adam.

Karina mengembuskan napas panjang. Rasa-rasanya sudah cukup ia mengenang kembali rasa sakit juga kenangan manis dirinya bersama pria dari masa lalu itu. Ia berniat kembali menempati tempat duduknya di kafe tepi pantai di belakangnya. Ia membalik tubuhnya, tapi…

“Aah!” Karina memekik kala tubuhnya menabrak tubuh lain di belakangnya.

Tubuh wanita itu limbung, hampir saja ia terjungkal ke pasir putih yang dirinya pijak. Namun, dua lengan besar berhasil merengkuh kokoh bahunya. Menarik lalu membuat tubuhnya kembali berdiri dengan sempurna.

Tatapan Karina jatuh dan bertemu pada iris hitam dengan sorot teduh yang kini berada tepat di hadapan. Jarak tubuh mereka hanya angin lalu, karena jelas Karina merasakan embusan napas hangat pria itu di kulit wajahnya.

Satu detik tatapan mereka terkunci. Satu detik terseret dalam fenomena yang entah mengapa membuat sebuah percikan menjadi letupan api di dalam aliran darah mereka. Satu detik mereka saling mengagumi. Merekam begitu sempurna ciptaan Tuhan dalam genggaman, sebelum akhirnya mereka tersentak dan saling melepaskan diri.

***

Seraya duduk di teras vila yang ia tempati, Randy tersenyum mengingat momen pertemuannya dengan seorang wanita sore tadi di pantai Canggu. Bidadari. Begitu yang tebersit di pikirannya kala otaknya memutar ulang visual wanita yang sempat ia peluk sore tadi. Wanita yang lebih matang memang lebih menarik perhatiannya. Dibanding dengan wanita seumuran, yang cenderung manja dan kekanakan, Randy lebih menyukai wanita lebih tua darinya dengan pemikiran yang lebih matang. Belum lagi, biasanya wanita yang lebih dewasa memiliki gaya yang lebih percaya diri dalam bersikap dan berbicara, hal itu terlihat begitu seksi di mata Randy.

“Kenapa lo senyum-senyum sendiri?” tanya Irvan, teman Randy yang ikut berlibur. Ia membawa dua kaleng bir dingin di tangan. Diberikannya satu kepada Randy dan satu untuk dirinya sendiri.

“Ah, enggak!” balas Randy seraya berusaha menyembunyikan senyumnya. Ia menyesap cairan berwarna kekuningan yang terasa menyegarkan di tenggorokannya itu.

“Eh, jangan bilang lo lagi ingat-ingat cewek sore tadi yang sempat lo peluk karena dia nabrak lo tadi di pantai?” tebak Irvan seraya menepuk punggung Randy menggoda.

Mendengar itu senyum lebar semakin menghiasi wajah Randy. “Tau aja lo!” balasnya salah tingkah.

“Anjay! Beneran mikiran cewek yang tadi lo?” seru Irvan tak percaya. Sedetik kemudian mereka tertawa bersama.

“Cantik ya cewek tadi, Van,” ucap Randy. “Kayaknya gue jatuh cinta, deh!” akunya tanpa tendeng aling-aling.

“Ck! Yakin jatuh cinta? Bukannya nafsu? Secara cewek tadi seksi banget, haha ....” Irvan tertawa.

“Ya, namanya dari mata turun ke hati, bro!” Randy membela diri.

“Randy ... Randy ... jangan mimpi pacaran sama cewek yang lebih matang dari kita, Ran,” ucap Irvan skeptis.

“Kenapa?” Satu alis Randy naik. Wajahnya mengerut tak suka.

“Ya, logika aja! Biasanya para cewek matang itu mau pacaran sama laki-laki yang juga matang. Matang pemikiran juga pendapatannya. Bukan anak kemarin sore yang baru lulus kuliah dan sedang nyari kerja seperti kita, bro!” jelas Irvan.

Mendengar itu Randy tertegun sesaat sebelum akhirnya ia mengembuskan napasnya kasar. Diteguknya sekali lagi minuman beralkohol di tangannya. Wajahnya berubah muram.

“Masuk akal sih pemikiran lo, Van!” kata Randy. “Tapi kayaknya banyak juga kok cewek dewasa yang suka sama laki-laki yang lebih muda dari mereka. Buktinya Priyanka Chopra bisa nikah sama Nick Jonas yang lebih junior dari dia yang sudah senior di dunia entertainment,” ia beragumentasi.

“Ya, jangan bandingin lo sama Nick Jonas, Bedul! Lo siapa?” ledek Irvan gemas.

“Lah, gue kan Jungkook BTS dari Bandung,” katanya lalu tertawa.

“Iya lo Jungkook BTS tapi BTS-nya bukan singkatan dari Bangtan Sonyeondan tapi Base Transceiver Station alias menara pemancar,” balasnya seraya tertawa terbahak.

“Ah, gelo sia(gila lo)!” umpat Irvan gemas. “Ya udah ke beach club aja, yuk! Siapa tahu ketemu bule yang mau diajak pacaran,” ucapnya.

Randy menggeleng.

“Gue nggak mau bule. Maunya cewek yang tadi,” katanya.

“Oke! Kita lihat! Kalau nanti di beach club lo ketemu lagi sama cewek yang tadi, berarti kalian jodoh, bro!” katanya.

“Yeah! I hope so!” balas Randy. Lalu bangkit dari duduknya dan mengikuti Irvan untuk pergi ke tempat yang mereka tuju.

***

Angin pantai yang berembus seperti bukan penghalang mereka yang ingin menghabiskan malam mereka di beach club di pantai Canggu. Musik berdentum kencang, orang-orang menari dan tertawa. Ada juga yang hanya duduk seraya menikmati minuman mereka. Semua yang datang ke tempat seperti ini, mempunyai cara mereka sendiri-sendiri untuk menikmati kebebasan mereka. Tanpa batasan, tanpa aturan. Mereka hanya ingin bersenang-senang.

Sedang Randy, seperti elang, sesampainya di beach club kedua matanya langsung mencari buruannya. Wanita berambut panjang bergelombang dengan wajah cantik yang tak dapat ia lupakan. Pucuk dicinta ulam pun tiba, di salah satu meja yang berada di area luar dekat pantai, Randy melihatnya. Wanita yang mungkin saja jodohnya karena mereka bertemu lagi malam ini tanpa disengaja.

Wanita itu terlihat begitu cantik memakai mini dress berwarna hitam yang membalut tubuh seksinya. Rambutnya tergerai indah, dengan riasan wajah yang membuat wajahnya semakin terlihat cantik. Ah, bahkan Randy sudah dapat membayangkan bagaimana menggoda bibir merah merekah dan harum parfum yang wanita itu gunakan. Seketika membuat jantungnya berdentum betalu-talu.

Randy melangkahkan kakinya cepat menuju meja di mana wanita itu duduk. Kedua matanya memicing, raut wajahnya tegang kala seorang pria berkebangsaan asing mencoba duduk di samping wanita itu. Namun, sedetik kemudian ... seulas senyum terbit di bibirnya kala pria asing itu ditolak mentah-mentah.

Wah, sepertinya menarik, batin Randy.

“Hallo, masih ingat saya?” sapa Randy langsung saja. Tanpa basa-basi dia menarik kursi lalu duduk di hadapan wanita cantik itu.

“Kamu?” Kedua mata si wanita memicing menatapnya. Suara yang keluar dari mulut si wanita pun begitu menggelitik indra pendengarannya. Membuat dirinya begitu bersemangat.

“Iya, saya.” Randy tersenyum. “Sore tadi kita bertemu di pantai, kamu ingat?” tanyanya.

Tak sangka wanita di hadapannya mengangguk. Bahkan seulas senyum terbit di bibirnya.

“Tentu saja saya ingat,” jawabnya. “Kenalkan, saya Karina,” katanya seraya mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Halo, Karina. Saya Randy,” balas Randy tanpa sungkan. “Hmm, boleh saya panggil Karina saja, kan?” tanyanya sopan.

Karina mengangguk.

“Boleh,” jawabnya.

“Kamu sendirian Karina?” tanya Randy lagi.

“Iya, saya sendirian.” Karina mengangguk sekali lagi. Ia menyesap Margharita miliknya dengan begitu elegan. Membuat Randy menatapnya penuh minat.

“Karena kamu sendirian, apa boleh saya temani?” Randy memberikan diri. Dia begitu berharap Karina akan menerima tawarannya. Namun, seperti yang selalu diajarkan oleh hidup, tidak semua yang kita inginkan dapat kita dapatkan. Kadang, kita harus menerima pil pahit bahwa jalan hidup, tak semulus dan semudah dengan apa yang kita pikirkan.

Seperti saat ini, saat Randy berharap Karina akan menerima ajakannya. Saat Randy berharap Karina adalah jodohnya karena mereka dapat bertemu tanpa disengaja malam ini. Nyatanya, Karina menggelengkan kepala. Wanita itu bangkit dari duduknya lalu berkata.

“Saya sudah mau pulang,” ucapnya. “Maaf, besok saya harus ke bandara pagi-pagi sekali karena mengambil jadwal penerbangan pertama,” jelasnya.

Sontak Randy gelagapan. Dia masih ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Karina.

“Apa saya boleh minta nomor telepon kamu?” Randy memberanikan diri.

Karina yang hendak meninggalkan meja pun menghentikan langkahnya sesaat. Ia menatap pria di hadapannya yang terlihat mempunyai daya tarik yang luar biasa. Andai saja dirinya tidak sedang patah hati dan ingin bersenang-senang, mungkin saja ia akan menarik Randy ke kamarnya malam ini sebelum besok kembali ke realita hidup yang menunggunya di Jakarta.

“Sorry! I can’t,” balasnya.

“Why?” Randy bersikukuh.

Sekali lagi, mereka bersitatap.

Karina menggigit bibirnya, lalu sedetik kemudian berkata, “Mungkin, jika suatu saat kita bertemu lagi secara tak sengaja, I’ll give my number to you,” ucapnya. Sebelum akhirnya ia melangkah, meninggalkan Randy yang masih berdiri terpaku menatap kepergiannya.

***