cover landing

Seducing My Hot Bodyguard

By Fielsya


“Kalian tahu, kan, kalau putri sulung saya baru menyelesaikan studi S1-nya, dan kemarin dia kembali ke kota ini?” tanya seorang laki-laki bertubuh tegap, perutnya sedikit buncit dengan seragam berwarna cokelat muda untuk atasannya dan tua untuk celananya. Tak lupa, beberapa atribut pangkat dan beberapa penghargaan menghiasi seragam tersebut. Di kerahnya terdapat tiga buah bintang berwarna emas.

Lelaki itu mengucapkan pertanyaan itu dengan nada tegas, sambil menatap satu per satu beberapa lelaki yang lebih muda dengan badan yang gagah dan proporsional yang ada di hadapannya. Para pemuda berjumlah empat orang itu membentuk barisan yang rapi, dan semuanya mengantongi sebuah senjata api laras pendek.

“Siap, tahu, Komandan!” jawab empat orang itu dengan serentak.

Lelaki yang disebut komandan lantas berjalan perlahan sembari memperhatikan satu per satu anak buahnya, hingga langkah kaki yang sudah memasuki setengah abad itu berhenti tepat di depan seorang pemuda bernama dada Richard.

Dipandanginya dari atas hingga bawah sang pemuda, memperhatikan detail kerapian seragam yang dikenakan. Mata renta itu seketika memicing dan tersenyum tipis.

“Richard, mulai hari ini kamu saya tugaskan untuk mengawal Alya. Keselamatannya sekarang menjadi tanggung jawabmu!” ucap sang komandan yang kemudian menepuk pundak pemuda itu.

Bukan tanpa alasan. Richard adalah ajudan yang baru bergabung sekitar satu tahun, dipilih atas dasar ketekunan dan kepatuhannya terhadap atasan. Dia belum mengenal Alya, karena gadis kesayangan sang jenderal masih sibuk dengan tugas akhir kuliah dan tak sempat untuk pulang. Untuk itu, Komjen Fajar berharap bahwa Richard bisa mengawal sang putri tanpa ada drama seperti ajudan sebelumnya, yang selalu saja dikeluhkan Alya dalam berbagai hal, dan berujung sang ajudan mundur dari tugasnya mengawal sang putri.

“Siap, Komandan!” sahut Richard dengan tegas yang matanya tetap fokus ke depan dan sikap sempurna.

“Sekian apel pagi kita hari ini,” ucap sang jenderal setelah kembali ke posisinya semula di depan barisan para ajudan. “Richard, bisa langsung ke rumah untuk menemui Alya. Tanyakan apa saja jadwal harian dan keperluannya! Di sana juga sudah ada dua kamar khusus ajudan. Kamu bisa tinggal dengan yang lain,” titah sang komandan yang langsung diiakan oleh Richard.

Setelah apel pagi itu, Richard langsung mengambil beberapa keperluannya dan hendak masuk ke mobil yang sudah dia siapkan sebagai pengawal untuk putri sang jenderal. Namun, seketika lelaki bertubuh tegap berotot itu harus menghentikan langkah, kala lengannya ditarik pelan oleh seseorang.

“Ada apa, Bang?” tanya Richard penasaran.

“Kau harus hati-hati. Kau belum pernah, kan, ketemu sama Alya?” tanya temannya yang bernama dada Reza. Richard pun menggelengkan kepala. “Alya itu galak, nggak pernah mau telat sedikit pun. Omongannya ceplas-ceplos. Jangan sampai bikin dia marah, atau bos akan ....” Tangan Reza bergerak melintang di depan leher, membentuk gerakan seperti menyembelih untuk menakuti Richard.

Richard tersenyum simpul, rasa penasaran tumbuh dalam hati, seolah enggan percaya pada apa yang rekannya itu katakan. “Semoga saja aku nggak mengecewakan dia, Bang. Sayanglah karierku ini kalau harus berakhir hanya karena nggak becus ngawal anak komandan.”

“Ya semoga saja. Mudah-mudahan Alya yang sudah dewasa, berubah. Nggak jutek dan judes seperti dulu,” sahut Reza yang langsung diamini oleh Richard.

“Oh ya, Chad, soal kamar, kau bisa satu kamar denganku. Kebetulan, aku sendiri.”

“Baik, Bang, terima kasih.”

Setelah itu, Richard bergegas masuk ke mobil dan mengendarainya ke rumah pribadi sang jenderal yang memang tidak begitu jauh. Jarak yang biasa ditempuh dalam waktu dua puluh menit, bisa Richard ringkas hanya sepuluh menit saja melewati jalur tikus.

Richard memang baru saja bergabung menjadi ajudan sang jenderal. Akan tetapi, jalanan di daerah itu sangat tidak asing baginya.

Diberhentikan mobil sedan berwarna hitam yang dikendarainya, lalu dia meminta seorang satpam yang ada di rumah itu membukakan pintu gerbang.

Di dalam rumah itu, istri sang jenderal bersama putri sulung mereka sedang sarapan di meja makan berbentuk oval. Di atas meja itu sudah tersedia makanan khas Indonesia dan juga sandwich, karena penghuni rumah tersebut memang memiliki sarapan favorit masing-masing.

“Ma, setelah ini aku akan ke kampus. Mau prepare untuk lanjutin pendidikan aku,” ucap seorang gadis berambut panjang separuh badan sambil menyendokkan suapan terakhir sarapannya ke dalam mulut.

“Oke, tapi tadi Papa udah pesan ke Mama, katanya akan ada ajudan yang mengawal kamu mulai hari ini,” ungkap sang mama.

Gadis itu menarik napasnya panjang lalu mengembuskan dengan kasar. Dia meraih selembar tisu yang ada tepat di samping kanan piring dan membersihkan bibir juga dagunya dari bekas makanan.

“Ngapain ada pengawal, sih, Ma? Aku sudah dewasa, aku bisa jaga diriku sendiri. Mama, kan, tahu kalau selama kuliah dulu, aku pernah ikut ekskul bela diri,” tolak sang anak dengan halus atas fasilitas yang akan papanya berikan.

“Al, nggak ada salahnya. Mungkin dulu kita nggak jadi sorotan, jadi keamanan kita nggak terlalu penting. Tapi sekarang, papamu adalah seorang jenderal, dan ....”

“Jenderal hanya sebuah jabatan yang dilabeli oleh manusia, Ma. Aku bener-bener nggak butuh pengawal. Lagi pula, nggak akan ada yang tahu kalau aku anaknya papa,” ucap Alya memotong pembicaraan sang mama.

Sejak sekolah, Alya memang jarang mengekspos tentang keluarganya. Bahkan, Alya memohon kepada sang papa untuk tidak menyebut tentang polisi kala mendaftarkannya sekolah. Hanya titel umum; seperti SH, MH yang tercantum hampir di semua datanya. Jika ada teman yang ingin bermain ke rumah, Alya akan mengajaknya ke rumah sang kakek, agar tak ada satu pun yang bisa melihat kenarsisan keluarga yang berfoto mengenakan seragam kepolisian.

Di saat keduanya tengah berdebat, tiba-tiba suara bariton seorang laki-laki yang menyapa istri sang jenderal sukses menginterupsi perdebatan tersebut.

Mata Alya seketika memicing, hingga kedua alisnya menukik tajam. Napas gadis itu langsung memburu, telapak tangan yang begitu lembut itu juga mengepal kuat kala melihat seragam dinas harian yang Richard kenakan.

“Oh, jadi lo anggota kepolisian?” tegur Alya kepada lelaki itu dengan nada sinis.

Alih-alih menjawab dengan perkataan, lelaki itu hanya tersenyum sambil mengangguk pelan. Terang saja, respons itu bukanlah yang Alya harapkan.

“Alya, apa kamu sudah mengenal dia?” tanya sang mama penasaran atas sikap judes putri sulungnya itu.

“Nggak, aku nggak kenal. Tapi dia ....”

“Kami sudah sempat bertemu di bandara kemarin, Bu, dan sempat terjadi salah paham di antara kami,” sahut sang lelaki memotong ucapan Alya.

Mendengar hal itu, Alya meradang. Dengan sedikit menggebrak meja makan, gadis itu lalu berdiri mendekat kepada sang pria.

“Salah paham lo bilang?” tanya Alya dengan ketus sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, dan memiringkan kepala serta menatap Richard penuh kemarahan.

“Tunggu, tunggu, ini sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi di bandara sampai Alya marah seperti itu, Richard?” tanya mama Alya yang kini ikut berdiri sambil mencoba menengahi permasalahan antara putri dan ajudannya.

“Ma, bisa nggak sih, minta papa pilih ajudan yang bener dan nggak mesum? Citra kepolisian akan makin rusak karena oknum-oknum polisi seperti dia!” kesal Alya sambil menunjuk ke dada Richard.

“Sebelumnya sekali lagi saya ucapkan maaf ke Mbak, karena seperti yang sudah saya jelaskan kemarin, kalau apa yang terjadi adalah ketidaksengajaan ....”

“Gampang banget, ya, lo ngomong nggak sengaja? Setelah lo berani-beraninya mencium seorang gadis di depan umum!” terang Alya yang membuat sang mama merasa syok dan terkejut mendengar penjelasan putrinya.

Liana, mama Alya, berusaha untuk tetap tenang dan tak ingin terpancing emosi hanya mendengar keterangan Alya. Sudah satu tahun tiga bulan Richard menjadi ajudan sang suami dan dia mengenal pemuda itu, rasanya tidak mungkin jika Richard akan melakukan hal tidak senonoh kepada sang putri dengan sengaja, apalagi hal itu dilakukan di tempat umum.

“Richard, apa kamu bisa menjelaskan kepada saya, tentang apa yang sudah Alya tuduhkan ke kamu? Kamu tahu, kan, tuduhan ini sangat serius,” tanya Liana yang sekaligus ingin memastikan, kalau kepercayaannya terhadap Richard tidaklah salah.