cover landing

Secangkir Harapan

By Ravenura


Gibran Naufal Aditya tertunduk lesu di salah satu bangku Secangkir Kenangan. Dia baru saja pulang dari butik pengantin. Bepergian tanpa alasan, demi mengikuti seorang gadis yang disukai selama beberapa tahun terakhir sudah mencapai masa puncaknya.

Sejak pertemuan pertama di kampus, melihat kakak tingkat sangat cantik nan judes bernama Navy Gempita. Gibran sudah kecanduan mencari gara-gara agar kena notice.

Namun, semenjak lulus kuliah, gadis itu menghilang dari peredaran dan beberapa waktu lalu mereka berjumpa kembali. Navy tentu saja makin cantik sebagai perancang gaun pengantin. Dia telah memiliki akhir yang bahagia. Hendak menikahi pujaan hati yang ditunggu 12 tahun lamanya.

Ngenes, tapi pantang nangis, kilahnya sambil mengerjap-ngerjapkan kelopak mata yang mendadak pedih.

Kisah Gibran bukan apa-apanya, terutama karena dia hilang timbul dalam kehidupan sang mantan gebetan. Ironis, dia tidak bisa naik level sebagai mantan pacar. Sebab, Navy punya seribu alasan penolakan.

Wajar jika dia tidak berhak mengklaim Navy.

Dia tahu kapan harus mundur. Sejak awal, dirinya tidak pernah kasat dalam penglihatan gadis yang baru saja dilamar mantannya itu.

Ah! Sial sekali. Begini rasanya jadi Rigel saat ditinggal Windy menikah? Tapi, kan, mereka berdua sudah balikan. Sama bahagianya dengan Navy.

Argh ….

Ada kesempatan nggak sih, Mbak Navy cerai, terus jadian sama aku?

Jemari Gibran menjepit keras puntung rokok sampai bengkok. Di asbak, sudah empat batang disesap sendirian. Secangkir kopi hitam tanpa gula, sudah tandas sejak tadi. Ampas yang mengendap, seumpama hati Gibran saat ini.

Begini rasanya jadi buangan. Kalah dalam pertempuran. Meraih cinta pun tidak bisa, terutama karena Gibran gagal mendapatkan Navy, kendati sudah banyak yang dia lakukan.

Kini, setelah mundur dari Navy, Gibran bak hilang arah.

Siapa yang bisa dia berikan kopi dan sandwich setiap jam istirahat kerja? Siapa yang bisa dia ledekin sepanjang waktu?

Tidak ada.

Asap mengular di udara, membuktikan betapa dalam dan sesaknya patah hati secara diam-diam seorang pria.

“Woi, Bencong!” tegur Rigel, sahabat sehidup dan sematinya, duduk di depan sambil menggandeng anak kecil.

Taek!” sahut Gibran.

“Heh! Onog anakku. Jogoen lambemu!” (Ada anakku. Jaga mulutmu!)

Gibran lupa. Ada Jihan, yang terkadang memanggilnya dengan sebutan Om Ganteng. Demi mengambil hati Navy, Gibran pernah meminta Jihan memanggilnya Mama Cantik dan pada Gibran itu Papa Ganteng.

Bangsat.

Gibran menghela napas. Sedih sekali mengingat kenangan kelabu itu.

Navy telah menempel di mana-mana. Akan ada saatnya di masa depan, mereka mungkin berjumpa lagi, terutama karena Windy sangat dekat dengan Navy. Sama halnya dengan hubungannya dan Rigel.

Nggak mungkin kucing-kucingan kalau Gibran akrab dengan Rigel, Windy dan Navy.

“Maafin om, ya, Adik manis.” Gibran tersenyum tulus. Namun, raut wajahnya kembali seperti semula. Kusut macam jeruk mandarin tua yang sudah seminggu terakhir berada di gudang kafe.

Aneh sekali, menu pendamping seperti jus jeruk tidak laku-laku. Maklumlah. Ini layanan menunya tentang kopi, yang laris juga varian kopi.

“Kenapa aku yang bencong, heh?” tanya Gibran langsung.

Guyon, Gi, guyon. Baperan banget jadi orang.” (Bercanda, Gi, bercanda)

“Lagi nggak mood bercanda. Masih untung ada Jihan. Coba kalo nggak, udah aku tonjok hidungmu itu, Mas,” ucap Gibran.

Benar sekali. Kalau bukan karena anak empat tahun, tentu saja sekarang ada perkelahian yang melibatkan investor dan pengelola kafe. Seru kalau dilihat dengan asumsi masalah utang piutang.

Akan tetapi, bukan itu kasus peliknya. Gibran hanya butuh sesuatu yang mengalihkan pikiran. Tidak usah banyak bicara, langsung tonjok dengan tangan agar hati dan pikirannya puas.

“Ada masalah?”

Puntung rokok kelima diambil dari kotak berlapis alumunium foil. Mata itu menerawang jauh ke luar jendela, menandakan bahwa pikiran Gibran sedang berkecamuk.

Dia hanya tidak ingin membicarakannya. Setidaknya untuk saat ini.

“Aku mau bikin latte dulu di dapur,” ucapnya sambil berdiri dengan bahu terkulai.

“Oke.”

Rigel kemudian asyik menyuapi anak dari pacarnya, si janda cantik bernama Windy. Nanti, kalau mereka menikah, tidak perlu repot mengenalkan anggota ketika lamaran. Jika mantan kekasih yang menjadi jodohnya sudah dikenali oleh keluarga besar.

Karena pengasuh Jihan cuti, praktis Jihan tanpa penjaga di rumah. Begitu pula Windy yang masih kerja di kantornya. Sebagai pria baik yang selalu ada buat Windy, mengasuh anak empat tahun bukan masalah besar.

Princess-nya daddy makan dulu. Ayo sini, aaaa ….” Tangan kiri Rigel menarik kursi khusus anak kecil, sementara tangan lainnya menyorongkan satu sendok makanan. Jihan yang aktif, tidak mau diam. Dia berlarian sepanjang lorong yang memisahkan meja pelanggan sambil berteriak riang.

“Nggak mau, Daddy!”

“Ayoooo.” Rigel pura-pura takut, “Daddy kalo dimarahin sama Mama gimana?”

“Bilang aja nanti sama Mama kalo Jihan udah makan sama Daddy.”

“Wah, Princess pinter. Tapi, kan dari tadi kamu belum makan.”

Jihan mengabaikan Rigel. Dia berlarian sepanjang jalan, memicu perhatian satu-satunya pelanggan yang mengerut kening tidak senang.

Princess, jangan lari-lari dulu! Ayo sini makan. Kalo nggak, daddy nggak akan beliin es krim stroberi lagi.”

Jihan balik arah usai mendengar ultimatum itu. Enggan kalau harus berpisah dengan makanan kesukaannya. Tubuh ringannya diangkat ke udara. Dia terkekeh senang bisa terbang, lalu duduk di kursi tinggi yang memiliki pengaman. Mulut Jihan terbuka lebar, selagi Rigel berpura-pura menjadi pilot yang mendaratkan pesawat bermuatan nasi dan sosis ke dalam gua kecil itu.

Sementara itu, langkah terseok Gibran kembali ke dapur. Dia menemukan barista yang bekerja di kafe Secangkir Kenangan. Bahu Gibran bersandar di sisi pintu, menyaksikan tangan cekatan Biru menekan mesin espresso. One shot espresso dituangkan dalam satu cangkir magenta. Dengan hati-hati pula, Biru menuangkan steam milk tinggi lemak ke dalam cangkir yang dimiringkan. Barista itu mengambil lap bersih dan jarum untuk menghias pola hati.

“Biru! Ajarin aku bikin latte dong!” pinta Gibran sambil lalu.

“Bentar, ya, Sam. Masih ada pesanan take away.” Biru menjawab. “Bantu cuciin gelas-gelas sama piring dulu. Udah numpuk.” Biru berkelit. Dia benar-benar butuh bantuan. Jojo, karyawan lainnya, harus menghadiri kelas tambahan di kampus. (Sam: mas dalam Bahasa Malangan)

“Heh! Umak digaji pake uangku. Masa yang punya uang di sini jadi tukang cuci?” Gibran mengomel tidak terima. (Umak: kamu dalam Bahasa Malangan)

Tidak elit sama sekali dirinya harus mencuci gelas dan piring kotor bekas pelanggan. Sepanjang kariernya sebagai investor Secangkir Kenangan ini, pekerjaan Gibran di kafe adalah yang paling tidak berguna. Hanya duduk sambil makan roti sisa, sesekali rapat evaluasi, sudah berapa persen uangnya memberi keuntungan pada Gibran.

Sebagai sosok yang peka investasi, sudah sepatutnya Gibran membiarkan uang bekerja untuknya. Bukan dirinya bekerja untuk uang. Seisi kafe Secangkir Kenangan bekerja untuk Gibran.

Dia adalah bos utama.

Akan tetapi, lupakan soal itu. Sejak awal dia sudah bekerja sama dengan Rigel untuk membesarkan kafe bersama, hingga ramai sekarang menggunakan salah satu brand terkenal sebagai mitra lain.

“Upah ngajar, Sam. Aku belajar kopi, ya pakai modal.” Biru membalas ucapan Gibran dengan tenang.

Gibran cemberut, tapi dia menurut. Dia menggulung kemeja sampai siku. Tangannya menggosok salah satu cangkir warna putih. Butuh pengamatan ekstra, karena jemari Gibran gampang tergelincir saat memegang cangkir. Masih untung salah satu jarinya mengunci telinga cangkir, sehingga tidak jatuh menimpa barang pecah belah lain. Bagaimana kalau semuanya pecah? Mengurangi modal lagi tentunya. Uang Gibran jadi berkurang jika beli peralatan dan perlengkapan baru.

Biru meluncur ke salah satu meja, menyerahkan secangkir latte dan Frappuccino untuk pasangan pelanggan yang bersantai, yang baru beberapa saat lalu datang.

Gerimis sedang turun. Suasana itu sangat sempurna, terutama karena kopi sangat cocok diminum di udara dingin.

Beda dengan Gibran. Sudah dingin, ditimpa air dingin yang memercik ke mana-mana. Kemeja Gibran sudah basah akibat cipratan keran yang mengalir deras. Sedangkan Biru aman karena memakai celemek.

“Hayoloh, Sam. Pakai celemek makanya.” Biru cekatan mengalungkan tali celemek dari belakang tubuh Gibran. Dia menarik tali pinggang, sehingga posisinya seperti berpelukan.

Di waktu itu pula, satu pelanggan yang baru saja keluar dari pintu toilet yang bersebelahan dengan dapur, bergidik ngeri menyaksikan sepasang manusia sesama jenis berpelukan. Akan tetapi, kedua orang itu tidak peduli karena tidak tahu sedang diintip. Pelanggan itu bergegas pergi. Mereka berdua bekerja sama. Biru menggosok cangkir dan perkakas lain, Gibran yang membilas dan meletakkan ke rak.

Setelah semuanya beres, Gibran duduk kelelahan. Wajar dia lelah, terutama karena habis melakukan perjalanan jauh dan langsung meluncur ke kafe.

Biru mengambil aerolatte milk frother, termos stainless steel, timbangan dan setoples bubuk kopi giling berjenis arabika untuk cita rasa asam yang kuat. Biru memperkenalkan alat-alat itu lebih dahulu, lalu memberi instruksi takaran pada kopi dan susu yang akan dibuat untuk konsentrasi yang pas.

“Kocok dulu susu dinginnya ke termos pake aerolatte itu semenit, Sam,” perintah Biru.

“Kocokin dong!” pinta Gibran manja.

“Yang belajar siapa sih?” Biru memasang wajah serius.

“Mager!” balas Gibran dengan muka polosan yang layak dioplos pakai kulit jeruk sekalian. Bikin masam saja kalau dihirup.

“Nggak usah bikin kalo gitu.” Biru keki. Stres dapat murid pertama yang seenaknya sendiri.

Gibran mengocok asal-asalan.

“Yang bener dong kocoknya, Sam.”

“Pakai yang gampang lah. Apa gunanya mesin uap kalo nggak kepakai? Kocok pakai tenaga udah nggak zaman.”

Pening kepala Biru menghadapi murid satu ini, tapi belajar pun harus menguasai dasarnya dulu.

“Enakan tenaga manusia kali buat rasanya. Sudah kocok dulu.”

Gibran mengocok sampai napasnya ngos-ngosan. Setelah selesai sampai busanya naik batas cangkir sesuai yang diminta Biru, bahan itu dituangkan ke cangkir porselen untuk dimasukkan ke microwave selama 30 detik.

Mereka pun beralih ke mesin giling. Beruntunglah Gibran tidak diminta menggiling biji kopi dahulu dengan mesin giling. Tangannya bisa patah seperti hatinya nanti. Setelah mengatur ukuran biji kopi dengan timbangan, dia menekan biji kopi di mesin espresso, lalu menyeduh ke suhu 96 derajat celcius.

Gibran hafal kalau bagian menuangkan one shot espresso ke cangkir porselen. Dia sudah sering melihatnya. Tangan kiri memegang cangkir, sementara tangan lainnya kikuk memegang stainless berisi susu. Namanya belajar, tentu saja hasil awal berantakan. Buih susunya tumpah.

Namun, Gibran tidak mau ambil pusing. Dia tetap melanjutkan sambil melukis sebuah lingkaran. Niat hati membentuk bunga, yang terjadi adalah lingkaran roda bergerigi.

“Ya, kalo model begini mana layak dikasih ke pelanggan, Sam,” ucap Biru sambil ngakak. “Tapi, nggak terlalu buruk buat pemula.”

“Ya, ngapain dikasihin! Udah, aku minum dulu,” ucap Gibran tidak terima.

Rasa latte pasti sama saja, kan? Toh, ukurannya sama dengan buatan Biru. Alatnya saja sama. Apanya yang beda kalau semua bahan sama?

“Hm ….” Gibran menatap Biru dengan muka datar. Dia mengangguk sok filsuf, mengamati penuh buih susu, lalu mencicipi lagi.

“Kopi ini rasanya kayak air rebusan yang dimasak mamaku pas sakit.”

Biru semakin ngakak, terutama karena dia ikut mencicipi dan rasanya terlalu kacau balau. Lidah Biru tidak bisa mengenali rasa yang mendominasi di kopi buatan Gibran.

“Makanya, Sam. Bikin itu dari hati.”

“Hm … Udah kok. Bi, bikin lagi, yuk. Aku harus bisa bikin minimal kasih satu latte enak buat pelanggan,” putus Gibran dengan mata berapi-api. Terutama karena sebelum berpisah dengan Navy terakhir kali, persis saat masih perjalanan naik kereta, Gibran sempat berjanji untuk membuatkan coffee latte gratis pada Navy.

Sebagaimana nama kafe ini, secangkir kenangan akan ditelan oleh gadis itu, dan pada secangkir kenangan itu pula, perpisahan terakhir akan membuat Gibran bisa merelakan sebuah cinta.

Selama sisa hari itu pula, dengan belasan cangkir dan segenap usaha, ditambah kesabaran ekstra dari Biru, dibantu Rigel yang ikut mengocok steamed milk, serta Jihan yang ketiduran sambil membiarkan es krimnya meleleh di tangan. Gibran melarikan seluruh emosinya.

Secangkir Kenangan sangat berharga bagi Gibran. Dia bersyukur ada orang-orang dekat yang tahu cara membantunya lepas dari bayang-bayang Navy.

“Sam, hasilnya bagus. Aku kasih ke Mbak itu, ya sebagai kopi gratis. Kayaknya dia bikin konten dari tadi.”

“He eh.” Gibran cuek bebek. Tangannya sakit bukan main mengocok susu terus.

Dia kira, membuat latte akan sangat mudah. Ternyata butuh proses yang panjang. Pantas saja Biru dibayar mahal, tentunya bukan hanya karena bahan kopinya yang premium, melainkan teknik tinggi yang dimiliki cowok itu.

“Gi, aku balik dulu,” pamit Rigel seraya menggendong Jihan.

Gibran duduk di pojok meja, dekat konter sambil meluruskan gulungan kemeja. Hari ini berakhir dengan baik. Dia akan pulang setelah memastikan Biru membuatkan kopi hitam untuk diminum dalam perjalanan.

Akan tetapi, keributan terjadi di satu-satunya meja berisi perempuan yang tersedak minum secangkir latte. Gibran mendongak untuk mencari tahu apa yang terjadi.

“Ini kopi apa air kobokan sih?” jeritnya sambil menumpahkan isi latte yang sudah masuk ke mulut.

Mata Gibran membeliak. Tentu saja itu coffee latte gratis dari Secangkir Kenangan, dan buatan tangannya![]