cover landing

Satu Waktu Untuk Sempurna

By Alina Lin


“Aku belum pengin bahas pasangan!” kataku dengan penuh percaya diri.

“Jadi perawan tua tau rasa lo,” ejek Bayu sambil memukul punggungku. Kekuatannya hampir membuatku terjatuh, untung ada Ela di sampingku yang menahan.

Bayu mengomentariku tentang perawan tua, memangnya dia tidak takut jadi perjaka tua? Sahabatku yang satu ini memang terlalu fasih mengomentari hidup orang lain.

“Perlu kuambil kaca?” kataku menyindirnya.

Dentingan lift terbuka memerintah kami bertiga untuk segera masuk, lalu menekan tombol yang bertulis angka 24.

Perdebatan tadi bermula karena aku menolak ide gila Ela yang mau mengatur kencan buta untukku dengan sahabat pacarnya. Sialnya, ide itu didukung oleh Bayu yang malah mengataiku perawan tua. Jadilah posisinya sekarang dua lawan satu.

“Aria baru lulus kuliah dan Raga masih semester lima.” Inilah alasanku kenapa enggan mencari pasangan dalam waktu dekat. Aku masih punya tangung jawab untuk kedua adikku. Bagaimana mungkin menerima tangung jawab lain? Mencari pasangan itu mengindikasikan bahwa aku siap menikah. Lalu, seusai menikah tanggung jawabku akan semakin bertambah.

“Cowok ini baik, gue berani jamin dia tipe lo banget.” Gaya Ela membujuk sudah seperti sales yang menawarkan produk, menggebu dengan penuh keyakinan.

Tipeku? Aku sendiri tidak tahu tipe pria seperti apa yang kumau. Aku belum pernah memikirkannya secara detail. Yang pasti aku ingin dari kalangan biasa saja, bukan orang terpandang, apalagi kaya raya dengan tumpukan uang di bank dan puluhan kilogram emas di brankas. Jika orang berkata bahwa harta bisa membuat bahagia, bagiku tidak. Harta hanya dua mata pisau yang lebih banyak disalahgunakan. Aku sudah menjalani dua kehidupan dunia berbeda, antara bergelimang dan kekurangan harta.

Prinsipku itu terdengar munafik banget, ya? Zaman sekarang, siapa, sih, yang nggak butuh uang?

Aku memang butuh uang, tapi sekadar cukup. Sesuatu yang berlebihan pasti tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Percayalah, kalangan artis yang memiliki kehidupan glamour dengan memamerkan puluhan koleksi mobil sport, pasti tanggungannya semakin banyak pula. Mereka perlu memikirkan perawatan, pajak, dan nilai gengsinya.

Terserah orang mau menilaiku aneh. Aku hanya mengiginkan akhir hidup yang bahagia. Aku yakin kata bahagia tidak hanya terukur dari kekayaan. Sekarang saja aku sudah bahagia bersama Ibu dan kedua adikku. Aku bahagia ketika kami perlahan menata hidup dari keterpurukan.

Pintu lift yang hampir tertutup, terbuka lagi sebab ada orang yang hendak masuk. Seorang pria yang mengenakan kemeja berwarna dongker dengan lengan tergulung sampai siku itu Mas Janu—atasan kami yang menempati posisi sebagai redaktur pelakasana. Tangannya sibuk menekan sesuatu di ponsel.

Aku yang berdiri di belakang Bayu langsung ditariknya untuk maju. Ela pun memilih mundur di belakangku. Sekarang aku berdiri tepat di samping Mas Janu. Aku menoleh ke belakang dan Bayu mengisyaratkan agar aku semakin menempel ke Mas Janu.

Ini masih pagi. Matahari saja masih enggan menunjukkan sinar panasnya, tapi kenapa aku sudah dibuat kesal dengan Ela dan Bayu? Pertama, mereka membahas kencan buta, lalu sekarang menyuruhku mendekat ke Mas Janu. Terkadang aku heran, mereka sebenarnya dikirim Tuhan untukku sebagai apa? Sebagai pemecah atau malah pembuat masalah di hidupku?

Aku yakin mereka masih ingat tentang kejadian minggu lalu, mengenai gunjingan di toilet kantor. “Biasanya cewek yang lugu-lugu begitu pemain pro. Gue yakin dia sengaja godain Mas Janu. Dasar, cewek sok kecakepan!” Setelahnya terdengar suara sekumpulan wanita yang tertawa. Saat itu aku sedang berada di dalam bilik toilet. Mereka memang tidak menyebutkan nama, tapi siapa lagi, sih, yang sering digosipkan dekat dengan Mas Janu selain aku? Bukannya sombong, tapi memang begitu adanya.

“Oh, halo, Nad.” Mas Janu menyadari keberadaanku. Sekilas aku melihat ada foto perempuan di layar ponselnya sebelum meredup dan berakhir dengan sisa layar hitam.

“Mas, Nada hari ini ceria banget, ya, pakai blus warna kuning. Kayak bunga matahari yang lagi mekar-mekarnya,” seloroh Bayu sambil menampilkan jajaran gigi putihnya. Matanya mengerling menggodaku. Bayu kurang ajar! Dia pasti sengaja mengatur momen agar Mas Janu semakin memperhatikanku.

Sesuai dengan yang diharapkan Bayu, pria di sampingku semakin dalam memperhatikan. Mas Janu tersenyum manis kepadaku. Aku yakin, wanita normal mana pun suka dengan senyuman yang memunculkan satu lengkungan di pipi kanan itu. Mas Janu sedikit menunduk untuk bisa langsung bertatapan mata denganku. Maklum, tinggiku hanya sebatas bahunya. Entah dia yang ketinggian atau aku yang kependekan.

Kalau membahas Mas Janu, aku seperti melihat dua sisi yang berbeda darinya. Dalam satu waktu dia menjadi cowok bad boy dengan gaya yang berantakan, senyum tengil, dan sesekali mengetuk ringan kepalaku dengan pulpen atau gulungan kertas yang dibawa. Itu bukan tanda marah karena setelahnya dia tersenyum kepadaku. Kata Ela, “Biasanya kalau cowok gemas sama cewek itu kayak gitu. Mungkin dia pengin usap kepala lo, tapi berhubung ini di kantor, jadi ditahan. Lagian lo juga yang salah, dijelasin berulang kali masih aja nggak paham.”

Inti dari semuanya, aku tidak bisa menyimpulkan dengan jelas arti dari ketukan Mas Janu itu. Apakah tanda kesal, gemas, atau malah teguran untukku yang membuat kesalahan saat bekerja?

Kalau untuk sekarang, Mas Janu bergaya ala cowok good boy yang soft dan boyfriend material banget. Pakaiannya rapi, wangi, dan senyumannya juga tenang. Cewek-cewek yang menggosipiku pasti iri dengan posisiku sekarang. Dengan jarak sedekat ini aku bisa mengendus aroma parfum yang menguar dari tubuhnya. Belum lagi antara lengan kami yang saling bersentuhan. Aku mengatakan ini bukan karena menyukai Mas Janu, sama sekali tidak. Aku hanya mengandaikan betapa murkanya penggemar Mas Janu seandainya tahu aku berada di samping idolanya. Perlu digaris bawahi, sampai detik ini aku belum merasa berdebar saat bertemu pria mana pun.

Mas Janu mengambil sesuatu dari saku kemejanya, lalu mengulurkan satu bungkus cokelat yang terbungkus plastik berwarna emas untukku.

“Cuma satu, untuk Nada saja. Adik kecil ini lebih butuh tambahan glukosa.” Mas Janu berbicara kepada Ela dan Bayu.

Adik kecil? Padahal, aku dan Bayu juga seumuran. Kami sama-sama lahir di tahun 1997. Hanya saja aku paling junior di sini. Maklum, aku butuh usaha ekstra untuk bisa menyandang gelar sarjana.

“Silakan, Mas, aku rela kalau untuk Nada.” Lagi-lagi Bayu melancarkan aksinya.

Lift berhenti di lantai lima, Mas Janu hendak keluar.

“Loh, nggak ke ruangan, Mas?” tanya Ela.

“Ada janji.”

“Gebetan, ya? Sering banget ke lantai lima.”

Bukannya menjawab pertanyaan Ela, Mas Janu malah menatap ke arahku sejenak. “Cuman teman,” katanya. Sekilas dia tersenyum lembut, sebelum akhirnya melangkah keluar. Sebagai wanita biasa, aku sempat salah paham mengartikan setiap sikap Mas Janu padaku. Aku memang tidak berdebar, tapi suka dengan sikap manisnya.

Kepergian Mas Janu digantikan oleh tiga orang kru televisi yang masuk. Dua di antara mereka mengenakan kemeja berwarna abu-abu. Itu seragam karyawan Sixty One Televisi. Satu orang lainnya hanya mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang dengan kaus putih di dalam. Beginilah tempat kerjaku, satu menara SOM (Sixty One Multimedia) terdiri dari beberapa bagian dengan peran masing-masing. Ada stasiun televisi, website, media daring, harian, hingga saluran YouTube. Apa pun jenisnya, semua di bawah naungan SOM sama-sama menyajikan berita untuk masyarakat.

“S.O. Talkshow hari ini narasumbernya Wiratama,” ucap kru televisi yang rambutnya digelung.

Aku yang semula acuh dengan kehadiran mereka, kini langsung menajamkan telinga. Tanganku juga mulai berselancar ke mesin pencari untuk memastikan mengenai narasumber di acara talkshow tersebut. Benar! Wiratama di sini!