cover landing

Sang Penggoda

By Shireishou


“Kau mencintaiku?” Suara lembut, tapi menggoda terdengar di telinga pria yang tengah berdiri ketakutan. Sepoi angin malam di tepian kota membuat gigil terasa menusuk sumsum.

“Ya, aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu.” Pria itu menatap gadis cantik di hadapannya dengan penuh permohonan.

Senyum tipis tersungging di bibir berwarna merah jambu diiringi alis yang sedikit naik ke atas. “Lalu, kenapa kau mencoba mencuri benda buruanku? Harta yang kudapat dengan susah payah!” Telunjuk lentiknya menyusuri pangkal hidung hingga ke bibir lawan bicaranya. “Apa semua yang kau katakan dusta?”

“Aku tak berbohong!” seru pria bertubuh gempal yang masih bergeming itu.

“Cinta pandangan pertama …” Kalimat perempuan itu terputus ketika sepoi angin mulai terasa di sekelilingnya. Cebikan sinis tercipta. “Itu hanya alasan yang dipakai para pecundang untuk merayuku. Mendapatkan harta … juga tubuhku.”

“Aku sungguh-sungguh! Ki-kita bisa menjadi pasangan bounty hunter yang sempurna! Kumohon … lepaskan aku!” Pria itu pucat pasi ketika menyaksikan lawan bicaranya mulai melayang perlahan.

“Tidak ada pria sejati yang mencuri dari pasangannya!” Di akhir kalimat, deru angin terdengar keras.

Suara burung hantu tenggelam di balik embusan angin yang semakin dahsyat. Debu-debu mulai berterbangan ke langit. Aura kengerian terasa menguar di udara.

“Aku tidak akan memaafkan seorang pencuri!”

Tangan penyihir muda itu terangkat ke atas seiring terciptanya gerakan angin yang semakin menggila. Di ujung jemari tampak putaran tornado kecil yang semakin membesar. Iris keemasan itu memandang ke bawah dengan tajam.

Pria itu masih tak mampu bergerak diikat angin tak kasatmata. Wajahnya sepucat kertas dengan air mata yang jatuh menyusuri pipi.

“Selamat tinggal!” Seiring tangan yang diarahkan dengan cepat ke tubuh pria itu, pusaran angin kencang menukik tajam seperti tombak. Tak butuh satu detik ketika jantung korbannya terkoyak melacutkan darah ke angkasa hingga tak sempat lagi menjerit.

Gadis penyihir berambut keemasan itu pun kembali menjejak tanah dengan anggun.

“Cinta pandangan pertama mungkin hanya terjadi ketika takdir sudah begitu pahit mempermainkan kita,” bisiknya getir.

Dia pun berbalik dan kembali melayang di atap-atap rumah, mencari target berikutnya.

***

Kadang, di sisi Utara kota terlihat pesta pora kaum kaya-raya. Mereka yang punya emas berlian tak sungkan menghadirkan perhelatan hanya untuk menunjukkan kebanggaan bahwa pajak tinggi dan kemiskinan kerajaan tak memengaruhi kehidupan mereka.

Merekalah Dewan Pajak Rakyat. Orang-orang itu mengaku sebagai utusan raja sejak beliau sakit keras dan tidak berdaya di istana. Bersenang-senang dengan uang rakyat yang diambil paksa dan tidak pernah disetorkan ke kerajaan.

Sementara itu di sudut lain kota, sosok pemuda bertudung berlari di jalanan sepi yang ditinggal tidur warganya. Outer berwarna biru gelap berkibar seiring gerakan yang tergesa. Pedang panjang tergenggam erat di tangan kanannya, sementara di kiri ada sekerat roti hangat yang baru saja dia dapatkan.

Pemuda yang masih bergerak cepat di bawah pantulan bulan purnama itu tak juga menoleh. Padahal, di belakangnya ada lima orang yang terus berteriak memanggil dengan sebutan pencuri dan umpatan kasar lainnya.

"Kenapa harus ribut hanya gara-gara hal sepele?" Ia berdecak kesal. Pakaiannya sudah penuh debu dan sobek di sana-sini sisa perkelahian yang terpaksa dijalani beberapa minggu terakhir.

Tampaknya, para pengejarnya adalah perampok yang biasa meresahkan warga. Entah sial atau bagaimana, pemuda itu tanpa sengaja menabrak salah satu di antara mereka saat keluar dari toko. Penjahat-penjahat itu tanpa ragu langsung ingin membunuhnya sembari berteriak bahwa dia adalah maling roti.

Tidak sopan! Selapar-laparnya, pemuda itu paling pantang mencuri. Lebih baik bekerja serabutan demi sekerat roti daripada harus memakan sesuatu yang bukan haknya.

Si pemilik toko bahkan merasa iba dan justru mengajak masuk, kala pemuda itu memandangi roti hangat di meja dengan penuh minat dari luar jendela. Kenapa yang marah justru orang yang tak ada sangkut-pautnya?

Dia harus segera keluar dari desa dan masuk ke hutan. Di sana, ia mungkin bisa bersembunyi kemudian mencari lauk tambahan untuk roti ini jika keadaan sudah memungkinkan. Perutnya sudah keroncongan. Seminggu terakhir hanya sedikit sekali makanan yang masuk ke tubuh. Rasanya lemas.

Lagi pula, apa yang bisa dilakukan pemuda yang saat ini bisa dibilang tidak punya keahlian apa-apa—kecuali lari dan menjadi kuli angkut—untuk mendapatkan uang?

Tiba-tiba ia merasa sesuatu menangkap pinggangnya. Detik itu juga daya tarik dan gravitasi membuatnya terseret jatuh.

Suara debaman keras terdengar. Pemuda itu merasakan nyeri di bagian tubuh yang menghantam jalanan kotor. Susah payah ia bangkit berdiri. Pedangnya terpelanting beberapa meter di kanan. Pemuda itu mengumpat melihat roti yang sudah berlumur debu jalanan karena tertindih tubuhnya sendiri. Satu-satunya makanan untuk bisa mengganjal perut yang berdendang kini sudah tak bisa lagi dimakan.

"Kenapa kalian begitu keras kepala?!" Pemuda itu berhasil melepas tali yang melilit pinggangnya. "Aku sudah minta maaf. Lagi pula aku tidak sengaja!"

Hanya makian yang kembali mampir ke telinganya.

Debas terdengar keras. Dengan lima orang berbadan besar mengelilingi, bisa dipastikan dia akan babak belur. Namun, setidaknya pemuda itu harus melakukan sedikit perlawanan. Yah, syukur-syukur kalau bisa kabur lagi.

Sungguh, ada rasa muak bercokol di dada dan menggerus semua kesabarannya. Namun, ia jelas tak mungkin mampu mengalahkan mereka. Seandainya ia bisa sihir, tentu dirinya tak perlu takut membela diri hanya karena menabrak seseorang saat berjalan.

Satu teriakan aba-aba menyerang terdengar. Pemuda itu bersiaga. Ia berhasil menghindar dari pukulan pertama, tapi ia tertendang dari belakang. Rasa lapar membuat refleksnya tumpul. Saat terhuyung ke depan, wajah pemuda itu langsung disangga bogem mentah yang seketika itu juga melentingkan tubuhnya ke kiri.

Tangan yang berusaha diletakkan di depan wajah agar tak mengenai bagian vital pun tak berguna banyak. Beberapa kali pukulan bersarang ke wajah dan ulu hatinya hingga ia muntah darah.

Tudung di kepalanya terbuka memperlihatkan rambut pendek berwarna perak yang berkilau di tengah kegelapan malam.

Tiba-tiba deru angin datang mendekat. Semakin lama makin kuat dan berpusar. Gerakan lima pria itu pun terhenti. Mereka keheranan menatap langit yang masih memperlihatkan gemerlap bintang dan tak tampak akan ada badai.

Tak disangka, pusaran angin berubah bentuk menyerupai tombak-tombak tajam yang langsung menghunjam dada para pria bertubuh besar.

Darah mencuar ke angkasa seperti pelangi kemerahan yang membias dengan sinar keperakan purnama. Tubuh-tubuh besar itu pun teronggok ke tanah tanpa daya.

"Kenapa banyak sekali orang pengecut yang hanya bisa mengeroyok orang lemah?" Suara anggun terdengar memantul di antara deru angin.

Pemuda itu mendongak.

Di atas bangunan, berdiri seorang gadis muda dengan tongkat perak panjang yang indah.  Bagian pucuk seperti bunga lili mekar berhias bunga mungil putih yang seolah tumbuh di sela-sela kelopaknya.

Ada sebuah lampion keemasan dengan tali berupa untaian mutiara menggantung pada tongkatnya. Begitu ringan hingga bergoyang mengikuti irama angin. Bagian bawah menggelayut sebuah tasel berwarna biru yang ikut menari.

Cahaya purnama tak mampu mengalahkan betapa berkilaunya perempuan itu di tengah gelap malam. Seperti sihir yang begitu menakjubkan sekaligus memesona.

Baju yang didominasi warna perak, membuat rambut keemasannya terlihat mencolok. Kerah tinggi berenda, baju lengan panjang dengan ornamen kebiruan di ujung, membuat kesan manis yang tegas. Rok sepan pendek asimetris turut menutup kaki jenjangnya.

Dalam satu entakan, perempuan itu melompat ke udara dan meluncur mendekati pemuda yang masih terpana menatapnya. Kain lebar yang menjuntai menutupi bokong hingga ke betis turut berkibar ke belakang. Bagian kanan dan kiri dihias dengan kibaran kain berujung oval. Semuanya berhias ornamen kristal biru yang elegan.

Sepatu hak tinggi dengan sol tebal sama sekali tak mengganggu mobilitasnya. Perempuan itu seolah melayang menunggangi angin.

Akhirnya keduanya bersitatap. Perempuan itu mengamati sang pemuda dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ada sesuatu yang berbeda di sana. Sesuatu yang menarik perhatiannya. Hal yang membuat debar jantungnya tak bisa lagi dikatakan tenang. Kehangatan yang menjalar ke sekujur tubuh hanya karena memandang iris sewarna api yang seolah melalap semua akal sehat yang dimiliki.

Meskipun dengan pakaian compang-camping, wajah kusam dipenuhi memar, dan darah yang mengalir di bibir, hal itu sama sekali tak memudarkan ketampanannya. Rambut lurus halus keperakan yang membuat perempuan itu merasakan kerinduan yang tak bisa terjelaskan. Ia ingin mengenal pemuda itu lebih jauh, lalu mencari tahu apa sebenarnya rasa yang tiba-tiba menyeruak tanpa malu.

Wajah pemuda itu tegas dan jantan. Tatapan yang tajam, tapi terlihat menyimpan kekecewaan pada kehidupan. Dari postur yang tegap, penyihir itu bisa membayangkan manusia di hadapannya memiliki tubuh yang cukup kuat.

Anehnya, pedang yang terlempar ke tanah sudah terlihat berkarat dan tumpul. Penyihir itu menyimpulkan, pemuda itu pasti bukan seorang pendekar hingga ia bisa babak belur dihajar tanpa perlawanan berarti. Namun, tak dilihatnya tongkat sihir di sekitar mereka. Apa ia benar-benar hanya rakyat biasa? Mungkin petani yang terlatih mencangkul dan membajak sawah, tapi tak bisa berkelahi.

Pria itu jauh lebih tampan dari yang disangkanya.

Satu langkah lagi penyihir cantik itu mendekat. Ia ingin menuntaskan semua rasa yang bercokol kuat di dadanya. Ini tak mungkin cinta. Ia tak pernah semenyedihkan itu untuk jatuh cinta pada orang yang bahkan tak pernah dikenalnya.

Gadis itu mendongakkan kepala, mengangkatnya tinggi-tinggi untuk berusaha menjaga diri agar tak terlihat terlalu tertarik pada pemuda tampan itu. Ya … ia belum pernah jatuh cinta lebih dulu. Jadi kali ini, ia akan membiarkan takdir membawanya pergi. Dirinya berjanji akan membuat rasa ini tuntas.

Penyihir itu tak ingin terombang-ambing rasa janggal yang mendadak hadir memenuhi jiwanya. Entah akan ditiup hingga apinya membesar, atau justru diempas habis hingga baranya padam tak tersisa. 

"Siapa namamu?” Gadis penyihir itu tersenyum dengan sangat manis. Senyum tulus yang sama sekali tak memiliki aura penggoda seperti yang biasa ia lakukan pada buruannya.

"Agnis," balas pemuda itu sembari mengerutkan alis. Ia heran bagaimana seorang penyihir angin yang terlihat kuat sampai peduli menanyakan namanya.

Senyum merekah lebar. Tebakannya benar. Pemuda itu memang buruannya. "Baiklah Agnis, aku Tatyana Reginaventia. Kau boleh panggil aku Tatyana." Penyihir itu berkacak pinggang penuh kebanggaan.

“Terima kasih banyak atas bantuan Anda. Saya benar-benar berutang budi.” Suara rendah, tapi juga lembut terdengar.

Tatyana tanpa sadar tersenyum. Mendengar pemuda itu bicara panjang rasanya menyenangkan. Gadis penyihir angin itu ingin mendengar lebih banyak lagi.

“Kau tak perlu terlalu formal bicara padaku. Panggil saja Tatyana.” Satu kerlingan mata mengharapkan Agnis menuruti permintaannya.

“Ba-baik.” Agnis membalas gugup. “A-aku berterima kasih, Tatyana."

Tatyana bertepuk tangan sejenak. “Naaah … begitu lebih enak.” Ia mengangguk-angguk puas.

“Lalu, karena aku telah menyelamatkanmu, maka kau harus balas budi dengan membantuku mencari Sayap Legendaris!”

Agnis bahkan tak mampu membantah.

***



Author Note:

Terima kasih telah membaca. Salam kenal, saya Shireishou, biasanya dipanggil Shirei atau Shi saja.

Ini karya pertama di Cabaca. Deg-deg-an rasanya. Semoga bisa diterima, ya. InsyaAllah ceritanya seru dan beda dari cerita Shirei yang lain.

Selamat menikmati perjalanan Agnis dan Tatyana.

Btw, kalau ada cast orang beneran, kira-kira siapa yang cocok buat mereka?