cover landing

SAKI

By Idha Febriana


Mati!

Mati! Mati!

Mati! Mati! Mati!

Kenapa aku nggak boleh mati? Apa karena itu menyakitkan? Kalau memang begitu, kenapa orang-orang yang mati nggak balik aja biar nggak kesakitan?

“Kamu masih muda, kenapa mikir soal mati, sih?”

Kenapa memangnya? Bayi yang belum lahir aja bisa mati, kok. Apa bedanya mati sekarang sama nanti? Toh, sama-sama mati, kan?

Orang-orang lebih suka sok tahu dan menilai hidup orang lain sesuai standar mereka. Apa yang boleh dilakukan, apa yang nggak boleh, ini bikin malu, jangan begini, harusnya begitu, bla, bla, bla. Mereka bicara seolah-olah semua orang adalah robot yang bisa dikendalikan dengan satu pengendali.

“Harusnya kamu bersyukur masih punya orang tua yang bisa menyekolahkanmu di sekolah bagus. Coba lihat anak-anak yang di jalanan itu. Bisa makan dengan benar aja udah syukur.”

Apa mereka nggak tahu, aku sekolah dengan beasiswa penuh hingga lulus? Aku harus bekerja keras dan belajar sepuluh kali lebih keras hanya agar peringkatku nggak turun. Orang tua? Kalau yang mereka maksud adalah Ibu, tentu saja aku bersyukur masih memiliki Ibu di sisiku. Kalau maksud mereka Om Rendi, cih, seharusnya mereka sudah tahu kan apa yang laki-laki itu lakukan padaku? Satu lagi, memangnya salahku kalau anak-anak di jalanan itu nggak bisa makan?

“Kamu nggak kasihan sama ibumu? Ntar siapa yang bakal nemenin masa tuanya kalau kamu mati sekarang?”

Kalian nggak kasihan sama aku? Kenapa aku harus memahami orang lain saat nggak ada satu pun yang mau memahamiku. Aku juga manusia, sama kayak kalian. Aku minta tolong, tapi kalian menyebutku cari perhatian. Sekarang aku mau mati karena sudah nggak punya alasan apa pun buat hidup, kalian bilang aku egois. Jadi apa sebenarnya yang harus kulakukan?

Padahal aku cuma pengin jadi diriku dan dilihat karena itu diriku. Bukan Adhia, si pintar penerima beasiswa. Bukan Adhia, si ketua kelas. Bukan Adhia, anaknya Bu Ratih. Bukan Adhia, anak tirinya Pak Rendi.

Hanya Adhia. Tanpa ada embel-embel apa pun di belakangnya.

“Nggak usah ngeluh!”

Aku manusia, terus kenapa kalau aku ngeluh?

Orang-orang hanya pandai berkomentar. Tapi waktu disodori buat hidup menggantikan diriku, mereka akan mundur teratur. Mereka nggak tahu apa-apa soal hidupku. Apa pun yang kulakukan, baik atau buruk, mereka hanya akan berkomentar. Seperti komentator pertandingan sepak bola yang terkadang nggak tahu apa-apa soal keadaan di lapangan karena hanya melihat dari kejauhan.

Terus sekarang mereka sok-sokan mengomentari pilihanku buat mati. Aku udah nggak bisa milih buat lahir jadi diriku sekarang. Masa iya, buat mati aja aku juga nggak diberi kesempatan buat milih?

Yang mereka lihat dari hidupku hanya kulit. Permukaan laut yang tenang, bukan berarti nggak ada gelombang di sana. Permukaan tenang hanyalah kamuflase untuk menipumu, menipu kalian semua.

I’m okay. It’s mean, aku butuh bantuan.

I’ve been okay. It’s mean, bantuan yang kalian tawarkan sudah sangat terlambat.

Aku cuma pengin mati. Cuma mati satu-satunya cara keluar dari sini. Cuma mati satu-satunya kunci. Hidupku hancur. Kunciku untuk keluar dari kotak ini sudah tenggelam. Dan nggak akan lama lagi aku juga akan ikut tenggelam.

Thanks to life!

***

Zayyan meletakkan buku bersampul hitam itu di meja, kemudian menghela napas. Cowok itu sungguh tak habis pikir, Adhia bisa menuliskan hal-hal mengerikan begitu. Mati? Astaga, apa sebenarnya yang ada dalam kepala cewek itu?

Tanggal yang tertera di halaman paling depan buku tersebut adalah tanggal tujuh hari yang lalu. Apa yang terjadi di hari itu? Zayyan mencoba mengingat, tapi nihil. Ingatannya seolah buntu. Dia tidak benar-benar mengenal Adhia seperti yang selalu dikatakannya selama ini. Zayyan sudah tertipu senyum dan tawa palsu di wajah cewek itu.

“Kupikir kamu orang paling realistis dan dewasa di kelas kita, Dhi. Apa sekarang kamu masih hidup? Apa yang sebenernya terjadi sama kamu?”

Cowok itu kembali meraih buku harian Adhia dan membuka lembar lain yang ditulisi. Kening Zayyan berkerut ketika melihat tanggalnya. Buru-buru dia membuka lembar-lembar selanjutnya dan mengecek tanggalnya.

“Sial!” Zayyan mengumpat.

Adhia sengaja menulis secara acak di buku itu. Tanggalnya tidak berurutan, begitu pula dengan lembar-lembarnya. Halaman pertama ditulisi, halaman kedua hingga keempat kosong, halaman kelima kembali ditulisi. Pola penulisan lembarannya juga terlalu acak. Tidak selalu empat halaman sekali. Belum lagi penggunaan bahasa Inggris yang seolah memang disengaja agar tidak ada yang bisa membaca keseluruhan isi catatan harian itu.

“Apa ini caramu biar nggak ada yang baca diary ini, Dhi?” Zayyan kembali bertanya seolah-olah Adhia ada di sana. Bibirnya mendecap-decap, tangannya bergerak membolak-balik halaman buku itu. “Kamu sengaja ngasih kerjaan ke aku kayaknya.”

Zayyan menggigit bibir setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. Di kepalanya sekarang berputar skenario terburuk. Adhia memang sengaja tidak ingin ditemukan. Baik oleh orang tuanya, Zayyan, atau siapa pun. Meski tidak yakin, Zayyan mengira ada yang disembunyikan Adhia di dalam diary itu.

Besok siang, tepat tiga kali dua puluh empat jam Adhia menghilang. Mungkin Zayyan akan kembali datang ke rumah cewek itu dan menyarankan ibu Adhia untuk melapor ke polisi, mungkin juga tidak. Cowok itu belum mengambil keputusan. Malam ini, Zayyan hanya akan fokus mengurutkan tanggal penulisan diary Adhia. Siapa tahu dia bisa menemukan petunjuk keberadaan cewek itu dari buku ini.

Ah, iya. Hampir saja Zayyan lupa. Mengusut kehebohan yang dibuat Adhia minggu lalu juga harus menjadi daftar pekerjaannya. Pertama-tama, dia harus menanyai Gea, teman sebangku Adhia. Karena, sejak hari itu, Adhia pindah tempat duduk dan tidak mau sebangku dengan siapa pun.

Zayyan tidak tahu apa tepatnya yang memicu kehebohan minggu lalu. Dia hanya tahu Adhia tiba-tiba tidak mau berdekatan dengan siapa pun. Cewek itu menjadi gampang histeris, hanya karena seseorang menepuk pundaknya. Zayyan malas memicu pertengkaran. Karena itu, dia memilih tidak mendekati Adhia sama sekali.

Mereka sudah terlalu sering bertengkar. Pertengkaran terakhir mereka dua hari lalu sebelum Adhia membolos dan tidak pulang hingga saat ini.

Tunggu!

Zayyan menepuk dahinya. Hampir saja dia berteriak pada dirinya sendiri.

Cowok itu kembali berpikir. Kenapa dia harus repot-repot mencari Adhia? Siapa tahu cewek itu sekarang memang sedang ingin sendiri dan menenangkan diri? Untuk apa dia merasa bersalah untuk sesuatu yang bahkan tidak dia lakukan? Rasanya berlebihan menganggap dirinya menjadi penyebab Adhia menghilang. Beasiswa cewek itu dicabut bukan karena Zayyan, tetapi karena Adhia sendiri yang memutuskan untuk menjaminkan beasiswanya. Kenapa jadi Zayyan yang harus merasa bersalah sekarang?

Akal sehat dan hati nurani Zayyan sedang berperang. Seharusnya dia senang kalau Adhia tidak ada di sekolah. Itu artinya dia bisa mengambil alih peringkat satu yang selalu dipegang cewek itu selama tiga semester. Itu artinya, mungkin saja Zayyan bisa mendapatkan tepukan bangga dari Papa seperti yang selalu dia impikan selama ini.

Zayyan terkekeh. Bukan pelukan atau pujian yang dia inginkan. Satu tepukan di pundak saja sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, rasanya tidak benar jika dia mengambil kesempatan ini untuk kepentingannya sendiri. Zayyan memang egois. Hanya saja, saat ini, rasa khawatir di dalam dadanya jauh lebih besar bila dibandingkan egonya.

Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan Adhia sekarang. Bagaimana kalau sebenarnya Adhia tidak kabur, melainkan diculik? Bagaimana jika sebenarnya Adhia bukan ingin bunuh diri, melainkan ada orang jahat yang ingin membunuhnya? Berbagai skenario berseliweran di kepala Zayyan. Mulai dari yang terkonyol hingga yang paling mengerikan.

Lagi pula, dia masih diskors. Sepuluh hari. Nanti Zayyan akan berterima kasih pada Mr. PMS yang meringankan hukuman karena menganggapnya iseng semata. Tidak ada yang bisa dia lakukan selama seminggu ke depan selain mencari Adhia, meskipun dia tidak tahu tujuannya melakukan itu. Apa pun alasan cewek itu menghilang, Zayyan merasa perlu mengetahuinya.

Pandangan Zayyan kembali terjatuh ke atas tulisan ‘MATI’ yang ditulis besar-besar dengan spidol merah dan huruf kapital. Cowok itu kembali menghela napas. Tangannya mengusap tulisan itu, seolah rangkaian huruf tersebut bisa menyalurkan kenangan penulisnya.

“Kenapa kamu pengin banget mati, Dhi? Sesulit apa hidupmu? Kenapa kamu tertawa kalau hatimu terluka? Apa nggak ada yang bisa kamu percayai di antara temen-temenmu? Bahkan Gea juga nggak tahu ke mana biasanya kamu melarikan diri kalau ada masalah.”

Zayyan memejamkan mata dan kembali membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa menimpa Adhia. Monolog dalam kepalanya masih berlanjut.

***