cover landing

Sabre

By I Dharma Sutarsa


Surabaya, Agustus 2024

DHARMA

Ini sulit untuk dijelaskan. Keadaan kota ini sudah sangat tidak baik. Kami hanya mengamankan sebuah kota buatan kecil berukuran enam hektar. Di sisi barat dan timur kami buat benteng berukuran lima meter. Di sisi selatan kami buat pos penjagaan dengan benteng yang dipersenjatai tank bekas tentara dengan senjata otomatis dengan kecepatan 10 peluru per detik. Di sisi lain, sisi utara, sebuah gerbang besi yang dialiri listrik dengan penjagaan ketat 24 jam tentara bersenjata kaliber tinggi kami siagakan.

Keadaan kota-kota besar sudah tidak kondusif, bahkan bukan hanya Surabaya, Magelang lumpuh total, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan, Jakarta sudah tenggelam menjadi kota lautan darah. Bau amis darah tercium di penjuru kota. Tak ada yang tersisa.

Bandung, kami sedang mencoba melakukan kontak melalui radio dengan sinyal yang tidak mudah didapat. Kami laiknya manusia di tahun 1970-an, tak ada internet, tak ada telepon, tak ada fax, apalagi sosial media yang ramai hingga tahun 2020. Empat tahun yang lalu, semua koneksi terputus secara total.

Pulau Jawa diisolasi.

Sekitar 40 kepala keluarga yang masih tersisa di kota kecil ini, bukanlah keluarga yang utuh. Ada di antara mereka yang gugur saat evakuasi. Kota yang kami beri nama Drupadi, sebuah kota terakhir dari kasih sayang seorang wanita hebat yang segera memberi solusi pada manusia-manusia yang masih bisa bertahan di masa ini. Maris, seorang pemimpin kota yang segera melakukan tindakan penjagaan saat kejadian itu terjadi.

Aku dan 138 orang lainnya yang bertahan adalah sisa dari pembinasaan manusia di pulau ini. Pulau Jawa yang terisolasi dari dunia luar, dari kehidupan yang tenang, dari dunia yang nyaman.

Teror semakin memuncak di berbagai kota hingga ke desa pada awal 2020. Semua dimulai dari Jakarta. Hingga kota yang paling jauh dari Jakarta, Surabaya. Kami masih berharap ada sekelompok manusia yang bertahan di kota-kota lainnya, tetapi hingga saat ini, kami tidak bisa mendapatkan kontak dari mana pun melalui radio yang masih bertahan.

“Kita dapat kontak dari Bandung, rek!” teriak seseorang dari suatu rumah yang kami desain sebagai pusat informasi. Tak salah lagi, itu pasti Stephen, seorang mahasiswa lulusan Harvard asli Ponorogo. Berperanakan Jawa-Tiongkok. Dia yang membantu kami membuat jaringan baru melalui radio, bahkan dia juga yang mendesain kota kecil ini menjadi sangat nyaman dengan CCTV di setiap sudut penjagaan, agar kita tetap bisa memantau keadaan atau ancaman dari luar.

“Aku mendapat kontak dari seseorang bernama Denis,” ucapnya dengan nada khas Jawa Ponorogo. “Ada berapa orang yang masih hidup?” sambar seorang wanita di sisi kanan komputer. Seorang bertubuh tinggi kekar, wanita yang gagah, bahkan tak akan ada yang menyangka dia adalah seorang wanita, kami memanggilnya Mayor Lisa. Tentara wanita yang memimpin regu penyelamatan Bu Maris pada kejadian 2020. Wanita itu yang kemudian memimpin keamanan di Drupadi.

I have no ideaMam. Tapi aku sedang memperbaiki sinyal agar tetap terhubung. Tunggu sebentar,” ucap Stephen sambil membuat beberapa ketikan agar sinyal tetap kuat. “Halo … kkrssk …. Kami punya informasi baik, tolong kami. Persediaan di sini semakin menipis …. Kkrssk ….” Kata seseorang dari balik radio di belahan lain.

“Aku harus membuat sinyal semakin kuat. Andre tolong naikan antena 2 di pos barat sekarang!” perintah Stephen kepada Andre. “Sip, Bro!” Andre segera berlari ke luar, menuju pos Barat menggunakan sepeda motor.

“Bandung ada di barat kita, sepertinya antena harus dibuat lebih tinggi.”

Sesaat masih hening, kemudian terdengar suara yang semakin jelas. “Halo ... halo Mas …” Suara dari balik sana.

“Baik, kami mendengar kalian, berapa orang yang masih hidup di sana?” tanya Mayor Lisa.

Eh ... Bu, ya? Halo … kami sekitar 20 orang, eh maaf 21 … Kami di Bandung, keadaan semakin genting di sini, kami kehabisan bahan makanan, kalian berada di mana?” jelasnya.

“Kami dari Surabaya. Bisa dijelaskan berapa Sabre yang ada di sana?”

Kata itu semakin mengiang di dalam pikiran kami. SABRE. Beberapa dari kami mungkin akan bergetar ciut merasa ketakutan jika mendengar kata itu. Sabre mengincar manusia, bukan hanya membunuhnya, tapi mencabik-cabiknya, membuatnya menjadi terpotong-potong, dan memakannya. Kami tidak pernah tahu bagaimana Sabre bisa muncul dan menghabisi manusia-manusia di pulau ini. Aku bahkan pernah melihat kebrutalannya. Mereka haus darah, mereka kelaparan, mereka rakus.

Kami tidak tahu pasti, Bu, yang pasti mungkin puluhan. Tolong beri bantuan segera! Kami mohon …. Kkrssk .…”

“Di mana kalian tinggal?” Aku menyambar sembari memberi tanda meminta maaf pada Mayor Lisa. “Kami ada di jalan Braga, Gedung tua berlantai dua. Tolong kami, jika kalian sama-sama bertahan hidup, kami punya informasi penting untuk kalian …. kami bersama satu di antara Sabre yang sembuh. Dia sabre yang baik. Dia bersama kita. Kalian pasti membutuhkan informasi ini.

Suasana kemudian hening, semua orang dalam ruangan itu bertanya-tanya tentang “Sabre yang sembuh”—“Sabre yang baik”. Apakah ini jebakan? Atau …. Apa yang ada di Bandung?

“Bertahanlah seminggu ke depan, kami akan menolong kalian.” Aku kembali menyambar. Saat itu juga Mayor Lisa menatapku dengan tajam, kemudian memberi tanda bertanya.

Tolong lebih cepat, waktu kami mungkin tak banyak!

Kemudian sambungan terputus.

“Apa yang kaulakukan?” tanya Mayor Lisa sedikit agak mendesakku.

“Aku pikir, mungkin ada benarnya apa yang dikatakan seseorang di balik radio itu,” jawabku.

“Apa kau tidak berpikir itu adalah jebakan?”

“Lis, kita semua tahu, Sabre tak punya otak untuk berpikir akan menjebak kita. Mereka haus darah, yang mereka tahu hanyalah makan.”

“Tapi apa yang dia katakan? ‘Sabre yang sembuh’? ‘Sabre yang baik’? Bagaimana bisa?!” bentaknya

“Ini juga yang membuatku yakin kalau di sana mungkin kita punya harapan.”

“Harapan apanya? Kita pernah ke perbatasan untuk meminta jalan ke Bali, tapi apa yang kita dapat? Rentetan tembakan. Lima anggotaku mati. Itukah harapan?”

“Aku yakin ada sebab mengapa Pulau ini diisolasi. Mungkin kita bisa dapat jawaban dari mereka, mereka menjanjikan informasi penting, mungkin sebuah jalan. Kita di sini pun hanya diam dan bertahan—pasif. Kita akan bertahan sampai kapan?” jelasku, dan semua orang terdiam, tampak mendukungku. Sepertinya.

“....” Lisa tampak akan mengucapkan sesuatu tapi tak jadi. Dia hanya diam.

“Kau pun cuma diam, Lisa. Kita harus bangkit, kita punya senjata, Stephen membuatkan desain baju yang hebat seperti ini, mobil kita sudah dalam bentuk modifikasi anti Sabre, belum lagi persenjataan kita yang hebat ini. Aku yakin kita bisa menghabisi para Sabre di Bandung, dan membawa kabar baik untuk manusia-manusia yang bertahan.” Aku berbicara seperti membual, padahal aku sendiri tak yakin. Namun, aku punya sedikit semangat. Belum lagi karena Bandung adalah kota kelahiranku, mungkin aku bisa menemukan Ibu dan Bapak atau saudara-saudaraku yang masih selamat di sana.

“Aku sependapat denganmu Darma, apa pun yang ada di sana, memiliki potensi yang baik untuk kita.” Seseorang di belakangku berbicara, Ari. Seorang letnan tentara berperawakan tangguh.

“Jika kau akan pergi, ajak aku, Sir! Destinasi wisataku selanjutnya harusnya Bandung,” sahut Brad, seorang bule asal Amerika yang tersesat di pulau ini. Sudah pandai berbahasa Indonesia sejak tour-nya kacau di Borobudur. Dia belajar bahasa Indonesia karena dia berpikir akan seumur hidupnya berada di sini.

“Aku juga ikut, Kak!” kata Andre, adikku.

“Oke … oke. Kalian memang benar-benar tidak bisa ditahan, tapi jangan salahkan aku jika kalian tak bisa kembali ke sini,” sela Mayor Lisa yang langsung pergi. Sesaat sebelum membuka pintu, dia berkata, “aku akan berbicara pada Bu Maris, semoga Beliau mengizinkan kalian.” Dari sorot matanya, aku melihat ada sedikit pengharapan. Semoga kami bisa pergi ke Bandung.

***

“Aku pulang!” Aku masuk ke rumah nomor 8 di jajaran Barat. Itu rumahku bersama istriku, anakku, dan adikku—Andre.

“Papa!” sambut anakku.

Hey, gimana sekolah tadi?”

“Asyik. Teman SD-ku ada empat orang, tapi kenapa muridnya cuma sedikit, Pa?”

“Nanti juga semakin banyak,” jawabku.

Tama anakku, mungkin satu-satunya bocah yang selamat dari Bandung dan istriku Nisa, kini bertahan di Drupadi. Kami melakukan perjalanan panjang, berganti-ganti mobil, perjalanan hingga 400 km jauhnya kami tempuh selama satu minggu. Dari Bogor ke Surabaya. Aku sempat melewati Bandung, tapi nahas, seseorang berkata pada kami untuk tidak datang ke Bandung, Bandung sudah menjadi lautan api—Lautan darah.

“Aku sudah buatkan makan, ya, Pa.” Nisa menengok dari balik pintu dapur mengajak kami untuk makan. Rumah sederhana yang dulu kami sebut sebagai perumahan kaveling yang berejejer 40 rumah dari ujung selatan ke ujung utara. Kami mempertahankan situasi aman ini selama 4 tahun. Kami tak ingin kembali ada Sabre yang mengacau.

Setelah makan siang itu, aku mengajak Nisa mengobrol di ruang depan, hendak meminta izin untuk pergi ke Bandung. Aku menceritakan apa yang terjadi di rumah informasi Stephen, dan dia begitu terkejut saat tahu masih ada kehidupan di Bandung. Saat aku mengatakan akan pergi ke sana, raut mukanya masam, dia lantas terdiam selama satu menit. Ini dia kebiasaannya jika apa yang dia harapkan tak sesuai dengan apa yang terjadi.

Namun, sesaat raut wajahnya berubah, dia tersenyum. “Tapi aku tahu kamu pasti bakal kembali ke sini.” Dia menyetujuinya.

Nisa aku nikahi di tahun 2016, saat umurku 26 tahun. Dia lebih tua dua tahun dariku, lebih tahu jika gagasanku mungkin akan membawa kebaikan juga buat dirinya. Dia tak pernah mempertanyakan apa pun dalam hidupku, sosok penurut yang selalu menjaga kepercayaan, dan juga menjaga buah hatiku, Tama.

***

Sore harinya, kami dikumpulkan di beranda wali kota, Bu Maris mungkin akan menyampaikan sesuatu. Beliau duduk di sebuah kursi dorong, di belakangnya, Mayor Lisa mendampingi, 138 orang lainnya duduk di kursi yang disediakan. Para Arjuna, kami memanggilnya duduk di barisan paling depan.

Kata Arjuna kami gunakan untuk menyebut seorang pria atau wanita berkisar 20-40 tahun yang bertugas menjaga lingkaran penjagaan di Drupadi, mencari bahan makanan ke luar lingkaran dan hal-hal lain yang berurusan dengan dunia luar. Jumlah kami 48 orang, dan salah satunya adalah aku dan Andre.

“Aku mengumpulkan kalian di sini untuk memberikan persetujuan mengenai keberangkatan beberapa di antara kita ke Bandung.”

Semua orang tampak bertanya-tanya, dan kaget. Apa yang terjadi? Mungkin itu yang ada di benak mereka.

“Tunggu sebentar, biar aku selesaikan terlebih dulu!”

Semua hening. Kemudian Bu Maris melanjutkan.

“Seseorang di Bandung berhasil kita kontak melalui radio, dan mereka mengatakan masih ada yang selamat di sana. Bukan hanya itu, mereka memiliki informasi penting.” Bu Maris berhenti sejenak karena terbatuk.

“Baiklah, saya yang lanjutkan!” potong Mayor Lisa. “Pada intinya, Bu Maris menyetujui keberangkatan tim yang akan dipimpin oleh Darma, ke Bandung.”

Semua mata tertuju padaku.

“Ya benar, kami ingin kalian semua mengetahuinya, Bandung adalah kota asal Darma, dia pasti tahu seluk-beluk kota ini. Aku akan menugaskan tujuh orang yang akan pergi. Semoga kita akan mendapatkan sedikit infromasi di sana.”

“Baiklah, Darma. Boleh dijelaskan apa yang akan kau lakukan di sana.”

Aku segera memapah kakiku menuju beranda tempat pelantang bersuara.

“Baik, terima kasih, Bu Maris dan Mayor Lisa,” ucapku sembari memandang tajam Mayor Lisa. “Tadi pagi, pusat informasi menemukan kontak dengan seseorang di Bandung, dia mengatakan masih ada sekitar 21 orang yang masih bertahan di sana. Dan terlebih ada informasi penting berkaitan dengan kejadian selama empat tahun belakangan ini. Maka dari itu, saya sebagai orang Bandung mungkin bisa menolong mereka dan mendapatkan informasi itu.”

Suasana tiba-tiba gaduh, banyak orang yang sepertinya ingin mengeluarkan pendapatnya, sampai kemudian ada seseorang yang bertanya, “Apa kau akan membawa orang-orang itu ke sini?”

“Bila memungkinkan, aku akan membawa mereka ke sini. Itu adalah salah satu misinya,” jawabku.

“Bagaimana jika itu jebakan?” Seseorang lagi bertanya, dan suasana semakin gaduh.

“Kita tidak pernah melihat Sabre menelepon,” jawabku, dan semua orang tertawa. Berpikir benar juga, Sabre seperti binatang, bahkan tak pernah ada yang melihat Sabre berbicara dengan Sabre lainnya untuk menertawakan sesuatu.

“Oke, langsung saja. Aku membutuhkan beberapa orang untuk mendampinginku pergi, aku pilih sesuai kemampuan dan kesediaan mereka. Mereka ialah Letnan Ari sebagai Komandan Operasi, Andre, Brad, Sersan Timotius, Ilham sebagai teknisi dan Daniel untuk mengoperasikan sistem informasi. Daniel sengaja kami ikutkan, karena misi kami lainnya adalah meluncurkan roket satelit ke langit agar informasi di kota-kota yang kami kunjungi bisa di terima juga oleh pusat informasi Stephen. Dan juga, membuka kembali akses internet di seluruh pulau Jawa ini.”

Stephen memiliki banyak sekali koneksi di Tiongkok. Dia juga seorang ahli robotika, dia bisa mendesain bentuk satelit kecil yang bisa mengakifkan sistem informasi di Pulau Jawa. Setidaknya kita akan tahu kabar-kabar dari luar tentang yang terjadi di sini.

Misi ini ialah sama pentingnya dengan misi lain, kami pun bisa mengirimkan informasi kepada masyarakat dunia tentang apa yang terjadi di sini, dan bagaimana kami yang masih hidup, bertahan di sini.

Kami pun usai menjelaskan misi kami pada orang-orang yang tinggal di Drupadi. Kini kami harus bersiap. Kami pergi esok pagi.

***

GIVE AWAY!

Berikan komentarmu di bab pertama Sabre.

Komentar yang terpilih akan mendapatkan novel favorit author bergenre distopia/fantasi.

Jangan lupa follow instagram @sutadharmawanarsa