cover landing

Runaway

By AyeshaSophie


Prolog

Aku masih dapat mendengar teriakan Uma sebelum ia jatuh.

“Lari, Karin!”

Bang Mito menarikku. “Ayo!”

Kami berlari ke arah hutan. Aku menoleh sekilas ke rumah. Teringat Upa. Aku ingin melihatnya, memastikan ia baik-baik saja. Kemudian seorang lelaki jangkung bermasker datang menyusul kami. Pistolnya teracung.

Dor!

Bang Mito jatuh.

Aku menjerit di antara air mataku. Tidak, tidak, jangan.

Bang Tomi menarik tanganku. Menyuruhku bergegas. Orang-orang itu mengejar kami.

Kami hampir masuk ke hutan. Tempat burung hantu menyuarakan kematian dan ular berkeresak di antara dedaunan.

Dor!

Bang Tomi menarikku ke tanah. Dug! Aku tersungkur. Sesuatu mendesing cepat di atas kepalaku. Peluru. Bang Tomi mengambil sebuah batu di tanah. Ia berbalik dan berteriak, “Lari, Karin!

Aku menoleh. Si Jangkung masih mengejar. Semakin dekat ke arah kami.

Tubuhku gemetar. Kutarik diriku ke balik pohon. Aku. Harus. Lari.

“Cepat, Karin!”

Dor!

Aku tersandung. Bersamaan dengan itu kudengar sesuatu jatuh di belakangku.

***

Aku masih tergagu di sini. Lututku lemas. Tabungnya masih aman.

Tabung!

Upa menyuruhku lari menyelamatkan tabung tersebut.

Kugenggam tabung di dalam sakuku erat-erat. Air mataku jatuh satu-satu ke tanah, bersamaan dengan hujan.

Keresak daun. Tubuhku menegang. Aku harus lari.

Aku melompat hati-hati keluar persembunyianku.

Krak.

Aku menginjak ranting.

“Itu dia!”

Aku berlari secepatnya. Jantungku berdebar begitu keras, mengiringi setiap hentakan kakiku. 

Tikus bercericit. Kelelawar berkelepak di atas kepalaku. Titik-titik air jatuh ke kepalaku. Hujan. Kakiku bergerak cepat, menerabas setiap semak dan belukar.

Suara-suara di belakangku. Perintah-perintah. Teriakan-teriakan marah. Cepat. Lebih cepat, Karin! Aku meneriaki diri sendiri. Hosh! Hosh! Napasku memburu. Degup jantung memukul-mukul dadaku

“Di sana!” Seseorang Berteriak. Laki-laki. Suaranya kasar dan kering.

Hosh! Hosh! Ketakutan merambati tubuhku, melingkar-lingkar seperti ular yang terjebak. Aku tidak peduli ke mana kakiku melangkah. Satu-satunya pikiranku hanyalah, lari. Lari sejauh mungkin.

Kemudian aku terhenti. Ada sesuatu yang menganga di depanku. Dengan ngeri kudengarkan derak kerikil yang jatuh dalam kegelapan. Jurang.

Keresak daun dan langkah kaki muncul seperti panggilan kematian di belakangku. Aku menoleh. Seorang lelaki jangkung muncul dari balik pepohonan.

“Hai, Nak.”

Aku berbalik. Kumasukkan tanganku ke dalam saku, menggenggam tabung besi itu. Ukurannya kecil, hanya sebesar pena kerja ayahku tapi, isinya bisa mencelakakan seluruh dunia.

Lelaki bertubuh jangkung itu menelengkan kepalanya dan tersenyum. “Kita belum pernah berjumpa sebelumnya, kan? Tak masalah, sih. Tapi kau tahu aku ingin tabung itu, kan?” Ia tertawa keras.

Kakiku gemetaran. Jantungku berdentum tak keruan. Suara Upa terngiang-ngiang di ingatanku.

“Karin, bawa lari tabung ini. Jangan sampai jatuh ke tangan yang salah. Nasib seluruh dunia ada di dalamnya.”

Aku menggeleng. Seseorang maju. Ada pistol di tangannya.

Aku mundur selangkah, merasakan ruang hampa di belakangku.

Hayooo, Kau tak bisa lari, lho.”

Aku berbalik menghadap jurang. Ada yang berkilau ditimpa cahaya bulan di bawah sana. Samar ricik air dihantarkan angin ke telinga. Angin lebih dingin di sini. Lebih berbahaya.

Kupalingkan kepalaku pada mereka

Jangan macam-macam, Nak.

Si Jangkung maju selangkah, mengulurkan tangannya. Sebelah alisnya terangkat dan bibirnya masih tertarik mengulas senyum. Orang ini baru membantai semua keluargaku, dan ia tersenyum.

Ayo, berikan padaku. Lalu kau boleh pulang dan tidur. “

Memangnya dia pikir aku bodoh.

Kugenggam tabung itu erat-erat.

Dan aku melompat.

Selamat tinggal dunia.

 

***

 

Satu: Seseorang di Dalam Pondok

Karin

Aku terjaga dalam hawa dingin. Seluruh persendianku menggigil. Kabut menutupiku bagai selimut. Tulang-tulangku bergemeletuk. Sebentar lagi aku pasti mati. Aku berusaha menggerakkan tangan. Kaku. Seolah tangan itu sudah membeku. Darahku tersendat-sendat di dalam urat-uratnya. Aku menggerakkan jemari, berusaha bangkit. Aku pasti akan mati. Pasti mati. Pasti. Mati.

Burung hantu menjerit di udara. Tabung itu! Aku menggerakkan kepala. Tanah keras di bawah pipiku. Bau lumpur. Bau rumput. Bau cemara. Bau kotoran.  Aku merasakan sesuatu mengganjal perutku. Batu. Aku berbalik. Menelentang. Langit masih malam. Awan tampak kelabu. Purnama bersembunyi. Tanganku meraba saku baju. Tabung itu masih di sana. Menggigil bersama kulitku. Terima kasih Tuhan.

Aku memiringkan tubuh. Bangkit pelan-pelan. Orang-orang itu pasti ada di suatu tempat. Mengejarku. Merencanakan sesuatu. Aku teringat Uma dan Upa. Teringat Bang Tomi dan Mito. Air mataku mengalir.Tapi aku harus pergi.

Air sungai mengalir di belakangku. Angin melolong di antara pohon. Hal terakhir yang kuingat adalah ketika ceburan keras menenggelamkanku. Segalanya gelap. 

Aku berbalik menghadap sungai. Berjongkok. Kubasuh wajah dan tanganku. Airnya sedingin es. Campuran kesedihan dan keputusasaan. Air mataku menetes-netes jatuh. Menciptakan percikan-percikan kecil di permukaan sungai. Aku tak tahu harus bagaimana.

Aku bangkit perlahan, memikirkan orang-orang tadi. Mereka pasti masih mencariku. Aku harus bersembunyi. Kupandang aliran panjang sungai. Mungkin aku bisa menemukan rumah penduduk bila kususuri sungai ini.

Aku berjalan tersaruk-saruk. Alas kakiku tak ada. Mungkin dilahap arus sungai. Seperti pistol itu melahap seluruh keluargaku.

“Karin, Nak. Kita akan pindah sore nanti.”

“Kenapa, Upa?”

Upa memandang Uma. Uma menatap balik dengan pasrah.

Upa memejamkan mata. “Upa punya sebuah virus berbahaya.

Aku menatapnya. Virus berbahaya?

“Ada orang jahat yang menginginkannya. Virus itu tak boleh sampai ke tangan mereka.

Aku terdiam. Mulai mengerti situasinya.

“Baiklah, Upa.”

“Bagus. Kemas barangmu.”

***

Semuanya bermula pada sebuah ketukan pintu di pagi hari. Umurku delapan saat itu. Aku sedang di dapur, memakan semangkuk sereal. Ada sekelumit pembicaraan. Virus, antivirus, wabah, riset. Tak banyak yang kudengar. Mungkin karena aku terlalu kecil untuk memperhatikan. Tapi aku tahu mereka bicara tentang apa. Virus.

Upa adalah seorang peneliti.  Virus bukan hal asing baginya. Juga bagiku. Majalah-majalah, juga buku di perpustakaan Upa lebih banyak bercerita tentang virus. Bahkan klipingan artikel di dinding pustaka juga tentang virus. Aku tahu virus itu apa. Mikroorganisme yang menginfeksi sel tubuh. Mikroorganisme itu makhluk kecil, lebih kecil dari titik huruf i, Upa menjelaskan. Penipu ulung. Ketika ia menempel di sel tubuhmu, ia akan membuat lubang, memasukkan DNA-nya, sehingga sel mengira itu DNA-nya sendiri. Ketika ia utuh, ia siap memperbanyak dirinya sendiri. Aku membayangkan alien, makhuk asing dari planet asing saat bicara tentang virus. Mereka mengambil alih planetmu diam-diam saat kau masih terlelap.

Saat itu, tentu aku tidak tahu kalau virus yang dibawa ketukan pintu itu bisa membantai seluruh anggota keluargaku lima tahun kemudian.

Kabar tentang virus yang dibawa entah-siapa-yang-jelas-orang-pemerintah, pada pagi hari itu merupakan salah satu jenis virus flu. Aku tidak tahu virus flu itu dari jenis yang mana. Yang aku tahu, Upa diminta membuat antivirus-nya

Membuat antivirus itu lama. Yang ini aku cukup tahu karena Upa bekerja di bidang ini. Mula-mula kau harus meneliti virus-virus itu. Teliti perilakunya, sel kesukaannya, struktur proteinnya, serta bagaimana ia menempelkan diri di sel favoritnya. Dari sana kau bisa menyusun sebuah hipotesa, lalu membuat rumus penawarnya.  Cara mudah mengalahkan virus ini adalah dengan menipunya. Tipulah si penipu! Ujar ayahku. Caranya, dengan membuat seolah-olah sel tempat si virus melekat adalah sel kesukaannya, padahal tidak. Itu akan membuat virus gagal bereproduksi dan mati.

Tapi, kini aku tahu bukan virus itu yang mati.

***

Pakaian basah memperberat langkahku. Aku menggigil di bawah bulan. Sendiri dan ketakutan. Berkali-kali aku menoleh ke belakang, memastikan tidak satu orang pun yang mengikutiku. Aku tidak tahu keajaiban macam apa yang sudah menyelamatkanku tadi. Aku sudah siap untuk mati. Aku sudah mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Tapi, mungkin, Tuhan punya rencana lain.

Aku menerabas semak belukar. Hujan jatuh. Seakan semua penderitaan malam ini belum cukup. Aku berlindung di bawah pohon. Petir menggelegar. Cahaya bulan merayap lemah ke balik dedaunan. Hutan sejauh penglihatan. Di mana aku? Ke negeri hantu mana aku disesatkan sungai?

Ada yang berkeresek di belakangku. Cepat aku menoleh. Dalam imajiku, malaikat maut melayang mendatangi. Jubahnya yang rombeng berkibar-kibar. Sabit kematiannya berkilat penuh ancaman.

Tak ada siapa-siapa di situ. Tapi, tak ada siapa-siapa bukan berarti aman. Terkadang bahaya datang dari sesuatu yang tak bisa dilihat mata telanjang.

Virus misalnya.

***

Bertahun setelah ketukan di pintu itu, Upa datang dengan wajah kusut. Saat itu aku sudah lebih memahami pekerjaan Upa. Sudah lebih mengerti apa saja yang ia bicarakan.

"Ada masalah," ujar Upa pada Uma. Mereka berdua ada di kamar sementara aku dan kedua abangku mencuri dengar di balik pintu, "Ada kecelakaan," lanjut Upa. "Semua tikus mati."

Tikus adalah hewan yang selalu ada di laboratorium Upa. Umumnya orang-orang menguji obat baru mereka ke tikus, karena secara genetis, karakteristik mereka mirip dengan manusia. Tikus dan manusia memiliki proses biologis yang mirip.

"Apa yang terjadi?" tanya Uma

"Virus-virus itu bermutasi," ujar Upa. Suaranya makin rendah, pertanda Upa tertekan. "Tikus yang diberi antivirus mati dalam tiga jam. Lima jam kemudian, tikus di kandang lain mati. Tikus-tikus itu tidak diberi antivirus. Gejalanya kematiannya sama."

"Astaga."

"Arfan sudah menyemprot laboratorium dengan disinfektan," ujar Upa lagi. "Virus-virus itu menyebar melalui udara. Kami semua memakai pelindung."

Aku dan kakak-kakakku berpandangan.

"Antivirus itu tidak berisi penawar, tapi virus jenis baru yang bermutasi. Tidak bisa dibunuh. Bahkan meski sudah dipanaskan dalam suhu 300 derajat celcius. Tidak mati di udara terbuka, bahkan meski setelah dua minggu."

"Ya, Tuhan. Sam ..." ujar ibuku. Sam adalah nama Upa.

"Jika seseorang terkena virus ini dan dia bersin ..." Upa tidak melanjutkan perkataannya.

Kecepatan bersin 250/km per jam. Sekali bersin 100 ribu virus melayang di udara. Itu artinya ....

Dengan ngeri kupandang abang-abangku.

***

Setengah jam setelah berjalan menyusuri sungai, aku melihat cahaya di kejauhan. Akhirnya … seseorang. Aku beringsut. Menarik kaki sedikit demi sedikit. Semoga saja ada orang di sana. Semoga saja dia baik. Semoga saja.

Aku semakin dekat. Sebuah pondok kayu berdiri kesepian di sana. Lemah dan sunyi. Seperti gadis kecil yang ditinggal pergi.

Aku sampai di halaman. Ranting-ranting kayu yang terinjak memperdengarkan rintihan memilukan. Aku menyingkirkan rambut hitamku yang basah dari wajah.

Sebuah bayangan samar melintas di jendela. Ada orang. Akankah dia membuka pintu dan memberi perlindungan, atau membiarkanku menderita di bawah langit malam.

Tok tok tok.

Bahkan ketukan pintu pun terdengar menggigil di cuaca yang seperti ini.

Aku mengetuk lagi. Aku basah kuyup. Kedinginan.

Tok. Tok. Tok.

Tak ada balasan. Atau sapaan. Samar cahaya merayap lemah dari kisi-kisi jendela.

Tak ada pilihan. Cuaca terlalu kejam malam ini. Aku harus berlindung.

Kudorong pintu perlahan.

Krieeet.

Tidak terkunci. Pintu itu menjerit pelan, seperti hantu di tengah malam.

Ruang kosong terpampang di depan mataku.

Tak ada perabotan, tak ada orang. Tapi jelas ada seseorang. Ia menyalakan lampu minyak di tengah ruangan. Kupandang seisi rumah. Lantai kotor. Bau debu. Sarang laba-laba bergantung di langit-langit. Seekor kecoak merayap cepat menjauhiku. Ada cicit tikus di loteng. Jelas bangunan ini lama tak ditempati. Tapi jelas, ada orang di sini. Entah kenapa dia mengabaikanku. Entah mengapa dia tidak mengunci pintu.

Aku mendorong tubuh lebih jauh ke dalam. Air dari bajuku menetes ke lantai kayu.

Pintu tertutup.

Sunyi.

“Halo, apa ada orang?” aku melangkah ke dalam. Gigiku bergemeletuk. “Halo?”

Lalu, sebuah bayangan muncul. Pelan-pelan, seperti tiupan hantu yang muncul dari bawah pintuAku terhenti di tengah ruangan. Bayangan itu memanjang. Langkah kakinya perlahan dan berat. Mendekat sekerat demi sekerat.

Lalu satu sosok muncul dari kegelapan. Seperti keluar dari negeri-negeri yang tak pernah dijamah pikiran. Aku terpaku di tempatku. Berpikir, ke monster mana lagi aku tersesat malam ini?

Tak ada suara. Hanya kegelisahan yang berkecamuk di udara. Aku teringat permainan abang-abangku waktu aku kecil.

"Slender man, Slender man. Dia datang menjemputmu, Karin."

Lalu dia muncul. Laki-laki, lebih tinggi dari Upa. Badannya kurus, kulitnya gelaplengannya kekar. Sorot matannya tajam. Ia melihatku. Dalam samar cahaya, wajahnya tampak marah tapi, suaranya cukup tenang. “Mau apa kau?”

***