Ck. Sial, jam segini pintu gerbang pasti sudah ditutup!
Seorang gadis berambut pendek sebahu mengendap-endap di balik tembok belakang sekolah. Langkahnya terhenti di depan sebuah pohon yang tangkainya menjulang masuk ke seberang bagian dalam tembok. Ia memutar otak, mengira-ngira kemungkinan dirinya bisa memanjat pohon itu dan melompat masuk ke halaman belakang sekolah, demi menghindari Bapak Satpam penjaga yang sibuk menangkap anak-anak yang mencoba menerobos masuk dari gerbang depan.
Dengan sigap, gadis itu menjejakkan kaki pada dahan-dahan yang lebih rendah yang bisa terjangkau oleh kakinya, memanjat pohon pelan-pelan, lalu meringkuk di sela-sela dahan sambil memperkirakan titik yang aman untuk melompat.
Ayolah, Dira. Kamu sudah cukup terlatih melewati jalur ini.
Gadis bernama Dira itu memfokuskan pikirannya pada rerumputan tempatnya akan mendarat. Dalam hitungan ketiga, ia melompat dari dahan pohon tempatnya berpijak dengan penuh optimisme.
Hup!
Sayang sekali, pendaratannya tidak berjalan begitu mulus. Tubuh gadis itu sedikit terguling saat pendaratan. Tas ranselnya terlempar agak jauh dan sebagian roknya tersibak. Untung saja ia mengenakan celana ketat di balik rok. Dira selalu berjaga-jaga seandainya ada situasi yang mengharuskannya berlari, melompat, atau melakukan gerakan non-feminin apapun. Meskipun tidak seberapa mulus, dirinya masih selamat dan berhasil masuk ke dalam kawasan sekolah tanpa ketahuan penjaga.
Dira hanya perlu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan menyelinap ke gedung sekolah diam-diam. Saking banyaknya anak yang terlambat di hari pertama tahun ajaran baru, Bapak Satpam biasanya kewalahan menangani anak-anak yang masuk lewat pintu depan. Berdasarkan yang sudah-sudah, jumlah satpam yang ada tidak cukup untuk menjaga halaman belakang. Jadi, ini adalah solusi jenius, pikir Dira.
Sampai kemudian, gadis itu menyadari keberadaan seseorang yang tengah duduk di salah satu bangku taman.
Seorang cowok yang tampak seusia Dira tengah menatap gadis itu tanpa bersuara.
“Huaaa!”
Sontak, Dira terbangun dari posisinya, menutup rok yang masih separuhnya tersibak itu. Kenapa bisa ada orang di sini?! jeritnya dalam hati. Mau malu dan jaga image pun, sepertinya sudah terlambat. Cowok itu pasti sudah menyaksikan seluruh aksi penyelundupannya barusan, lengkap dengan pendaratannya yang sub-optimal. Dira hanya bisa pura-pura membersihkan kotoran dari pakaian seragam sambil berharap cowok itu tidak berpikir yang aneh-aneh. Beberapa barangnya tercecer akibat lompatan barusan, sehingga ia harus memungutnya satu per satu.
Omong-omong, Dira belum pernah melihat cowok itu di sekolahnya.
Rasa-rasanya agak aneh juga, karena seharusnya saat ini anak-anak sudah berada di kelas. Tapi anak ini, dia bahkan masih membawa tas. Artinya, dia belum sempat masuk kelas. Lalu, apa yang dilakukannya di sini sendirian?
“Kamu ngapain di sini? Nggak masuk kelas? Ayo, kita sudah telat.”
Eh, tapi kan aku tidak tahu dia kelas berapa? Dasar bodoh, ujar Dira pada dirinya sendiri. Cowok itu tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Sebenarnya, Dira lumayan penasaran, tapi ia tidak punya banyak waktu. Ia harus segera sampai di kelas sebelum guru wali kelas datang. Terpaksa, Dira harus membuat pilihan. Diserahkannya rasa penasaran itu pada semesta: kalau memang takdir, pasti mereka akan bertemu lagi. Kalau tidak, ya sudah.
“Oke, kalau begitu aku duluan, ya!”
Setengah berlari, Dira pun bergegas menuju gedung sekolah, masih sambil memeluk barang-barangnya yang belum sempat dimasukkan ke dalam tas.
***
Rasta tahu, seharusnya ia sudah masuk kelas saat ini, atau setidaknya, menemui guru wali kelasnya terlebih dahulu. Pun sebenarnya, ia sudah datang ke sekolah sejak setengah jam yang lalu. Hanya saja, ia tidak ingin bertemu dengan siapa pun, termasuk guru wali kelas. Apalagi, berada di kelas bersama dengan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Ketika memasuki gedung sekolah dan melihat ruang kelas dari kejauhan, Rasta seketika mengurungkan niatnya untuk langsung masuk kelas. Dirinya memutuskan untuk berjalan-jalan sambil mencari tempat sepi di sekitar sekolah.
Begitulah, akhirnya ia menemukan sebuah tempat duduk di halaman belakang sekolah.
Sebuah bangku taman yang catnya sudah usang terkelupas, tetapi masih cukup kokoh dan bersih untuk diduduki. Dari sana, ia bisa melihat bagian belakang gedung sekolah dan juga ruang kelasnya di seberang lapangan, dari kejauhan. Hanya ada satu bangku di sana, terletak di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Tanpa meja atau apa pun. Tidak cukup potensial dan terlalu membosankan untuk dijadikan tempat berkumpul. Sempurna, pikir Rasta.
Ia bisa menghabiskan waktu di sana sampai jam masuk sekolah, tanpa harus berurusan dengan siapa pun.
Rupanya ketenangan itu hanya berlangsung selama kurang lebih lima belas menit. Tepat sebelum Rasta hendak beranjak dari kursi itu menuju kelas, ia mendengar suara gaduh serta gemerisik rerumputan, seperti ada sesuatu yang terjatuh.
Lebih tepatnya, seseorang yang terjatuh.
Saat itu lah, ia melihat seorang anak perempuan jatuh terguling di atas rumput tidak jauh dari tempatnya duduk. Sepertinya anak itu habis melompat dari atas pohon untuk masuk ke halaman sekolah dan tidak menyadari keberadaan dirinya.
Rasta ingin menolong gadis itu, tapi belum sempat ia mengatakan apapun, gadis itu sudah berteriak kaget sambil membetulkan roknya yang setengah terbuka. Ia pun mengurungkan niatnya, berakhir hanya memandangi gadis itu memunguti sebagian barangnya yang tercecer. Gadis ini tampak butuh ditolong sekaligus tidak ingin ditolong. Haruskah dia melakukan sesuatu?
"Oke. Kalau begitu aku duluan ya."
Begitu tersadar, hanya itu kalimat terakhir yang Rasta dengar sebelum gadis itu meninggalkan dirinya dengan terburu-buru.
Rasta menghela napas. Dengan tidak bersemangat, ia pun beranjak dari tempat duduknya. Saat hendak berjalan menuju kelas, pandangan matanya mengarah pada sebuah benda yang tergeletak terjatuh di tanah. Langkahnya terhenti.
Sebuah buku catatan kecil berwarna kuning dengan tulisan ‘hello’ di depannya.
Rasta lalu memungut buku itu. Ia cukup yakin benda itu tidak ada di sana sewaktu ia datang.
Apa ini milik anak barusan? pikirnya seraya membuka buku tersebut. Di halaman pertama buku itu tertera sebuah nama: Renjana Diraswati XI IPA 1. Sekilas Rasta membuka halaman buku itu dengan cepat, tanpa membaca isinya dengan saksama. Persetan, ia tidak terlalu peduli.
Rasta kemudian memasukkan buku itu ke dalam saku jaketnya, lalu berjalan menuju ruang kelas.