cover landing

Ruang Bahagia

By Ayu Fitri. S


Auditorium Hotel Grand Harmony pagi ini lebih ramai dari biasanya. Sekumpulan gadis-gadis dengan penampilan maksimal sedang saling mengomentari make up atau kebaya satu sama lain. Sebagian besar dari 150 orang tersebut sudah mengenakan toga mereka meski acara kurang setengah jam lagi.

Di ambang pintu auditorium itu, Ega tercenung. Matanya memindai bangunan dengan langit yang melengkung megah tersebut. Cahaya terang yang dipancarkan dari lampu-lampunya sungguh nyaman di mata. Kursi-kursi yang sudah diselimuti kain satin mengilap dan dililit pita berwarna biru tua, berjajar rapi. Barisannya membentuk persegi panjang dari ujung depan ke belakang. Sementara, di sisi lain ruangan, deretan kursi serupa juga telah ditata. Malah, sekarang kursi-kursi tersebut sudah hampir penuh oleh wali-wali wisudawati. 

"Yah, finally it's done." Gadis berpostur mungil itu bergumam saat matanya menangkap spanduk besar di depan bertuliskan "Sidang Senat Terbuka Akademi Kebidanan Kasih Ibu. Wisuda XV Ahli Madya Kebidanan dan Sumpah Profesi Bidan".

Ega menganjur napas panjang. Akhirnya sampai juga dia di ujung perjuangan. Toga yang dikenakannya sekarang merupakan bukti bahwa dia cukup bersungguh-sungguh selama ini. Bukan hal mudah bagi dirinya untuk melalui tiga tahun yang telah terlewat. Sejak kali pertama menginjakkan kaki di kampusnya untuk mendaftar, hatinya sudah memberontak keras. Ega, si penakut yang bahkan bisa berkunang-kunang saat melihat darah, akan kuliah di Akbid! Nasib benar-benar menertawakannya.

Namun, keadaan memberikan pilihan yang sulit sekali bagi Ega. Kuliah di Akademi Kebidanan atau tidak sama sekali! Akhirnya, dia lagi-lagi cuma bisa menyerah pada takdir. Dengan niat yang cuma secuil dan tantangan-tantangan perkuliahan yang sungguh di luar nalarnya, Ega kacau di tahun pertama. Dia dapat nilai E untuk mata kuliah anatomi dengan alasan yang cukup memalukan.

Hal dasar yang harus dipahami betul oleh seorang calon bidan yaitu anatomi tubuh wanita, khususnya di bagian perut. Karena itu, di semester pertama, mahasiswi Akbid akan dilepas di laboratorium kedokteran untuk mengamati anatomi tubuh sungguhan. Tubuh-tubuh tersebut berasal dari jenazah-jenazah yang diawetkan. Perut Ega seolah ditonjok begitu keras saat dia memasuki laboratorium. Bubur ayam yang tadi dinikmatinya saat sarapan seketika memaksa naik ke kerongkongan. Perutnya teraduk-aduk karena bau formalin yang begitu menyengat.

Saat harus masuk dan menelaah satu per satu bagian kadaver yang baginya lebih mirip dendeng daging, Ega tidak tahan lagi. Dia lari dari laboratorium, bukan karena takut pada tubuh tak bernyawa yang sudah terkoyak-koyak di hadapannya, melainkan karena rasa mual yang tak tertahankan. Di toilet, Ega menjeluak. Bubur ayamnya keluar, menyisakan lambungnya yang kosong. Sampai satu minggu kemudian, nafsu makan Ega belum juga kembali. Aroma formalin itu seperti menempel terus di hidungnya. Saat teman-temannya asyik membuat laporan, saling bertukar cerita tentang betapa serunya pengalaman itu, Ega cuma bisa meratapi keterpurukan. Dia benar-benar merasa salah jurusan.

"Ga! Ngelamunin apa, heh? Ayo baris!" Suara nyaring yang Ega kenal betul, membuyarkan lamunannya.

"Eh, udah mau mulai, ya?" Ega menjawab kikuk. Dia seperti dikembalikan secara mendadak dari mesin waktu yang diciptakan pikirannya sendiri.

"Udah! Gih, baris!" Ayu, teman seasramanya, mendengkus kesal. Bisa-bisanya Ega malah melamun di acara super penting seperti ini?

Ega hanya membalas Ayu dengan cengiran. Urutan barisnya memang sebelum Ayu. Allegra Paramita Sudibyo, nama yang tiga tahun terakhir juga disesalinya. Gara-gara itu, dia harus selalu maju di urutan nomor tiga saat praktik KDPK. Mengesalkan!

Kekesalan dan seluruh kenangan yang tadi berputar-putar dalam memori Ega segera lenyap. Kini, rasa gugup menguasai dirinya. Pembawa acara sudah membuka acara pagi ini. Sekarang, mereka semua harus berjalan beriringan untuk masuk ke auditorium. 

Irama Kebo Giro yang perlahan mengalun memenuhi telinga Ega, membuat jantungnya ikut bertalu-talu. Padahal, mereka sudah melakukan gladi resik berkali-kali untuk acara pagi ini. Namun, tidak ada yang bisa menyangkal kalau atmosfer saat latihan dengan hari H ternyata begitu berbeda. 

Darah Ega terasa berdesir saat pelan-pelan dia melangkahkan kakinya. Dalam hati, gadis itu merutuk lagi karena memilih mengenakan sepatu dengan hak sepuluh senti. Latihan jalannya dengan sepatu itu tidak sebanding dengan rasa grogi yang mendera saat ini. Ega berdoa agar dia tidak keseleo dan mendapat malu seumur hidup hanya gara-gara sepatu.

Kali ini, nasib berpihak padanya. Sampai namanya disebut dan tali toganya dipindahkan, tidak ada kejadian memalukan yang ditakutkan Ega. IPK yang ditaksirnya akan mengecewakan juga tidak seburuk bayangannya. Ega berhasil meraih IPK 3.00. Baginya, angka itu sudah cukup memuaskan. Setidaknya, nilainya bukan hanya dua koma.

Acara selesai pukul dua belas siang. Ega melenggang keluar, masih dengan toga yang menempel di tubuhnya. Gadis itu mengedarkan pandangan ke halaman hotel yang penuh dengan karangan bunga, mencari seseorang. Namun, sosok yang dicarinya tidak kelihatan.

"Ga, kamu itu dicari-cari malah di sini!" Seseorang menepuk pundak Ega dari belakang. Dia berbalik dan mendapati mamanya dalam setelan kebaya. Bapaknya berdiri di samping Mama dengan kemeja batik lurik.

"Selamat ya, Ga! Akhirnya kamu wisuda. Anak Mama sekarang sudah jadi bidan! Mama bangga sama kamu," ujar Mama. Manik mata perempuan itu berbinar-binar. 

Ega hanya menanggapinya dengan senyum samar. "Makasih, Ma."

"Selamat ya, Ga." Giliran bapaknya mengucapkan selamat. Ega cuma mengangguk. Bibirnya sudah tidak lagi membusur.

Momen canggung yang menyelimuti mereka segera luntur karena kehadiran seseorang. Ega sudah bisa mencium aroma parfum yang familiar itu dari jauh. Benar saja, tak sampai dua meter jaraknya, sosok yang dicari-carinya sejak tadi muncul juga. Dia membawa boneka beruang yang juga memakai toga seperti Ega. Tangan satunya menenteng buket bunga warna-warni yang menawan hati.

"Weeitss, Bu Bidan! Cantik banget, Bu," ujarnya saat dia sampai di samping Ega. "Om, Tante." Pemuda tersebut menyalami Mama dan Bapak.

Ega menerima uluran buket dan boneka dari kekasihnya itu dengan raut wajah kesal. "Yan, harus banget ya, pakai seragam buat acara formal gini?"

Lian memamerkan deretan giginya yang rapi dengan cengiran lebar. "Sorry, Beb. Aku habis dinas langsung ke sini, jadi belum sempat ganti."

Ega memutar bola mata. Halah, emang nggak mau ganti aja kali, batinnya. Entah kenapa Ega merasa kalau kecintaan Lian pada profesi—atau seragamnya—ini terlalu berlebihan. Tidak hanya di acara sepele seperti mengapel Ega di asrama tiap malam Minggu, bahkan sampai wisuda pun Lian tetap mengenakan seragam.

"Kamu tuh harusnya bangga, lho, Yang. Lihat, dari tadi teman-teman kamu pada ngelirik-ngelirik aku. Kamu nggak cemburu?"

"Hidih! Amit-amit!"

Lian tertawa lebar. "Nggak percaya kamu. Aku kasih tahu, Yang, nggak bakal ada cewek yang nolak jadi pacarnya cowok berseragam, apalagi kalau seragamnya polisi," katanya sambil menepuk-nepuk dada.

Ega pura-pura mau muntah mendengar celetukan Lian barusan. Penyakit narsis cowok itu memang sering kambuh tanpa kenal waktu.

"Kalau kamu udah lulus gini, kan, kita bisa cepet-cepet foto prewed pakai seragam, Yang. Ya nggak, ya nggak?" sambung Lian lagi.

"Hih! Jangan harap aku mau foto norak kayak gitu!" Ega menimpuk kepala pacarnya dengan buket bunga. Lian mengaduh.

Setelah berfoto-foto ria, mereka pun pulang. Ega memilih satu mobil dengan Lian dibanding harus bersama orang tuanya. Mamanya pun mengizinkan. Dalam perjalanan, pandangan Ega menerawang jauh. Ocehan Lian tidak disahutinya sejak tadi. Benaknya sedang sibuk membayangkan hari-harinya setelah gebyar wisuda ini. Dengan gelar Ahli Madya Kebidanan yang sekarang tersemat di belakang namanya, apakah hidupnya akan berjalan sempurna?