cover landing

Rotten Berry

By Honey Dee


“Cam, ayolah! Apa maksudmu kau tidak berniat melakukannya?” Chase mendesak duduk di sampingku.

“Aku tidak berniat, Chase. Aku tidak punya keinginan untuk melakukannya,” kataku dengan nada yang lebih terdengar seperti rengekan sekalipun sebenarnya aku sangat ingin membentaknya.

Aku tidak suka dipaksa seperti ini, apalagi olehnya yang seharusnya mengerti kalau aku sudah terlalu lelah untuk melakukannya. Ini tengah malam. Seharusnya dia tahu kalau besok pagi aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk bekerja. Tempat kerjaku tidak sedekat tempat kerjanya dari apartemen ini.

Chase berdiri di depanku, melepaskan celananya dan memperlihatkan miliknya yang sudah berdiri tegak. “Kau akan menolak ini?” tanyanya dengan membelalak lucu. “Dia tidak akan tertidur sebelum memuntahkan lahar hangat. Apa kau yakin tidak ingin melakukannya?”

Biasanya aku akan melakukannya, kapan pun Chase ingin aku melakukannya. Tapi, malam ini aku benar-benar tidak bisa. Aku sangat ingin tidur. Aku sangat ingin menikmati tidur malam yang tenang. Seharian tadi aku harus membongkar barang dagangan. Ada banyak sekali buah yang baru datang dan busuk. Mr. Buzz tidak ingin pelanggannya mendapat buah yang tidak segar. Aku harus duduk di lantai selama lima jam untuk memilah berkotak-kotak buah busuk.

“Chase, tolonglah! Aku hanya ingin tidur. Kepalaku sakit sekali. Kalau tidak tidur, besok aku akan pingsan di toko. Ayolah! Jangan malam ini. Kau bisa … kau bisa menonton video porno dan melakukannya sendiri.”

“Tapi aku menginginkanmu, Cam. Aku benar-benar menginginkanmu.”

Dari semua sifat Chase, sifat yang ini yang sangat tidak kusukai. Sampai kapan dia terus memaksakan diri pada orang lain?

“Maafkan aku, tapi tidak malam ini,” kataku sambil menutup wajah dengan bantal dan berharap bisa mendapatkan tidur yang nyenyak.

Chase tidak berhenti begitu saja. Dia menarik selimutku dan menarik celana piamaku sampai lepas. Dia tidak mengatakan apa pun lagi dan tidak peduli aku tidak menyukai yang dilakukannya. Dia menciumi kemaluanku, memainkan lidahnya pada bagian-bagian yang membuatku bergairah.

Ya, aku bergairah. Siapa yang tidak bergairah kalau diperlakukan seperti ini?

“Chase, tolong … berhenti!” Kata-kata ini yang keluar dari mulutku, tapi tentu saja tubuhku berkata lain, apalagi saat dia menyelipkan tangan ke balik kausku, memainkan dada pada tempat yang sangat tepat, dengan cara yang sangat tepat.

Aku jadi benar-benar lupa dengan yang ingin kulakukan. Yang ada di kepalaku hanya kenikmatan yang selalu bisa dihadirkan Chase pada tubuhku.

“Aku tahu kamu akan menyukainya, Cam. Aku selalu tahu. Memohon padamu seharusnya bukan dengan mulut, tapi dengan ini.” Dia bergerak ke atas tubuhku, menggesekkan tubuhnya sebelum melakukannya, membuatku merasa langit dan bumi sudah tidak ada di tempatnya lagi.

Siapa yang bisa mengelak jika ini sudah terjadi?

Tidak ada.

Saat kenikmatan sudah mengetuk pintu, apa yang bisa dilakukan seorang gadis selain mempersilakannya masuk dan bercinta dengannya?

Tuhan, tubuhku benar-benar lelah. Saat orgasme pertamaku rasanya kepalaku seperti mau pecah. Aku kehilangan kemampuan untuk menggerakkan pinggulku sama sekali. Aku hanya berbaring saja setelah itu, menerima apa pun yang dilakukan Chase pada tubuhku.

Chase menyelesaikannya, menuntaskan keinginannya pada tubuhku. Gayanya memang luar biasa, membuatku merasa tidak lagi memiliki hak atas tubuhku. Dia luar biasa hebat dalam setiap permainan, memaksa dan penuh kejutan. Saat kupikir dia akan memberikan yang kuinginkan, ternyata dia malah berhenti untuk mengulang lagi dari awal, membuatku begitu mendambakannya.

Dia selalu membuat saat pelepasan euforia itu menjadi sangat menyenangkan, luar biasa.

Napasnya terengah di atas tubuhku, menciumi pipi dan leherku. Senyumnya membuatku ingin tersenyum juga sekalipun napasku sendiri tersengal dengan debaran jantung yang berdentum-dentum menyakitkan.

“Terima kasih, Cam. Aku selalu tahu kamu bisa diandalkan,” katanya dengan senyum lebar sambil menciumiku.

“Pujianmu palsu, Chase.” Aku menghindari ciumannya karena dagunya belum dicukur dan itu tidak enak. “Menyingkir dari hadapanku! Biarkan aku tidur dengan tenang sekarang!”

“Kau akan mendapatkan tidur panjangmu, Tuan Putri. Apa lagi yang kamu inginkan? Minuman dingin? Aku masih menyimpan bir di kulkas.”

“Tidak perlu. Aku hanya butuh tidur. Aku punya air putih di sini.” Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. “Eh, Chase?”

Dia yang baru bangkit dari tempat tidur berhenti untuk melihatku. “Ya?” tanyanya sambil melepaskan selimut yang membelit kakinya.

“Besok aku akan pergi. Mungkin … aku akan sampai di rumah malam, sangat malam, larut malam kurasa. Apa kau tidak keberatan?”

Dia mengerutkan alis. “Ke mana? Kau tidak pernah pergi sampai larut.”

Aku sebenarnya malu mengatakan ini, tapi aku harus mengatakannya. Dia harus tahu ke mana aku pergi. “Aku … ingin ke Chinatown. Ada parade di sana. Aku … ingin melihat barongsai,” kataku dengan suara yang agak tertahan, malu sekali. Ini pertama kalinya aku keluar ke tempat yang jauh sendirian. Aku tahu ini terlalu jauh dan mungkin saja aku akan salah jalan atau kesasar, tapi kupikir ini akan menjadi petualangan yang bagus.

Aku ingin punya kenangan untuk diri sendiri.

Kerutan pada wajahnya terlihat lebih dalam. “Ini … bukan hari tahun baru Cina. Parade apa di Chinatown?”

“Aku tahu. Aku mendengar kabar begitu dari salah seorang pelanggan di toko. Katanya akan ada pertunjukan barongsai dan pemakan api di sana. Aku … ingin melihatnya. Kalau memang aku tidak bisa pulang karena terlalu larut, aku akan menginap di sana.”

Sekarang alisnya terangkat tinggi sekali sampai dahinya berlipat-lipat. “Menginap? Cam, kau tidak pernah menginap di tempat asing sendirian. Apa kau yakin melakukan ini?”

Aku mengangkat bahu. “Aku tahu. Inilah yang membuatku … merasa perlu melakukannya. Aku ingin … melakukan sesuatu sendirian. Sebenarnya aku lebih suka kalau kau ikut. Kau mungkin bisa sangat berguna menunjukkanku jalan atau apalah lainnya, tapi … sepertinya aku ingin sendirian kali ini. Apa … menurutmu itu mungkin?”

Dia mengembuskan napas panjang, lalu menarik ujung bibirnya ke bawah, terlihat ingin menimbang sesuatu. “Pergilah!”

“Sungguh?”

“Ya, pergilah! Kau mungkin butuh sesuatu untuk mengurangi beban di dalam kepalamu itu. Tekanan Mr. Buzz memang agak mengerikan.” Dia menggaruk pipinya yang berkeringat dengan ujung kuku jempol. “Mungkin kau bisa mengurangi intensitas kemarahan dan emosimu itu kalau agak tenang.”

“Bagaimana kalau kamu menginginkannya?”

“Apa?”

“Seks?”

Dia tertawa. Dia mengangkat tangan dan melakukan gerakan sedang menyentuh kemaluannya sendiri. “Aku akan baik-baik saja, Cam. Terima kasih. Jangan lupa aktifkan ponselmu. Aku akan menghubungimu dan jangan pernah segan untuk menghubungi aku jika ada masalah di sana. Oke?”

Aku mengangguk. “Aku akan melakukannya,” jawabku dengan senyum lebar. “Aku senang kau mengizinkanku pergi. Biasanya kau pemarah sekali kalau aku keluar rumah sendirian.”

Dia tertawa dan berkacak pinggang. “Siapa pun akan panik kalau teman sekamarnya hilang,” katanya dengan gaya marah yang dibuat-buat. “Kita hanya teman, Cam. Aku tidak punya hak apa pun untuk mengganggu pekerjaanmu atau melarangmu pergi ke mana pun. Lakukan apa pun yang ingin kaulakukan, Sayang. Aku baik-baik saja. Aku pasti akan mendukungmu sebagai teman baik. Apa itu jelas untukmu?” tanya dengan alis terangkat.

“Jelas sekali, Tuan,” kataku sambil menarik selimut sampai menutupi leherku.

Semua yang dikatakannya memang benar. Dukungan yang disebutkannya juga bagus sekali, tapi aku selalu sakit hati setiap mendengarnya. Aku selalu ingin marah setiap mendengarnya.

***

Catatan Penulis

Halo, Little Bees!

Ketemu lagi sama saya di Rotten Berry. Cerita ini saya buat setelah mmebuat A Perfect Hollow. Kalian tahu cerita itu, kan? Nah, ini nih …

Sekali lagi, cerita ini mengandung banyak unsur dewasa, termasuk seks dan kekerasan. Buat kalian yang belum terbiasa dengan kekejaman saya, sebaiknya lihat label yang ada di depan bab, ya. Kalau ada tanda 18+ berarti kalian harus berhati-hati dengan ceritanya.

Kenapa Chase bilang Cam cuma teman? Apakah mereka memang hanya teman yang bobo bareng? Kenapa Cam mau bobo bareng sama temannya? Semua misteri ini akan kita kupas pelan-pelan dengan silet yang tajam.

Cam ini sudah pernah keluar di cerita lain. Buat yang baca Hitman in Love, pasti tahu cewek yang dicium Hank pada pandangan pertama. Kalau penampakan Cam kayak gini, gimana Hank nggak tertarik sama dia?

Bukan cuma Hank yang tertarik sama dia, tapi satu cowok kaya lagi.

Hmmm… kalau lihat spoiler di blurb, apa kalian sudah bisa menebak siapa cowok kaya yang jadi gadunnya Cam?

Kira-kira, kalau Drey tahu temannya punya gendakan, apakah dia akan ngereog?

See you next part, Bees.

Love,

Honey Dee