cover landing

Road Ride

By Lenita Cahya


Jika kemarin seseorang mengatakan bahwa Neva akan dikejar-kejar lima orang pria, ia pasti akan tertawa terbahak-bahak. Pasalnya, ia tidak merasa spesial sama sekali. Ia hanyalah gadis dua puluh tahun biasa yang berjuang mencari pekerjaan demi menghidupi keluarganya. Tidak seinci pun bagian dari tubuh maupun kepribadiannya yang menarik.

Tapi sekarang, setidaknya kepercayaan dirinya naik lima persen.

“Baru sekali ini ada banyak lelaki yang ngejar gue!”

Rain mendelik. “Lo gila ya?”

Terdengar langkah-langkah kaki bergema di ujung gang. Rain buru-buru merapatkan tubuh ke dinding batu bata, berusaha membuat dirinya tidak terlihat. Jantungnya berdebar sangat keras sehingga ia takut suaranya akan terdengar. Tapi, ketakutannya tidak beralasan karena langkah-langkah kaki itu ternyata melewati gang begitu saja. Beberapa detik kemudian keadaan kembali sunyi senyap.

“Mereka pasti terkesima sama penampilan gue tadi.”

“Diam, Nev.”

“Gue seksi banget kan, Rain?”

Yang ditanya tidak menjawab. Ia justru sibuk membuka tas yang disandangnya dan melemparkan sepasang celana jeans kepada Neva.

“Pakai. Cepat!”

Butuh beberapa kali percobaan hingga akhirnya Neva bisa mengenakan celana itu. Wajahnya merah padam seperti kepiting rebus, rambutnya acak-acakan, dan napasnya berbau alkohol.

“Sepatunya?”

“Ketinggalan. Nanti gue beliin yang baru. Ayo! Cepat! Enggak ada waktu lagi!”

Walau sambil cemberut, tapi Neva tetap berlari bersama Rain. Awalnya pelan dan berhati-hati, namun setelah yakin keadaan benar-benar aman, mereka menambah kecepatan.

Jarak antara gang tempat mereka bersembunyi dan tempat dimana sepeda motor Rain menanti tidak begitu jauh. Tapi demi menghindari musuh, Rain beberapa kali mengubah haluan sehingga pelarian mereka serasa memakan waktu berabad-abad.

Terdengar suara tembakan tak jauh di belakang mereka. Neva merundukkan kepalanya tepat saat sebuah peluru berdesing melewatinya, terus menembus sebuah jendela mobil yang terparkir di pinggir jalan. Seketika itu juga mobil tersebut mengeluarkan suara melengking tinggi diiringi kelap-kelip lampu berwarna kuning.

“Wah! Kalau mau tanda tangan bilang aja, Bos!”

“Bisa diam enggak?!” desis Rain sambil menyambar lengan gadis yang lebih muda darinya itu dan setengah menyeretnya ke sebuah gang sempit. Di ujung gang terdapat sebuah pintu yang tanpa berpikir dua kali segera dibuka oleh Rain.

Mereka masuk ke dalam sebuah dapur sempit yang kotor, penuh, dan bau. Pria-pria bertubuh besar berseru-seru kaget ketika Rain dan Neva menyelinap di antara mereka, tidak sengaja menginjak kaki-kaki, menyikut perut-perut buncit, dan menjatuhkan barang-barang pecah belah.

Neva merasakan seseorang berusaha meraihnya dan buru-buru merapatkan diri kepada Rain.

Sorry, Oom(Paman : Belanda)! Gue bukan cewek macam itu!”

Rain menariknya keluar dari dapur dan langsung masuk ke ruang makan utama sebuah restoran kecil. Para pelanggan tercengang-cengang melihat Rain yang setengah babak belur dan Neva yang berpakaian asal.

“Lihat aja ya, guys. Enggak boleh pegang!” seru Neva sambil melemparkan ciuman ke arah segerombol pemuda.

“Neva!”

“Eh, biasa aja dong, sayang. Enggak usah cemburu.”

Rain menggeram kesal dan menyeret gadis itu keluar dari restoran, menjauhi tatapan para pengunjung dan siulan dari para pemuda.

“Udin!”

“Hah?!”

“Udin! Itu! Di situ! Ayo, Rain!”

Sekarang, keadaan berbalik. Neva menyeret Rain ke arah sebuah motor hitam yang terparkir, menanti tuannya kembali. Tertawa riang, Neva bertepuk tangan sebelum memeluk motor itu seakan itu adalah hewan peliharaan.

“Udin pintar! Udin good boy!”

Rain membantu Neva duduk di bagian belakang motor sebelum ia sendiri turut menaiki benda besar tersebut. Mereka baru saja menyalakan mesin saat terdengar suara tembakan dilepaskan disusul jerit kesakitan Neva.

“Sialan!”

Tanpa menunggu tembakan selanjutnya, Rain melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Samar-samar, terdengar satu lagi suara tembakan sebelum akhirnya hanya suara desau angin yang memenuhi telinga Rain.

“Rain, ini selai strawberry ya?”

“Tunggu sebentar, Nev. Nanti kita ke rumah sakit.”

“Huek! Enggak enak! Udah basi nih selainya!”

“Nev! Itu darah! Jangan di makan!”

“Kok banyak lalat ya?”

“Nev! Pegangan!”

“Lalatnya kelap-kelip!”

“Nev!”

Tidak ada jawaban. Rain bisa merasakan beban tambahan di punggungnya. Menilai dari hembusan napas hangat di tengkuknya, pasti Neva mengatakan sesuatu, tapi ia tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

“Nev! NEVA!”

Tidak ada jawaban.

“NEV! Jangan pingsan, Nev! WOI! NEVA! NEVA!”

 ***