cover landing

Rival Revival

By sacchan


"Keren banget ya? Gue masih amazed  deh."

"Keren lah! Dapetnya di Joesoef Jaya loh ... orang masuk situ biasanya sikut-sikutan, ikutan tes berlapis-lapis, eh, Mbak Audra dipinang gitu aja."

"Emang otaknya encer sih, Mbak Audra tuh. Padahal cewek, tapi karirnya melesat bebas. Mantap!"

Dalam sebuah ruangan rapat berukuran empat kali enam meter persegi, lima manajer perusahaan produk consumer good sibuk membicarakan general manager mereka yang sebentar lagi akan melanjutkan karir di perusahaan lain. Mereka tak tahu bahwa bahan pembicaraan mereka berada di balik ruangan, sibuk menahan senyum mendengar sanjungan anak buahnya.

"Audra itu emang dari dulu ambisius banget ngejar karir, sampai lupa kodrat."

Senyum sang general manager pun lenyap mendengar celetukan anak buah paling bebal tadi.

"Alah, lo bete karena lo kesalip dia jadi head project audience research kan, Ron?"

"Bener tuh, Mas. Sejak jadi head project , karir Mbak Audra di kantor ini jadi melesat banget."

"Yah elah, biariiin dia nyalip gue! Lagian ngapain jadi head project kalau konsekuensinya jomlo seumur hidup? Mending kayak gue. Nggak usah terlalu ngotot, jadi manajer juga akhirnya."

"Tapi, Mbak Audra kan jabatannya di atas Mas Roni sekarang. Satunya general manager, satu lagi product development manager. Jauh kan? Padahal, kalian masuknya barengan. Di kantor barunya nanti malah lebih tinggi lagi tuh jabatannya."

"Tiap kantor kan jenjangnya beda-beda. Orang tuh bisa dapat jabatan tinggi kalau nggak karena koneksi ya karena hoki."

"Tapi Audra kan nggak punya koneksi di Joesoef Jaya."

"Kabarnya ya, dia masuk sana tuh murni karena petinggi Joesoef Jaya lihat dia ngisi seminar soal data analytics tahun lalu."

"Keren banget ya? Padahal umur Mbak Audra kan baru 30 tahun, tapi udah jadi head division di perusahaan Joesoef Jaya. Panutan banget!"

"Di sana, level kayak kita aja gajinya udah empat puluh jutaan sebulan kan? Kapaaan ya gue bisa dapet gaji segitu?" 

Dua manajer perempuan di ruang meeting itu makin asyik membayangkan diri mereka sebagai Audra. Hal itu membuat Roni, seorang manajer senior, makin tak senang.

"Eh cewek-cewek, lo pada yakin mau jadiin dia panutan? Umur 30 belum nikah dan punya anak? Nggak takut kesepian lo jadi perawan tua?" ujar Roni.

"Tau nih, lagian gajian puluhan juta sebulan dinikmati sendirian doang emang enak?"

"Hmmm ...."

"Iya juga sih. Ngeri sendiri gue kalau harga kesuksesannya itu being single way past 25."

"Emang tiap orang tuh punya kelebihan dan kelemahannya masing-masing ya?"

"Tapi, Audra sih banyakan kelebihannya dari kelemahannya."

"Mbak Audra juga kelebihan tinggi badan sih, bikin cowok-cowok jinjit buat bisa kelihatan setara sama dia."

"Kalimat lo ambigu amat, asli! Emang cowok tuh harus capek 'jinjit' nggak sih biar bisa setara sama dia?"

"Cowok aja nggak kesampaian, apalagi cewek? Pantesan dia jaga jarak banget sama kita-kita. Malas pasti  temenan sama yang selevel."

"Makanya kalau manjat jangan ketinggian. Tahu-tahu nggak ada yang nemenin."

Audra menghela napas panjang mendengar tawa yang muncul kompak. Lagi-lagi ia harus masuk ke ruangan penuh orang-orang yang membicarakannya di belakang. Ia berharap para bawahan itu bisa lebih kompeten dalam bergunjing, setidaknya tidak perlu membuatnya canggung dan pura-pura tak dengar percakapan mereka.

Last day, Dra ... last day.

Perempuan itu mengatur suasana hati, lalu segera masuk ke ruangan rapat yang telah terisi seluruh bawahannya. Sebagai seorang general manager, Audra pun segera menuju kursi paling depan tanpa mengindahkan raut kikuk dan takut sekitar, khususnya Roni.

"Selamat siang semua. Seperti yang kita sudah tahu, hari ini adalah last day-ku, jadi aku mau make sure everyone knows what they're doing at least until my replacement arrived next week." Audra membuka rapat tanpa banyak basa-basi.

"Mbak, gimana persiapannya ke kantor baru?" tanya salah seorang bawahan Audra yang merupakan manajer pemasaran. Si penanya adalah seorang perempuan berusia 27 tahun yang sudah menikah dan memiliki dua anak yang amat lucu.

Audra memaksakan diri untuk tersenyum. Anak buahnya yang satu itu selalu terang-terangan memperlihatkan sikap kagum pada Audra – nyaris seperti penjilat. Kadang, Audra merasa geli sendiri. Selain karena ia menganggap sikap itu berlebihan, bagi kebanyakan orang, manajer pemasaran itu justru dianggap telah lebih sukses dari dirinya. 

"Ngomonginnya nanti aja, setelah meeting," ucap Audra yang ingin rapat itu segera selesai.

Pertemuan dengan para anak buah ini akan menjadi tugas terakhir di perusahaan tempatnya bekerja selama delapan tahun. Besok, ia akan memulai petualangan baru di tempat baru dengan banyak kemungkinan baru. Tidak ada lagi pura-pura tuli terhadap gosip dari anak buah sendiri. Audra amat tak sabar menyambut momen tersbeut.

"Udah sign kontrak, Dra?" Seorang anak buah yang merupakan manajer finance ikut bertanya.

"Ih, seru banget!" Manajer brand pun jadi gatal bersuara.

"Udahlah, biasa aja. Orang kalau keasyikan kerja ya begitu. Sibuk bangun perusahaan orang lain, tahu-tahu lupa bangun hidup sendiri," sindir Roni.

Audra mengerutkan dahi, tapi berusaha keras untuk tidak memutar bola matanya. "Okay. Ron, langsung present aja bagian kamu."

Roni menyalakan laptop, tapi ternyata laptop itu langsung melakukan pembaharuan otomatis. Kali ini Audra tak tahan lagi. Ia memejamkan mata dan menekan-tekan pangkal alisnya.

"Lain kali, kalau ada meeting, bisa kan, ngobrolnya sambil siapkan materi? Jadi, nggak perlu molor kayak gini." Mata keempat anak buah Audra terbelalak kompak. Roni dan yang lainnya saling bertukar pandang, menebak-tebak apa maksud ucapan Audra barusan.

"Mbak Audra ... dengar diskusi kita tadi ya?" tanya manajer pemasaran.

"It's not like you're trying to keep it down." Audra tersenyum dan menatap anak buahnya satu per saru, berpikir mungkin ini bisa jadi teguran halus agar mereka dapat mengurangi sedikit kadar bergosip di kantor, "Sebenarnya aku tadi mencoba tunggu sampai kalian selesai, tapi makin lama malah makin nggak ada ujungnya. Jadi, sorry ya kalau aku ganggu sesi diskusi kalian."

"Dra, aku—"

"And by the way, Ron, bukan aku yang nyalip kamu, tapi kamu sendiri yang lamban. Itu juga yang bikin perusahaan cari replacement dari luar alih-alih angkat kamu untuk gantikan aku." Bagai telur yang pecah, semua yang Audra tahan dalam hati meluber keluar. Tanpa menunggu jawaban Roni, Audra menunjuk anak buah lain dan berkata, "Sambil tunggu Roni, Sandra mulai aja deh bagiannya."

"Okay." Manajer brand langsung menyiapkan laptop dan menghubungkan laptop tersebut ke proyektor lewat sebuah kabel. Ruangan seketika hening. Tak ada yang lebih canggung dari rapat hang terisi oleh anak buah penggosip dan atasan yang tahu dirinya digosipkan.

Audra memutuskan untuk memberikan pesan terakhirnya sebagai bos keempat manajernya. "I hope you guys won't ever do this to the next GM. Ngomongin dan menyindir atasan itu sangat nggak profesional dan akan membuat kalian kehilangan respect dari atasan kalian. Got it?" tanya Audra pada seisi ruangan.

Para bawahannya mengangguk dan mengiyakan sementara Roni hanya menunduk. Wajah manajer senior satu itu sudah amat merah, tapi Audra tidak peduli.

Anggap saja ucapannya tadi adalah pelajaran terakhir untuk para anak buah yang sulit diatur.