cover landing

Rewrite Memories

By rachmahwahyu


Bau antiseptik yang semerbak serasa menusuk hidung. Yuna memberengut lalu membuka netranya perlahan.  Sejenak mengawasi seberkas cahaya disertai bayang-bayang orang yang berada di sekitar ranjang tempat ia dibaringkan.

"Dia sadar! Dia sudah sadar!" terdengar teriakan histeris beberapa orang.

"Yuna! Yuna!" Suara lembut itu terdengar asing bagi Yuna.

Yuna mengerjap-ngerjap untuk menangkap cahaya lebih banyak, agar matanya dapat melihat lebih jelas. Bayangan yang semula kabur, mulai terlihat jelas dan membentuk sosok seorang pria dengan wajah indo. Garis wajahnya terlihat tegas dan dewasa. Yuna yakin pria itu usianya terpaut cukup jauh dari dirinya. Mungkin empat puluh? Namun, wajahnya masih terlihat tampan, walaupun garis-garis samar menghiasi dahi dan matanya. Siapa pria ini? Ketika Yuna sedang berpikir, orang itu menggenggam tangannya.

"Yuna, kamu nggak apa-apa, Yuna? Terima kasih, Tuhan! Terima kasih kamu akhirnya sadar." Pria itu mencium punggung tangan Yuna penuh syukur.

Yuna mengerutkan dahinya bingung. Dia tak paham mengapa orang ini mengecup tangannya, tetapi Yuna juga tak punya tenaga untuk merebut tangannya dari genggaman pria itu.

Dia lalu memandang sekeliling dengan bingung. Banyak orang- orang berbaju putih berkerumun di dekat ranjangnya. Tak ada satu pun yang dikenal, kecuali satu orang. Mata Yuna seketika terpana pada sosok tersebut. Itu Zaki, kekasihnya, calon suaminya. Dengan suaranya yang parau dia menyebut nama pria itu perlahan. Tangannya terjulur untuk menggapai laki-laki yang dicintainya itu.

"Za ... ki ... Zaki...," panggil Yuna.

Pria tinggi beralis tebal yang berdiri di pojok ruangan itu tampak tertegun akan panggilan tersebut. Semua mata dalam ruangan ICU itu tertuju padanya. Lelaki itu tersenyum gugup.

"Mendekatlah, Zaki," kata si pria indo. Laki-laki bernama Zaki itu menurut, dia mendekati ranjang Yuna dengan gelisah.

"Anda baik-baik saja?" tanya Zaki. Yuna tak menjawab, meskipun dalam hati dia bingung mengapa Zaki berbicara padanya dalam bahasa formal. Tangan kirinya yang bebas meraih tangan Zaki mulai menggenggamnya erat-erat, lalu wanita itu tertidur.

***

Vian duduk tertegun di depan ruangan Dokter Idris yang menangani istrinya. Malam telah larut, sehingga lorong rumah sakit begitu sepi. Hanya ada beberapa perawat yang tampak lalu-lalang untuk memeriksa kondisi pasien. Suara sepatu mereka bahkan terdengar begitu nyaring ketika melewati lorong. Vian mendesah. Pria itu berharap apa yang baru saja didengarnya dari dokter itu salah, atau pendengarannya yang kurang baik. Tidak mungkin. Tidak mungkin hal ini terjadi padanya! Vian mengingat kembali percakapan dengan Dokter Idris tadi.

"Amnesia?" tanya Vian.

"Ya, amnesia disosiatif, istri Anda tak dapat mengingat kejadian selama dua tahun terakhir. Setelah saya melakukan anamnesis, saya menyimpulkan bahwa ingatan terakhirnya adalah tanggal sembilan Desember 2016," jelas Dokter Idris.

Vian menutup mulutnya, tak percaya dengan penjelasan dokter yang masih kerabat dekatnya itu. "Apakah bisa disembuhkan, Dok?" tanya Vian.

"Bisa ya, bisa tidak, tergantung pada diri pasien. Jika dia mengalami trauma, ingatan tersebut akan sulit kembali."

Tubuh Vian serasa lemas. Dia menghela napas lelah. Pantas saja Yuna sama sekali tak mengenali dirinya. Vian menatap Zaki yang baru saja ke luar dari kamar tempat Yuna dirawat. Istrinya tak mau melepaskan tangan lelaki beralis tebal itu sedari tadi sehingga dia terpaksa bertahan di samping Yuna. Pria itu mengangguk saat melihat Vian. Vian menepuk kursi di sebelahnya, memberi isyarat agar Zaki duduk di sana. Laki-laki itu paham lalu duduk di sana.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Vian.

"Dia baik-baik saja, sekarang sedang tidur," kata Zaki.

Vian menatap lurus suami keponakannya itu dengan tajam. Zaki mengerjap, dia tak kuasa menatap mata Vian yang menghakiminya. "Zaki, apa sebenarnya hubunganmu dengan istriku?" tanya Vian. Dia tak mengerti mengapa reaksi istrinya justru terlihat tenang ketika melihat Zaki tadi. Dia bahkan tak pernah tahu kalau keduanya saling kenal. Vian masih ingat bagaimana ketika pertama kali dia mempertemukan mereka dalam acara keluarga. Zaki dan Yuna saling sapa seperti orang asing. Bahkan mereka hanya berinteraksi seperlunya saja. Tidak pernah sekadar beramah-tamah atau berbasa-sasi. Lalu, mengapa mendadak sekarang mereka terlihat seperti teman lama, justru setelah Yuna kehilangan ingatannya. Bukankah ini aneh? Pasti ada hal yang disembunyikan darinya.

Zaki menelan ludah kemudian menggumam. "Maaf, bukannya kami bermaksud membohongimu," jelasnya, "dulu kami memang pernah menjalin hubungan, tapi itu dua tahun yang lalu. Sekarang sudah nggak ada perasaan apa pun di antara kami."

Vian tak menyahut, dia hanya diam sambil menengadah. Dia sudah menduga hal ini dari reaksi Yuna ketika sadar tadi. Mendengar hal tersebut, seharusnya tidak membuat Vian terkejut. Dia sebenarnya tak sakit hati jika seandainya Zaki dan Yuna memang pernah memiliki hubungan. Toh, hal itu sudah lama berlalu. Zaki mungkin menutupi hal ini mungkin untuk menjaga perasaan Ulfa yang mudah cemburu. Namun, mengapa Yuna harus menyembunyikan hal ini darinya?

Kalimat yang diucapkan almarhum Ulfa, keponakannya, dua minggu lalu membayang dalam ingatan Vian.

"Paman, tidak tahu apa-apa tentang dia!"

"Lalu kamu tahu apa tentang dia?" tantang Vian kala itu. "Aku tahu lebih banyak dari, Paman."

Ya. Kini rasanya ucapan Ulfa itu benar. Vian menyadari kekeliruannya. Ada banyak hal yang tidak diketahuinya dari istrinya itu. Lalu apa maksud Ulfa mengatakan bahwa dia mengenal Yuna lebih baik daripada dirinya? Apakah artinya Ulfa sudah mengetahui hubungan Yuna dan Zaki? Apakah gadis itu merasa cemburu? Vian tak dapat menanyakan hal itu lagi pada Ulfa sekarang, dan dia sungguh menyesal karena tak pernah peduli. Jenazah Ulfa telah dikebumikan dua hari yang lalu.

"Anda nggak menengoknya, Paman?" tegur Zaki yang membuyarkan lamunan Vian.

Vian menggeleng perlahan. "Dia tak mengenaliku," keluh Vian, "mungkin ada baiknya membiarkannya sendiri dulu."

Vian menyadarkan punggungnya ke dinding lalu menutup mata. Beristirahat sejenak dari kenyataan yang begitu kejam ini. Dia berharap esok ketika bangun semua yang dialaminya hanyalah mimpi. Hanya dalam dua hari, dua hal paling berharga dalam hidupnya telah direnggut begitu saja. Ingatan Yuna tentang dirinya, juga keponakannya yang telah meregang nyawa.

***

Cahaya mentari menerobos masuk dari jendela saat tirai kamar dibuka. Sinar terang itu menerpa wajah Yuna dan membuatnya merasa terganggu. Dia membuka mata perlahan sembari mengamati sekeliling. Suasananya masih sama. Dia terbaring di atas ranjang rumah sakit dalam sebuah ruangan serba putih ditemani wangi antiseptik. Yuna melihat seorang wanita gemuk berjilbab berdiri di depan jendela sembari mengisi vas dengan bunga.

"Ibu," panggil Yuna.

Wanita berkemeja kotak-kotak itu menoleh. Dia tersenyum lalu mendesis dan mencubit pipi Yuna. "Dasar anak nakal! Lihat dirimu, kenapa kamu selalu membuat Ibu jantungan!" seru Halimah dengan suaranya yang serak, matanya mulai berkaca-kaca.

"Maaf," kata Yuna lirih.

Halimah mendekati putri semata wayangnya, mengecup kening dan mendekap gadis kecilnya itu erat. "Nggak apa-apa, Sayang. Ibu sudah senang asalkan kamu hidup."

Halimah membelai rambut Yuna lalu menawarkan makanan. "Apa kamu mau makan? Ibu bawa sup jamur tiram kesukaanmu."

Yuna mengangguk lemah. Halimah mengeluarkan perbekalan dari dalam ransel. Ia mulai menyuapi putrinya setelah memutar tempat tidur sehingga Yuna dalam posisi setengah duduk.

"Ibu, apa yang terjadi? Kenapa aku ada di sini?" tanya Yuna.

"Kamu benar-benar nggak ingat?" tanya Halimah sangsi.

Yuna menggeleng perlahan. Halimah mendesah. Dia tak menduga putrinya itu kini mengalami penyakit yang sering dilihatnya di sinetron-sinetron. Amnesia!

"Kamu juga nggak ingat pada Vian?" tanya Halimah.

Kerutan samar terbetuk di dahi Yuna karena mendengar nama yang asing bagi telinganya. "Siapa itu?"

Halimah menghela napas lalu membelai rambut Yuna. "Dia suamimu, kalian baru menikah sebulan yang lalu," jelas Halimah.

Yuna terperanjat, netra indahnya membelalak menatap ibunya tak percaya. "Aku menikah dengan siapa?" ulangnya.

"Namanya Vian. Kalian baru bertemu dan menjalin hubungan selama setengah tahun, lalu kalian memutuskan untuk menikah. Dia pria yang sangat baik dan menyayangimu."

Yuna tertegun. Hal terakhir yang diingatnya adalah saat dia tertabrak sepeda motor, sepulang dari memesan surat undangan untuk pernikahannya dengan Zaki. Bagaimana bisa pernikahannya dengan Zaki batal dan dia malah menikah dengan orang lain?

"Ba-bagaimana bisa? Bukankah aku mau menikah dengan Zaki? Kenapa aku malah menikah dengan orang lain?" tanya Yuna gamang, suaranya bergetar.

Bu Halimah menatap putrinya dengan miris. "Kalian sudah putus, Nak. Pernikahan kalian dibatalkan dua tahun yang lalu." Wanita tu menerawang mencoba mengenang masa lalu.

"Dua ... dua tahun?" tanya Yuna terkesiap. "Sekarang tanggal berapa?" tanyanya gamang.

"Dua Desember 2018," jawab sang ibu.

Kepala Yuna serasa dihantam bantu yang keras. Tahun 2018! Ada apa ini sebenarnya? Kenapa tiba-tiba dia terlempar jauh ke masa depan? Sementara yang dia ingat adalah tanggal Sembilan Desember 2016. Apa saja yang dilakukannya selama itu? Mengapa dia tidak bisa mengingat apa-apa?

"Kamu benar-benar kacau saat itu. Kamu bahkan nggak mau berhubungan dengannya lagi. Kamu baru mulai ceria, setelah pindah kerja ke Surabaya dan bertemu dengan Vian," terang Halimah.

Batin Yuna serasa remuk! Dia tak percaya dengan apa yang didengarnya dari sang ibu. Dia putus dari Zaki? Bagaimana bisa? Dia sangat mencintai pria itu! Mereka telah menjalin hubungan selama lima tahun lebih semenjak awal kuliah. Bagaimana mungkin mereka putus begitu saja?

"Nggak! Ibu bohong! Bagaimana mungkin aku putus dari Zaki? Aku mencintainya, Bu! Aku sangat mencintainya!" Yuna menyegak dan menggeleng kuat.

"Ibu pun nggak tahu, Sayang. Kalian tiba-tiba saja membatalkan pernikahan. Kamu nggak pernah mau mengaku jika ibu bertanya apa alasannya," terang Halimah.

"Lalu, kenapa dia hadir di sini? Saat aku sadar kemarin? Bukankah Ibu bilang aku bahkan nggak mau berhubungan dengannya lagi?" Yuna mulai mengotot.

Halimah menunduk. "Entah dunia yang terlalu sempit, atau takdir yang kejam," ujar Halimah. "Zaki telah menikah dengan Ulfa, keponakan dari suamimu."

Yuna terpegun, perlahan air matanya menetes. Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Sementara itu di depan ruangan, Vian terpaku melihat Yuna yang berlinang air mata. Dia mengurungkan niatnya masuk ke dalam paviliun dan menutup pintu kembali. Pria berkemeja putih itu menyandarkan punggung pada pintu lalu menengadah. Hatinya serasa diiris sembilu. Bukan hanya tak mengingat kenangan bersamanya, tapi Yuna ternyata mencintai orang lain.

***