cover landing

Rewrite

By Akhtarara


Nana meremas jemari tangan semakin kencang selagi kakinya mengentak lantai. Entah mengapa semua hal terasa salah hari ini. White dress yang dia kenakan tiba-tiba terasa tidak pas di badan. Bahkan heels bertumit rendah yang sering dia kenakan menjadi sangat tidak nyaman. Meskipun demikian, Nana berusaha mengenyahkan pikiran buruk. Dia bersyukur karena setelah usahanya yang panjang, lelaki yang ada di hadapannya sekarang akhirnya setuju untuk bertemu.

Perlahan pandangan matanya menyapu seisi ruangan. Kafe tempat mereka bertemu begitu ramai oleh pengunjung. Ditambah dengan suara musik yang berdentum keras lewat pengeras suara, ruangan itu menjadi sangat berisik. Namun sayangnya, keriuhan itu tidak berhasil memecahkan kesunyian di tempatnya. Keduanya hanya terdiam. Padahal nyaris dua puluh menit mereka duduk berhadapan.

“Kita ... bercerai saja.”

Kata sakti itu pun terdengar dari bibir lelaki itu—Rega Adhyaksa. Lelaki yang sudah menjadi suami Nana selama lima tahun ini. Saat kata itu terucap, Rega begitu tenang. Dia sama sekali tidak terusik dengan keriuhan yang terjadi di salah satu meja kafe. Beberapa orang remaja sedang bersenda gurau dan menyoraki salah satu diantaraya. Sehingga terjadi kor suara di sana sini.

“Aku serius. Seharusnya kita sudah melakukan itu sejak tahun lalu.” Rega meneruskan perkataannya dengan ringan. Tubuhnya yang tegap disandarkan ke kursi setelah berhasil memasukkan ponsel ke saku celana.

Nana masih terdiam. Meskipun sulit, dia berusaha tetap tenang. Namun di dalam hatinya, sebuah bogem berukuran raksasa menghantam-hantam dinding pertahanan miliknya. Bolak-balik layaknya sebuah pendulum yang memporakporandakan apa saja yang terlewati, hingga menimbulkan rasa yang begitu menyakitkan. Efek sakit itu terhantar ke semua sel dan membuat matanya memanas. Dia segera menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Karena sangat yakin, sedikit saja bibir itu terbuka, maka pertahanan dirinya akan hancur seketika.

Ah, ternyata seperti ini rasanya. Baru lima tahun usia pernikahan mereka dan harus kandas dengan sangat menyedihkan. Nana bahkan tidak tahu lagi, kekacauan ini bermula sejak kapan. Mungkin, sejak mereka saling menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing. Rega yang tenggelam dengan bisnisnya, dan Nana yang begitu larut dengan rutinitasnya menjadi ibu rumah tangga. Kelelahan selalu menjadi alasan untuk keduanya semakin hari semakin menjauh. Nana sampai tidak mengingat lagi kapan terakhir kali Rega menyentuhnya dan tidur di ranjang yang sama.

Puncaknya, setahun ini mereka pisah rumah. Selama setahun itu pula Nana melakukan segala cara untuk memperbaiki pernikahan agar bisa kembali seperti semula. Sayangnya, Rega menutup mata. Satu jengkal Nana mendekat ke arahnya, lelaki itu mundur sepuluh langkah jauhnya. Nana tidak siap untuk bercerai. Bukan hanya karena dia begitu ketakutan berpisah dengan Rega, melainkan juga karena keinginan kuatnya untuk memberikan keluarga yang utuh untuk Kimi; putri mereka satu-satunya.

“Apa kamu benar-benar tidak bisa melihat usahaku selama setahun ini?” Sebulir air mata akhirnya terjatuh. Nana menatap tajam tepat ke dalam manik mata suaminya. Mencari apa pun yang tersisa untuknya di sana. Lelaki itu pernah membuat jatuh cinta dan mewarnai hidup Nana. Namun sekarang, semua warna itu telah berubah menjadi hitam pekat. Nana tidak tahu lagi, kedepan warna itu akan berubah menjadi apa. “Aku ... aku masih ingin kita memperbaiki semuanya, Rega,lirih Nana dengan bibir gemetar.

“Na, please. Pernikahan kita sudah nggak mungkin untuk dilanjutkan. Buat apa kita pertahanin lagi, Na?”

Nana menatap penuh harap pada suaminya. Meskipun dia harus menelan kecewa karena lelaki itu sudah berubah begitu banyak. Air mata akhirnya tumpah dan membasahi permukaan pipinya yang merah. “Demi Kimi, Sayang. Buah hati kita.” Kali ini, suara Nana tercekat sesuatu. Sebuah duri yang entah dari mana asalnya tiba-tiba seakan tersangut di tenggorokan.

“Kimi akan tetap mendapatkan kasih sayang meskipun kita bercerai.” Rega membalas tatapan Nana dengan serius. Tidak ada keraguan sama sekali di wajahnya ketika mengatakan itu. “Aku pastikan itu. Kita bisa tetap memberikan kasih sayang untuk Kimi meskipun tidak hidup dalam satu rumah.”

Bulshit!” sentak Nana dengan keras. Beberapa orang yang duduk tak jauh dari kursi mereka menoleh serentak. “Kamu tidak akan tahu bagaimana rasanya memiliki keluarga yang tak sempurna! Dan aku nggak mau Kimi merasakan itu.”

Rega mendengkus seraya memalingkan wajah. Dia memandang seisi ruangan barang sejenak yang berhasil membuat orang-orang yang tadi penasaran kembali ke kegiatannya. Lalu menatap wajah istrinya lagi. Air mata bercampur dengan maskara yang luntur membuat sebagian pipi istrinya berwarna hitam. Sayangnya, tak ada perasaan apa pun dalam hati Rega, bahkan ketika melihat Nana menangis pilu dengan wajah menyedihkan seperti sekarang. “Apa kamu pikir kondisi kita saat ini lebih baik daripada berpisah?”

Nana hanya bisa terdiam. Jujur dia mengakui kalau kondisi pernikahan mereka selama ini tidak begitu bagus. Namun, Nana masih berharap semuanya bisa kembali seperti semula. Selalu ada jalan kalau mereka berusaha, bukan? “Tidak bisakah kamu mempertimbangkan kembali?” tanya Nana dengan suara semakin parau.

Rega menggeleng dengan yakin. “Aku minta maaf ....”

“Apa karena Shella?”

Rega mengangguk tanpa merasa bersalah sama sekali. Tidak ada alasan untuk berbohong. Toh, setahun ini saat mereka memutuskan pisah ranjang dan Rega pindah ke apartemen, Nana pernah melihatnya sedang bersama Shella beberapa kali. “Aku sudah berjanji akan menikahi Shella tahun depan. Aku harap masalah kita bisa selesai sebelum itu terjadi.”

Plak! Tangan Nana menyambar keras pipi suaminya. Saking kerasnya, jemarinya sampai bergetar hebat. Dada Nana bergemuruh dengan kencang. Sungguh memalukan sekali. Dia sudah merendahkan harga diri selama setahun ini hanya agar Rega mau memikirkan kembali semuanya. Dia bahkan menutup mata pada wanita bernama Shella. Nana pikir, Rega tidak serius dengan wanita itu. Tapi ternyata dirinya salah besar. Seberapa keras pun Nana mencoba, tidak akan berhasil jika Rega sudah menutup pintu hati dan memberikan kuncinya pada wanita lain.

Dengan tas tangan yang dibawanya, Nana memukul-mukul Rega sekaligus berteriak menyumpahi. Dia melemparkan apa pun yang ada di sekitarnya ke arah Rega. Kepalanya terlalu bising sekarang. Nana tidak bisa memikirkan apa pun selain berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Dia tak peduli meskipun semua orang sedang menertawakan kegilaannya.

***

Menenggelamkan diri ke dalam bathtub yang terisi air memang tidak membuat semua masalah hilang. Namun, Nana membutuhkan apa pun untuk setidaknya menenangkan kekacauan di kepalanya. Dress tanpa lengan yang dia pakai tadi, masih melekat di badan. Dia menghitung waktu di dalam keheningan. Semua suara mendadak teredam dan ikut tenggelam. Semuanya menjadi gelap sampai akhirnya berbagai kenangan datang berhamburan. Menyusup di celah-celah kecil sel memori otaknya. Sialnya, kenangan yang datang adalah momen-momen kebahagiaan bersama Rega.

Bertahan, Na. Bertahanlah ....

Hitungan ke dua puluh, kepalanya keluar dari dalam air dengan mulut terbatuk-batuk. Terlalu lama menahan napas membuat sedikit air tertelan. Lalu dia meringkuk di dalam bathtub sembari memeluk kedua lutut. Menangis kembali. Sejak Rega meninggalkan dirinya di kafe tadi siang, entah sudah berapa banyak air mata yang dia tumpahkan. Bagaimana bisa hidupnya sekacau ini? Hal yang paling Nana takuti dalam hidup malah menjadi kenyataan.

Tok ... tok ... tok ....

“Mama ... Mama ....” Suara Kimi terdengar jelas dari balik pintu kamar mandi. Tangan mungilnya sedang menggerak-gerakkan kenop pintu dari arah luar, mencoba untuk membuka pintu yang dikunci.

Nana masih merangkul lutut di dalam bathtub dengan mata terpejam. Keran air sengaja dia putar hingga aliran airnya semakin deras. Suara air yang jatuh menggema di rungan kecil itu tapi tetap tidak bisa menutupi suara Kimi yang terus memanggil namanya. Sebentar saja. Dia butuh waktu untuk mencerna semuanya sendirian. Terlalu banyak rasa yang menggelayuti pikirannya saat ini.

“Mama ... Mama!” teriakan dari gadis kecil itu terdengar semakin keras. Jemarinya mulai menggedor-gedor daun pintu dengan tak sabar. Tidak berapa lama kemudian, karena tidak juga ada tanggapan dari ibunya, Kimi mulai menangis kencang.

Nana masih tidak menggubris. Untuk pertama kali dalam hidupnya, setelah Kimi lahir ke dunia, dia menginginkan sendiri dan tidak diganggu oleh siapa pun. S-I-A-P-A-P-U-N. Termasuk Kimi. Makhluk lucu nan menggemaskan yang sudah menjadi pusat dunianya selama empat tahun ini. Saat Kimi menangis keras di luar pintu, Nana kembali merebahkan tubuhnya ke dalam bathtub. Menenggelamkan diri seperti tadi. Seketika dunia yang tadinya bising seperti tersedot dalam lubang keheningan.

Sebentar saja. Hanya sebentar.