cover landing

Revive

By Piko


Jika mati itu adalah sebuah awal kehidupan yang sebenarnya. Berarti dunia ini hanya tempat sementara, sedangkan akhirat adalah tujuan akhirnya.

Konon katanya, sebelum naik ke akhirat semua sukma yang baru saja lepas dari jasadnya akan pergi ke alam roh. Alam di mana mereka akan mengantre untuk menuju fase selanjutnya. Tempat itu sangatlah luas dan diselimuti kabut tipis. Di sana tidak ada siang atau pun malam, tidak ada cahaya matahari atau pun sinar bulan. Keadaannya selalu remang, hanya terbias cahaya dari pintu akhirat di sisi barat.

Pintu itu adalah tujuan dari arwah-arwah berbaju putih panjang yang baru saja datang. Mereka tampak berjalan berbondong-bondong menuju ke arah yang sama. Tidak ada satu pun yang saling bertegur sapa dan mengenal. Senyap. Hanya sesekali terdengar desiran angin yang berembus pelan. Semua pandangan mata mereka tampak kosong. Tubuhnya seperti terhipnotis untuk mendekati cahaya di pintu yang bingkainya berlapis emas. Persis seperti laron yang mengerubungi lampu taman.

Di pintu yang amat tinggi, besar dan terbuka lebar, sepuluh barisan arwah berjajar ke belakang untuk mengantre masuk. Di antara antrean itu, terlihat sesosok arwah perempuan yang berpenampilan ganjil.

Dia satu-satunya yang berbaju hitam, tatapannya berbeda dari arwah lainnya yang kosong, rautnya tampak kebingungan. Dia celingukan mencari yang bisa ditanyai. Sebab, ada sesuatu yang menghalanginya untuk masuk ke dalam pintu akhirat. Saat kakinya terkena pias cahaya dari pintu, tidak tahu kenapa tubuhnya selalu terpental. Berkali-kali dia mencoba, berkali-kali pula badannya makin terpelanting jauh dari pintu.

“Ah! Kenapa?!” Teriakkannya terdengar sangat lantang. Namun, arwah lain seakan tidak mendengar, mereka abai dan tetap berjalan menuju ke pintu akhirat.

Akhirnya dia menyerah, semangatnya patah digerogoti rasa iri melihat arwah lain yang dengan gampangnya masuk ke dalam pintu akhirat. Kini ia hanya bisa duduk memeluk lutut di antara lalu-lalang arwah lain yang tidak memedulikannya. Kepalanya pun dibenamkannya dalam-dalam di antara dada dan lututnya.

Dia semakin meringkuk ketika angin dingin tiba-tiba berembus pelan di sekitarnya. Angin itu mengantar kedatangan sesosok makhluk tinggi berjubah putih dan tudung lebar yang menutupi sebagian wajahnya.

“Cuma gitu aja masa kamu langsung nyerah?” Sosok itu berdiri mematung, suaranya terdengar berat seperti seorang pria.

Arwah perempuan tersebut perlahan mengangkat kepala. Badannya terjengkang, terkejut melihat wujud aneh yang tiba-tiba ada di depan mata.

“Se—setan?!” gumamnya dengan mulut gemetaran.

“Sembarangan! Aku ini spirit guide yang akan bantu kamu!”

Arwah yang kebingungan tersebut masih bergeming. Bola matanya sibuk menelusuri sosok di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki yang semuanya tertutupi jubah.

“Cepetan bangun! Nggak sopan ngelihatin aku kayak gitu!”

Gertakan itu membuat arwah tersebut cepat-cepat menegakkan badan. Sementara, sang spirit guide sibuk membolak-balik lembaran buku kecil bersampul biru yang sedari tadi dipegangnya.

“Luna, umur 25 tahun, meninggal semenit yang lalu, tanggal 17 bulan 7. Oke … sekarang ikuti aku.” Dia berbalik badan, jubah panjangnya terkibas angin yang kembali datang.

“Tu—tunggu, maksudnya apa?” Suaranya terdengar terbata, bibirnya dirasanya kelu antara ketakutan dan kebingungan.

“Ikuti aja aku, nanti kujelasin sambil jalan,” ucap sosok berjubah tanpa berpaling dan mulai melangkah pergi.

Sambil mengatup bibirnya yang sepertinya tidak bisa berhenti bertanya, arwah itu pun segera mengekor seperti anak kucing. Keduanya berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengan arwah lainnya, sisi timur.

“Luna? Luna siapa? Terus kamu ini juga siapa, sih?” Dia bergegas menyamakan langkah, badannya sedikit merunduk, berusaha melihat wajah spirit guide-nya yang tertutup tudung lebar.

“Luna itu namamu sewaktu hidup,” sahut sosok berjubah tersebut tanpa menoleh. “Kamu bisa panggil aku Asaka. Aku cuma bertugas untuk menunjukkan jalan pada arwah sepertimu.” Asaka pun segera mempercepat langkahnya. Dia tidak mau sampai ada yang mengetahui wajah aslinya.

“Apa aku beneran udah mati?”

Pertanyaan itu membuat Asaka menghentikan langkah, embusan napasnya terdengar berat. Seharian ini, dia sudah mendengar pertanyaan yang sama puluhan kali dari arwah yang berbeda. Mereka tidak sadar jika mereka sekarang adalah arwah yang telah lepas dari raganya. Pada akhirnya mereka hanya akan menelan kegetiran saat mendengar kenyataan bahwa mereka sudah tiada.

“Sekarang lihat tanganmu, apa menurut kamu itu masih terlihat solid?”

Luna cepat-cepat mengangkat tangannya, matanya terbelalak saat melihat lengannya yang tembus pandang. “Enggak ….” Dia pun menggeleng pelan.

“Apa kamu merasa sakit waktu tadi jatuh berkali-kali? Memangnya kamu ingat siapa kamu dan gimana caranya bisa sampai sini?”

Arwah Luna terdiam sebentar, sembari mengelus bokongnya yang tadi terantuk saat jatuh. “Enggak juga.” Dia kembali menggeleng.

“Jadi artinya?”

“A—aku ….” Dia terdiam sesaat.

“Ya?”

“Aku hantu.”

Asaka tersentak, mulutnya melongo heran. Baru kali ini dia mendengar jawaban sekonyol itu. “Astaga… bukan! Artinya kamu sudah mati!”

Mendengar jawaban itu, arwah Luna tampak menghela napas lega. Dia merasa gembira setelah tahu bahwa dirinya hanya arwah yang penasaran dan kebingungan, bukan menjadi Mbak Kunti yang harus nongkrong di batang pohon sambil cekikikan. Padahal, dia tidak sadar jika perbedaan keduanya sangatlah tipis.

Jalan lebar yang semula mereka lewati semakin menyempit. Tempat yang awalnya penuh dengan arwah berbaju putih, sekarang mulai lengang. Sampailah mereka di sebuah lorong panjang yang sempit. Dinding kanan dan kirinya berupa membran tipis tembus pandang yang menjulang ke atas. Di ujung lorong tampak sebuah pintu setinggi badan manusia dewasa, berwarna perak, dan dalam keadaan tertutup. Langkah mereka berdua pun berhenti tepat di depan pintu itu.

“Pintu akhirat tadi bukan untuk arwah sepertimu. Cuma pintu ini yang pantas buatmu.” Jemari Asaka yang pucat menunjuk pintu di hadapannya.

“Memang apa bedanya aku sama yang lain? Kan sama-sama arwah juga.”

“Kesalahan besarmu sebelum mati membuat kamu nggak diterima di akhirat. Tapi karena permintaan seseorang yang tulus, kamu bakal diberi satu kesempatan lagi untuk hidup dan  memperbaikinya.”

“Emang salahku apa? Sampai nyentuh pintu akhirat aja nggak diizinin.”

“Aku nggak bisa kasih tahu. Kamu yang mesti mencarinya sendiri.”

“Kalau gitu mending aku di sini aja, nggak perlu susah-susah memperbaiki kesalahanku. Toh, aku juga udah mati.” Dia segera merebahkan badan, kembali duduk memeluk lutut, persis seperti anak SD yang tidak mau disuruh pergi ke sekolah.

Asaka menarik bibir kanannya, kemudian mengulurkan tangan, jarinya menunjuk kepala arwah yang menurutnya sangat merepotkan itu. Tidak sampai satu detik, seberkas sinar putih memancar dari telunjuk pucatnya dan tepat mengenai dahi arwah di hadapannya.

Entah kenapa tubuh—arwah Luna seketika gemetar hebat. Air matanya mulai mengalir deras. Kedua tangannya memegang dada, menahan rasa sesal dan kesedihan luar biasa yang tiba-tiba merangsek dalam ingatannya. Itulah cara Asaka memberi stimulan pada arwah-arwah yang tidak lagi mengingat penyesalan akan dosanya.

“Udah … cukup!” pinta arwah Luna mengiba.

Asaka pun segera menurunkan tangannya. “Rasa itu bakal menyiksamu selamanya kalau kamu nggak mau mengambil kesempatan istimewa ini. Dan satu lagi, di dunia sana masih ada seseorang yang menunggumu. Dia juga yang meminta untuk memberimu satu kesempatan lagi untuk hidup dan memperbaiki kesalahan besarmu.”

Luna berdiri sembari menghapus air mata sekenanya. “Beneran? Ngapain dia menunggu pendosa sepertiku?”

“Karena dia menyanyangimu dan ingin menepati janjinya. Banyak arwah berbaju hitam lainnya yang pengen dapat kesempatan seperti kamu. Jadi, jangan sia-siain kesempatan ini.”

Luna sejenak terdiam, dia tidak mau selamanya terjebak di alam roh dengan rasa yang amat menyakitkan itu. Dia juga penasaran sebesar apa kesalahannya dulu sampai-sampai mati pun dia tidak bisa tenang seperti arwah lainnya. Lagi pula, dia ingin bertemu dengan orang yang masih menunggunya di dunia.

“Terus aku mesti ngapain?”

Mendengar hal itu, bibir Asaka sekilas melengkung membentuk senyuman. Meskipun mata dan hidungnya tertutup tudung lebar, tetapi kelegaannya tergambar jelas dari senyum di bibirnya.

Dia kembali membuka buku kecil di tangannya. ”Kamu akan kembali hidup menjadi Luna yang tinggal di Jakarta. Tugasmu di dunia cuma mencari tahu kesalahan terbesarmu sebelum mati. Lebih baik lagi kalau kamu menyesalinya, kemudian memperbaikinya. Batas waktumu cuma 17 hari sesuai tanggal kematianmu. Kalau berhasil, maka perbuatanmu akan diampuni. Tapi kalau gagal, arwahmu tetap bergentayangan dan nggak akan diterima di akhirat. Paham?”

Tangan Luna memegangi kepala, mulutnya berdecap, tidak mengira misi yang harus diembannya begitu sulit.

“Gimana caranya? Siapa dan gimana kehidupanku dulu aja aku nggak ingat.”

“Semua kenangan tentang kehidupanmu dulu dan orang-orang di sekitarmu memang sudah dihapus. Tapi sifat dan kemampuanmu untuk mengenal benda, berbicara, berjalan, memakai gadget, sampai mengupil pun tetap sama dengan kemampuanmu sebelum mati.”

“Terus kamu juga bakal jadi guide-ku di dunia?”

Sesaat Asaka tertawa, menunjukkan deretan gigi-giginya yang kecil dan semuanya berujung runcing. “Maaf saja, aku nggak bisa menjadi guide-mu di dunia. Kamu pikir, kami di sini nggak sibuk?”

Dia menatap lembaran buku yang ada di tangannya. Buku itu berisi data dan catatan arwah-arwah yang harus dia bantu hari ini. Dia menghela napas panjang setelah melihat masih ada tiga per empat buku yang belum diselesaikannya.

Beberapa tahun belakangan ini, banyak sekali arwah berbaju hitam seperti Luna di alam roh. Mereka datang dengan berbagai sebab, ada yang mati sebelum waktunya, ada beberapa hal yang masih mengikatnya di dunia, ada pula yang masih mempunyai dendam yang tertinggal.

Sepertinya semakin bumi menua, manusia semakin termakan oleh egonya. Hingga mati pun mereka membawa serta permasalahan yang belum terselesaikan di dunia.

“Tapi, aku bakal ngasih kamu kesempatan buat memanggilku ke dunia sebanyak tiga kali,” ucapnya setelah melihat Luna mencebik sebal.

“Caranya?”

“Kamu tinggal mengusap stempel di tanganmu, lalu ucapkan namaku sebanyak tiga belas kali.”

“Tiga belas?” Tangan Luna mengusap-usap kupingnya, dia tidak percaya dengan pendengarannya. Jumlah itu terlalu banyak dan ganjil untuk diucapkan. “Nggak kebanyakan, tuh?”

“Sudah, jangan banyak tanya. Sekarang waktunya kamu untuk kembali ke dunia.”

Asaka perlahan menarik knop pintu di hadapannya, seketika cahaya emas yang teramat terang merangsek masuk. Menyilaukan mata.

“Tunggu sebentar … kamu nggak mau jelasin tentang stempel yang harus kuusap buat panggil kamu?” tanya Luna, dia mundur beberapa langkah ke belakang, matanya myenyipit terkena cahaya dari pintu.

“Ah, hampir saja aku lupa.” Asaka mengeluarkan sebuah benda silinder berwarna hitam, sebesar genggaman tangan dari dalam jubahnya. “Ulurkan tangan kananmu,” pintanya kemudian.

Arwah Luna dengan gamam mengulurkan tangan kananya. Lantas Asaka menekan ujung benda silinder itu di punggung tangan arwah Luna, seketika gambar sebuah lingkaran dengan bintang dan angka 17 di tengahnya tercetak jelas di sana. Coretan itu pun menyala biru terang.

“Jadi ini stempelnya?”

“Itu akan membantu menghitung batas waktumu di dunia. Setiap hari angka di stempel itu akan berkurang satu. Stempel itu juga akan bersinar ketika kamu menemukan sebuah kebenaran tentang Luna di masa lalu. Paham?”

Arwah Luna manggut-manggut, walaupun sebenarnya dia tidak puas dengan sedikit bantuan yang di dapatnya. “Cuma ini aja?”

“Kamu juga bakal punya kemampuan unik waktu kembali hidup nanti. Makhluk di sekelilingmu juga akan membantumu mengungkap kesalahanmu.”

“Makhluk? Maksudmu manusia?”

“Udah … cepetan masuk sana.” Tangan Asaka menarik lengan Luna untuk mendekat ke pintu.

Cahaya yang menyilaukan di balik pintu membuat Luna tidak bisa melihat apa pun yang ada di dalam sana. Dia hanya kembali menengok ke arah Asaka untuk mengulur waktu. Namun, tanpa aba-aba Asaka mendorong Luna untuk masuk ke dalamnya.

“Semoga misimu berhasil!” ucap Asaka terakhir kali.

Teriakan Luna seketika menggema dari balik pintu. Dia terkejut saat tubuhnya jatuh dari awang-awang. Angin kencang dari bawah mengembus badannya, membuatnya seperti terjun bebas dari langit. Dia hanya bisa memejam, berteriak, dan berharap tidak akan kembali mati menghujam saat bumi.

***