cover landing

Return of The Plum Blossoms

By Y. Lathief


Wakayama, 2020

 

Langkahnya sudah tak tentu arah. Tubuh berbalut jaket tipis itu bergerak gelisah. Matanya menyirat ketakutan. Memandang sekeliling hanya ada pohon ara tua ribuan tahun berselimut lumut yang menjulang seakan memenjarakannya. Dahan-dahan raksasa tersebut berjalin-jalin membentuk kanopi, membendung sinar matahari untuk menyeruak rapatnya vegetasi. Habis sudah dirinya di sini.

“Keiko-san!” teriak gadis dengan rambut hitam sebahu bak julur jelai. Suara lantangnya mulai parau. Dia tidak yakin, apakah dirinya atau Keiko yang sebenarnya tersesat saat ini.

Lalu, haruskah dia merutuki keputusannya menyusul Keiko masuk ke dalam hutan tua terlarang ini? Tidak mungkin. Merutukinya pun percuma. Dia hanya perlu menemukan temannya itu dan kembali ke penginapan. Segera. Sebelum matahari mulai turun dan meredupkan cahayanya. Kobayashi  Sayo—nama gadis itu—pun melanjutkan langkah meski dengan ragu yang menggelayut.

Semua berawal ketika Keiko dengan semangat menawarkan diri menemaninya melakukan observasi penelitian di kawasan Kumano Kodo, Pegunungan Kii, Prefektur Wakayama. Tempat yang dikenal sebagai jantung spiritual Jepang itu dipenuhi rimba-rimba tua lengkap dengan pohon-pohon raksasa dan segudang misteri lainnya. Gunung-gunungnya juga berdiri kokoh. Menyimpan berbagai sumber mata air yang jatuh membentuk puluhan air terjun, syahdan mengisi celah-celah ngarai dengan aliran sungai biru yang meliuk-liuk. Terus bergerak hingga bermuara ke Samudera Pasifik.

Sayo ingat bagaimana sahabatnya itu menceritakan sebuah legenda yang beredar dari mulut ke mulut penduduk desa di kawasan ini. Konon di dalam hutan tua Kumano, ada sebatang Pohon Prem yang selalu berbunga tak kenal musim. Tumbuhan bernama latin Prunus mume tersebut merupakan perwujudan dari seorang putri bangsawan yang meninggal sebab cintanya kepada seekor kitsune tidak mendapatkan restu dari orang tuanya. Tersebarlah sebuah kabar bahwa siapa pun yang menemukan bunga prem tersebut akan dilimpahi keberuntungan; terutama soal asmara. Namun keberadaan pohon prem itu menjadi misteri di balik pekatnya rimba kuno yang terlarang. Hingga akhirnya menjadi mitos semata.

Keiko sejak awal memang berniat untuk mencari keberadaan pohon prem tersebut. Keinginannya diungkapkan oleh gadis berparas jelita itu ketika mereka masih berada di dalam kereta JR West Line dari Osaka menuju Tanabe, Prefektur Wakayama. Sayo pikir temannya hanya bercanda. Tak disangka, Keiko ternyata serius dengan ucapannya.

“Apa kau juga tidak ingin menemukan pohon Prem itu, Sayo-chan?” tanya Keiko seusai bercerita legenda tersebut.

“Aku? Untuk apa?” Sayo balik bertanya. Dia masih berkutat dengan peta kawasan Kumano—yang meliputi wilayah Tanabe, Nachi-Katsuura, dan Shingu—yang dia unduh beberapa hari lalu. Menghafal rute sekaligus bus nomor berapa saja yang harus mereka naiki untuk bisa mencapai gerbang masuk ke Jalur Ziarah Suci Kumano Kodo.

“Ya, siapa tahu kau ingin berdoa di sana pula.” Keiko mengerling nakal kepada Sayo. “Demi kelancaran hubunganmu dengan kakakku, misalnya?”

Sayo mengerutkan dahi. “Hubunganku dan Honomi-sensei hanya sebatas pembimbing dan mahasiswinya. Tidak lebih. Lagi pula, kau tahu, targetku adalah mendapatkan gelar doktor sebelum usia tiga puluh, kan? Jadi aku tidak memiliki waktu untuk memikirkan soal asmara,” jawab Sayo panjang tanpa mengalihkan netra arangnya dari layar ponsel.

Keiko tersenyum menggoda. “Kau benar-benar terlalu serius dan kaku, Sayo-chan. Mirip dengan kakakku.”

Sekali lihat, siapa pun pasti akan langsung tahu jika Keisuke—kakaknya—memiliki perasaan lebih terhadap Sayo, bagaimana cara profesor muda itu melihat Sayo dan selalu menatapnya penuh kasih, begitu pun Sayo. Keiko tidak tahu apa penyebab gadis bermata tajam itu mengabaikan rasa yang ada di hatinya dan lebih memilih bergumul dengan serangga-serangga kesukaannya. Apa menariknya hewan-hewan artropoda tersebut?

Oh, baiklah. Sepertinya gadis berambut panjang bergelombang bak ombak dan dengan warna cokelat madu itu harus menemukan pohon prem tersebut. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk kakak tersayangnya.

Maka, dia pun nekat melangkah masuk hutan tua Kumano yang sebenarnya terlarang. Meninggalkan Sayo yang tengah asyik merendam kakinya di sebuah aliran jernih anak sungai kecil; mencari telur kunang-kunang di sela berbatuan, juga beberapa ekor anggang-anggang. Hingga Sayo akhirnya menyadari bahwa gadis yang pernah dinobatkan sebagai ratu kecantikan di kampusnya itu menghilang.

Keiko hanya meninggalkan pesan lewat gawainya. Sebaris kalimat yang mengabarkan bahwa dia sedang mencari pohon prem dalam legenda tersebut dan meminta Sayo untuk pergi terlebih dahulu ke salah satu penginapan onsen di Desa Ryujin yang sudah mereka pesan sebelumnya. Namun, Sayo sendiri malah nekat menerobos masuk hutan tua terlarang itu demi mencari temannya. Ada kewajiban bertanggung jawab terhadap keselamatan Keiko yang dirasakannya. Apalagi, mengingat perempuan itu adalah adik dari associate professor di laboratoriumnya.

Maka, tibalah Sayo di sini. Langkahnya tersaruk-saruk tak tentu. Semakin jauh kaki perempuan dengan tubuh mungil itu masuk hutan, dia merasa makin tersesat. Pohon-pohon tua disertai bebatuan berlumut, membentuk siluet yang aneh. Menyeramkan. Seakan terus mengawasi gerak-geriknya.

Suara-suara serangga hutan mulai sayup-sayup menghilang. Meninggalkan jejak sunyi yang cukup mencekam. Sayo pun mulai gentar. Nyalinya semakin menciut. Ingin dia kembali, tetapi gadis tersebut merasa hanya terus berputar-putar di tempat yang sama.

Dia hampir putus asa. Tak ada seorang pun yang mampu menolongnya. Meminta bantuan pun mustahil. Ponselnya telah kehilangan sinyal. Seolah dia telah masuk ke suatu tempat di dunia lain. Bahkan birunya langit pun tetap tak dapat dijangkau oleh mata gadis itu.

Kemudian, seekor burung uguisu dengan warna bulu hijau cerah tiba-tiba terbang rendah dan bersiul nyaring. Meski dihalau, ia tetap tak mau pergi. Seakan memberi isyarat kepada Sayo untuk mengikutinya.

Baiklah. Sayo mengikuti instingnya. Hingga tertangkap ke indra pendengarnya, gemercik riak yang mengalir lembut. Dia bergegas setengah berlari menyibak beberapa semak. Ada aliran sungai kecil dekat sini yang  bisa dia susuri. Airnya dangkal sebening kaca.

Ada rasa lega yang sedikit dia rasakan. Paling tidak, ada titik terang untuknya bisa keluar dari hutan ini. Meski Sayo tidak tahu ke mana sungai itu akan berhenti mengalir. Akan tetapi, tidak ada salahnya untuk dicoba, bukan?

Saat kakinya hendak mencelup ke dalam air, sepasang netra hitam itu menangkap sesuatu. Membuatnya terbelalak tak percaya. Sebatang pohon prem sedang memekarkan bunga begitu anggun. Ranting-ranting kecil nan kurus itu dipenuhi kelopak-kelopak putih yang memendar cemerlang dan berkilauan. Ujung-ujungnya bergerak lembut bagai seorang shirabyoushi—penari wanita yang memakai pakaian pria, terkenal pada awal abad 12saat bersentuhan dengan angin. Pun aroma wangi yang sedikit manis begitu memikat penghidunya. Semuanya tersembunyi di balik kemisteriusan Hutan Kumano.

Gadis itu terkesima. Menatap bunga-bunga kecil itu tak percaya. Ini adalah awal Juni. Musim yang disebut sebagai tsuyu—musim hujan—di mana buah prem mulai masak dan bersiap untuk dipanen. Mustahil ia baru bermekaran di waktu ini.

Apakah ini pohon yang dimaksud oleh Keiko-san?

Hanya sekejap dia terpukau; saat dari batang pohon tersebut mengeluarkan sesuatu bak asap yang kemudian berkumpul hingga membentuk suatu wujud. Terhipnotis, Sayo pun melangkah mendekatinya. Sesosok perempuan muda berbalut junihitoe dengan rambut tergerai amat panjang. Netra berbentuk kacang almon itu menatap Sayo datar. Kulitnya terlihat mulus bagai pualam. Muka dan lehernya berbedak putih dengan alis yang dilukis tipis di tengah dahi. Bibirnya merona merah, membuat kontras di bagian wajah. Sungguh, gambaran seorang nona aristokrat yang jelita pada Era Heian, Jepang klasik.

Perempuan itu mengulurkan kedua tangannya. Hendak menyambut Sayo yang terus berjalan mendekatinya tanpa sadar. Sosok tersebut langsung mendekap erat Sayo tatkala tubuh gadis itu sudah sepenuhnya berada di hadapannya. Seolah dia sudah lama merindukannya.

“Aku sudah lama menunggumu datang,” bisik perempuan bermantel dari kain sutra itu dengan lapisan warna yang selaras.

Sayo yang berada dalam pelukannya tiba-tiba merasa sangat mengantuk. Dia memejamkan mata. Tidak mampu melawan kantuk yang mendera tiba-tiba. Hingga sebuah suara mengejutkannya.

“Apa ada hal yang istimewa hari ini, Nona?” ujar suara tersebut terdengar sedikit aneh di telinganya. Tata bahasanya agak berbeda dengan tata bahasa zaman ini. Seperti gaya berbicara orang-orang zaman dahulu.

Kedua kelopak matanya mulai terbuka perlahan. Di hadapannya terlihat sebuah tirai bambu yang seolah menjadi pembatas antarruang. Harum semerbak wewangian dari bunga kamelia langsung membelai indranya. Membuat dia sedikit melengkungkan senyum.

“Tentu saja, Yukiko,” jawabnya.

Tunggu. Sayo merasa asing dengan suara yang dikeluarkannya. Bahkan dia tidak memiliki kuasa atas tubuhnya. Ia bergerak dan berbicara sendiri. Seakan bukan dirinya. Seolah dia sedang berada pada raga lain yang bukan miliknya.

Kepalanya menoleh. Melihat seorang perempuan muda dengan balutan kouchigi berwarna hijau sedang menyisiri rambut panjang tergerainya dengan telaten. Sayo terkejut. Penampilan perempuan muda itu mirip dalam drama-drama taiga—kolosal—berlatar Heian yang tidak pernah absen menjadi tontonan ibunya.

 “Apakah Anda akan bertemu dengan pemuda itu lagi, Nona?” tanya perempuan muda yang dia panggil sebagai Yukiko itu.

“Ya. Ini sudah satu minggu sejak terakhir kami bertemu,” jawabnya dengan perasaan membuncah yang meluap-luap. Sayo heran. Dia bahkan merasakan dirinya sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan si pemuda yang dimaksud.

“Tapi, Nona. Bukankah Tuan Dajou-daijin sudah melarang Anda untuk bertemu dengannya kembali?” tanya Yukiko hati-hati. Tangannya masih bekerja menyisir rambut panjang legam milik majikannya dan sesekali mengolesinya dengan minyak bunga kamelia.

“Oleh karena itu kau harus merahasiakan hal ini dari ayahku,” pintanya dengan telunjuk yang dia tempelkan di depan bibir. Yukiko mengangguk takzim.

Perempuan ningrat itu pun mengambil sebuah cermin yang terletak tak jauh darinya. Sebuah pantulan tergambar di sana. Wajah polos nan cantik dengan mata berbentuk kacang almon dan terhias satu senyuman bahagia.

Ya. Itu bukanlah wajahnya. Sayo semakin yakin bahwa dia sedang berada dalam tubuh orang lain. Bukan raga miliknya. Lalu, milik siapa?

***