cover landing

Repeat, I Love You!

By Elisabeth Ika


Jemarinya memainkan pena, kemudian mengamati barisan tulisan di lembar kertas dua lapis berwarna hijau dan putih. Air merasa, otaknya hampir meledak karena tumpukan laporan yang harus dia selesaikan hari ini. Entah bagaimana, tetapi akhir bulan ini adalah neraka baginya.  Benar-benar menyiksa. Kacamata yang membingkai apik wajahnya ia lepas. Air mengurut pangkal hidung, berharap dia hanya salah lihat tinggi tumpukan laporan yang teronggok di sudut meja kerja.

“Laporan bulanan belum selesai, Ir?” tanya Puspa ketika berjalan mendekat ke meja kerja Air. Wanita itu hanya menggeleng lemah tanpa menatap si penanya.

“Wah, gila. Anak-anak Technical Service memang lagi ngerjain kamu,” gumamnya.

“Entah. Nggak biasanya mereka separah ini.” Menghela napas panjang, Air mengambil satu bundel laporan. Tangan kirinya meraih kalkulator dan pena merah di tabung jaring-jaring hitam di sudut meja satunya.

Air memang sedikit lebih payah daripada bulan-bulan yang lalu. Biasanya para Technical Service, salah satu jabatan di kemitraan ayam tempat Air bekerja, yang bertanggung jawab melakukan jadwal kedatangan DOC (day old chick; anak ayam usia sehari), pengaturan pakan, memantau pemeliharaan ayam broiler hingga panen, sesuai dengan standar perusahaan, selalu melaporkan hasil kerja mereka tepat waktu. Namun, kali ini berbeda. Air pun tak mengetahui, kenapa begitu banyak laporan yang terlambat. Mungkin sedang banyak masalah di lapangan? Entah, yang jelas Air sudah malas menerka penyebabnya.

“Sini, aku bantuin. Kasihan amat kamu mesti kerja sendiri.” Puspa mengambil beberapa bendel laporan, melirik ke Air yang sedang mengecek perhitungan hasil panen ayam.

“Aku cek data penjualan, ya, Ir.”

“Thank you, Pus.” Air tidak menoleh, matanya terpaku pada layar kalkulator dan jemarinya lincah menari di atas tombol mesin hitung itu.

“Ir, kamu tahu enggak kalau kita akan ganti supplier pakan dan DOC?” tanya Puspa sembari mengecek data penjualan.

“Nggak.”

“Aku dengar dari Devan, katanya hari ini Pak Richard ngajakin Pak Galih meeting sama pihak Goldy.”

“Goldy?”

“Iya, PT. Goldy Poultry Indonesia. Surabaya,” Puspa meletakkan pena kemudian menatap serius ke arah Air yang memiringkan kepala, menerawangkan pandangan seakan mengingat sesuatu. Meski sudah hampir empat tahun bekerja sebagai staf administrasi di kemitraan ayam, Air tidak begitu mengenal banyak perusahaan perunggasan di Indonesia, kecuali supplier di MJN atau perusahaan-perusahaan besar yang terkenal.

“Kenapa?” tanya Puspa. Air menggeleng kemudian mengarahkan kembali matanya ke lembaran hasil panen ayam broiler.

“Setahu aku, Goldy ini perusahaan perunggasan di Surabaya. Dan, dia memang lagi melebarkan sayapnya ke area Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dengar-dengar, direkturnya yang baru kenal cukup dekat sama Pak Richard. Sempat ngobrol soal kerja sama sejak lama, tapi baru terlaksana sekarang.” Informasi tentang kantor bahkan gosip para karyawan hingga top manajemen kantornya memang tidak pernah luput dari jangkauan Puspa. Ibarat portal berita, Puspa memang jadi tempat tujuan para karyawan mendapat informasi terbaru dan akurat. Yang membuatnya berbeda dari para penggosip murahan, Puspa jarang sekali membahas gamblang soal kehidupan pribadi teman-temannya. Dia memang cukup bisa dipercaya dan cerdas dalam menyaring setiap berita yang masuk ke telinganya.

Air mengangguk, menerima informasi dari Puspa. Entah informasi itu berguna untuknya atau tidak. Karena bagi Air, selama informasi itu tidak berhubungan dengannya secara langsung atau bahkan mengancam keberlangsungan kariernya, dia tidak akan pernah memperhatikannya dengan saksama. Mengurusi diri sendiri saja belum tentu mahir, untuk apa harus mengurusi hal yang bukan ranah atau kepentingannya, begitu pikir Air.

***

Melirik penanda waktu yang menempel di dinding dekat pintu, Air menghela napas. Ia mengangkat kedua tangan guna meregangkan otot-ototnya yang sedikit kaku karena duduk berjam-jam mengerjakan laporan. Sudah hampir pukul sembilan malam tetapi ia belum juga beranjak dari ruangan kecil di kantor empat lantai itu. Ia berdiri kemudian mengambil lembaran-lembaran laporan unit di printer hitam di tengah antara meja kerjanya dengan meja kerja rekannya. Air mengecek kembali angka-angka yang tertera di setiap kolom dan baris yang terpampang di sana.

“Loh, Air belum pulang?” Seorang pria berperawakan tinggi memakai kemeja putih dan mencangklong tas hitam berhenti, kemudian menengok Air dari arah ruang tamu. Air meringis, kemudian berjalan menghampiri pria itu.

“Belum, Pak. Saya baru selesai mengerjakan laporan bulanan.” Air menyerahkan enam lembar kertas yang penuh dengan tabel dan angka kepadanya.

“Pak Galih baru selesai meeting?” Galih, atasannya, mengangguk mantap.

“Kok tahu?” tanyanya, tapi mata pria itu menelusuri setiap angka berwarna hijau di deretan bawah tabel lembar pertama, kemudian dia memandang Air.

“Puspa yang cerita, Pak.”

“Bulan ini lumayan juga ya indeks performance-nya. Kalau angkanya besar begini, kan, mantap. Tambah populasi, tapi prestasi unit juga tambah bagus. Ngomong-ngomong, kok kamu belum pulang sampai jam segini, Ir?” tanya Galih, kembali menyerahkan laporan bulanan itu kepada Air.

“Anak-anak TS setor datanya telat,” jawab Air. Menyandarkan bokongnya ke ujung sofa, Air menggulung laporan bulanannya. Kepalanya sedikit menunduk. Ia melirik hati-hati, menunggu komentar sang atasan.

“Telat? Wah, anak-anak mesti dikasih training lagi kayaknya. Lain kali kalau ada keterlambatan data, langsung lapor saya, Ir. Biar kamu nggak perlu lembur kayak begini. Nanti saya yang tegur mereka.” Senyuman langsung terukir di wajah Air ketika mendengar ucapan Galih.

Kepala unitnya itu memang masih muda, kira-kira berusia tiga tahun di atas Air, tetapi dia cukup disegani oleh para TS dan karyawan lain. Air selalu mengandalkan Galih ketika sedang memiliki kendala dengan rekan kerjanya. Kantor mereka memang didominasi orang-orang berusia muda. Dengan semangat kerja yang sedang tinggi-tingginya, cek-cok di antara mereka rasanya sulit terabaikan. Di saat itulah, Galih kerap jadi penengah di antara teman-teman timnya. Suaranya bak dewa, yang tanpa banyak bantahan selalu diamini semua orang, kadang kala, Richard pun mengikuti apa usulan pria itu.

Tak seberapa lama, terdengar suara mobil berhenti di depan kantor. Air dan Galih sontak menjulurkan lehernya menengok ke arah pintu.

“Loh, Air belum pulang?” Devan dan Ardi memasuki pintu ruang tamu beberapa menit kemudian.

“Gara-gara data kalian telat masuk administrasi, dia mesti lembur laporan bulanan.” Galih menyahut. Saat Air bergegas memasuki ruangan administrasi, Ardi dan Devan membanting diri di sofa ruang tamu. Dua orang Technical Service itu mengembuskan napas lega, seperti orang yang habis berjalan di padang gurun gersang, kemudian menemukan sumber air.

“Maaf, deh, Pak. Populasi kita, kan, bertambah. Jangkauannya juga semakin luas, sedangkan menjelang musim pancaroba begini banyak kasus ayam sakit, Pak.” Ardi menegakkan duduknya menghadap Galih.

“Saya tahu, Di. Tapi kita ini kerja tim, loh. Ada staf administrasi yang mengolah data dari lapangan, dan ini akhir bulan. Mereka dikejar waktu biar rekap hasil unit kita bisa keluar, artinya insentif kalian juga keluar, kan. Kecuali, kalau kalian enggak butuh duit tambahan.”

“Iya, Pak. Kami usahakan enggak telat-telat lagi.”

“Oh iya. Pak Galih bukannya meeting dengan Goldy, hari ini?” Devan mencoba mengalihkan pembicaraan.

 “Bukan meeting yang bagaimana-bagaimana, soalnya Pak Richard sebenarnya sudah kenal sama direkturnya Goldy. Mereka berteman sejak lama. Dan kabar baiknya, kita akan segera ganti supplier pakan dan DOC.”

Sayup-sayup terdengar pembicaraan Galih, Devan dan Ardi di ruang tamu yang mulanya soal penyerahan data, kini melebar hingga ke direktur baru Goldy terdengar di telinga Air yang membereskan beberapa barangnya dan mematikan komputer miliknya. Mengambil ponsel yang dia letakkan di belakang kalender, dia mengecek beberapa pemberitahuan. Pesan dari provider telekomunikasi yang menawarkan paket data murah, ratusan chat yang belum terbuka dari grup sekolah, dua pemberitahuan dari media sosial bahwa ada dua temannya yang baru saja mengunggah foto terbaru, juga satu chat dari sang ibu yang minta dibelikan martabak spesial di tempat langganan sebelum dia pulang. Tidak ada yang menarik dari pemberitahuan ponselnya. Mengambil napas panjang, Air memasukkan ponsel ke dalam tas selempang miliknya.

“Dia seumuran Pak Galih?” Devan menyandarkan punggung di sofa warna krem sembari memeluk bantal.

“Iya. Hebat, ya, semuda itu sudah jadi direktur.” Mengembuskan asap putih ke udara, Galih kemudian menjentikkan rokok ke asbak.

“Dia kan cuma meneruskan perusahaan kakeknya, Pak. Hebat itu kalau dia bisa bikin PT. Goldy sendiri dari nol,” Ardi menimpali ucapan Galih.

“Iri bilang bos!” Devan meninju pelan lengan Ardi kemudian terkekeh melihat kawannya itu melirik sengit.

“Bukan iri. Si Akar itu menang privilege. Coba kalau aku yang ada di posisinya dia. Lahir di keluarga kaya raya, lalu kuliah sampai ke luar negeri, ya auto-direktur. Kurang hebat apa coba.”

Air menoleh ke arah ruang tamu kala mendengar nama seseorang yang disebutkan Ardi.

“Punya privilege juga kalau otak sama kemampuan enggak mumpuni, yang ada kocar-kacir perusahaan kakekmu, Di.” Galih berdiri ke arah dispenser yang berada di samping pintu ruangan administrasi.

“Pak Akar itu hebat sih, berani melebarkan bisnis keluarga sampai bisa ekspansi ke luar Jawa Timur, di saat Goldy masih belum begitu dikenal seperti perusahaan yang lain. Padahal, dibanding perusahaan sejenis, Goldy enggak terlalu besar. Belum. Terus, dengar-dengar, dibanding almarhum ayahnya, dia lebih tegas, lebih pintar, tapi lebih down to earth,” tambah Galih sembari mengisi gelas beling panjang dengan air mineral dingin.

Akar? Sejenak, Air membatu di samping meja. Ketika lagi-lagi celotehan Ardi disambut gelak tawa dari Galih dan Devan, Air seperti kembali ke kesadarannya. Ia menggeleng. Mana mungkin Akar punya perusahaan peternakan, wong beli kaus kaki baru saja mikir berkali-kali. Mungkin hanya nama saja yang sama.

Meskipun begitu keras Air berusaha meyakinkan diri, perempuan itu merasa ada nyeri yang bersumber yang entah dari mana. Kenapa harus teringat lagi? Bukankah seharusnya ia sudah lupa? Sekian tahun ia berusaha baik-baik saja, sekadar mendengar nama yang sama rasanya sudah begini. Memejamkan mata, Air mencoba menenangkan diri. Air merasa enggan mendengarnya lagi. Hatinya seperti menolak dengan lantang, jiwanya meradang bahkan jika bukan Akar itu yang dimaksud oleh ketiga manusia yang masih berbincang di sofa ruang tamu kantornya.

***