cover landing

Red Heart

By Athenata


Ella selalu menyukai aroma bumbu dapur meski menurutnya itu terlalu menyengat, sedangkan aroma dupa serta kemenyan adalah aroma yang terburuk. Aroma yang akan selalu tercium bila menginjakkan kaki di area Kuil Cahaya, yang sayangnya kini menjadi satu-satunya tempat teraman di kota Eden, wilayah kekuasaan Red Heart. Lorong-lorong kuil yang biasanya sepi oleh jemaat kini tak ubahnya seperti posko bantuan dengan para pendeta yang berkeliaran ke sana kemari dengan jubah putih perlambang perwakilan dari Sang Hyang.

Beberapa mungkin ada yang membayangkan datangnya hari ini, tapi tidak terbayangkan akan datang hari ini juga. Seperti yang tersebar dalam cerita dongeng rekaan yang diwariskan dari mulut ke mulut, tentang raga yang hangus terbakar oleh ambisi dan emosi yang tidak lagi dapat terbendung. Api abadi yang tidak akan pernah dapat dipadamkan, akan terus membesar dan menghabisi siapa pun yang menghalanginya. Para Bretya yang semula hanya digambarkan melalui boneka tangan berwarna hitam kini seakan menagih balik atas apa yang seharusnya mereka lakukan sedari lama.

Berawal dari sebuah teriakan di alun-alun kota pada dini hari, para penduduk yang sibuk mematikan lentera mereka buru-buru dikejutkan dengan seorang pria dengan tubuh sepenuhnya hangus terbakar. Diikuti kedatangan sosok tinggi berkulit keras layaknya kayu pohon dengan jejak kaki yang tertinggal laksana sebuah abu pembakaran, tanda jelas jika di dalam wujud itu ada nyala api yang belum padam. Dan meskipun para prajurit sudah dikerahkan, keadaan belum benar-benar bisa dikatakan membaik. Bahkan semakin bertambah buruk setiap saatnya.

Banyak pasukan dikerahkan, dan banyak pula yang harus dilarikan ke dalam Ruang Pemunahan karena terinfeksi. Membuat para pendeta sedikit kewalahan untuk menjaga kesadaran para korban hingga Bretya yang menyerang bisa dibunuh.

"Francessca."

Ella menoleh pada Hugo. Pamannya itu bergegas merengkuh tubuh Ella, berniat membawanya menjauh dari salah satu Ruang Pemunahan, tapi urung kala gadis itu memberi gestur menolak. Adik kembarnya ada di dalam sana, tengah berjuang dan meski pendeta utama mengatakan jika dia akan baik-baik saja, Ella tidaklah bodoh. Dari banyaknya pendeta muda yang keluar masuk dari ruangan itu serta suara tangis ibunya yang tidak kunjung reda, itu sudah lebih dari menjelaskan semuanya. "Maaf. Maafkan aku. Aku tidak bisa melindungimu dan Lazarus."

Ella tahu jika keselamatannya dan adiknya ada di bawah pengawasan si paman. Menunjukkan pula alasan kenapa ayahnya buru-buru menghajar Hugo kala mendengar kabar jika putranya terinfeksi Bretya, yang sayangnya kini tidak kunjung terbunuh.

Ella sendiri tidak ingin menyalahkan Hugo, gadis itu ada di dekat Silas saat Bretya tiba-tiba saja muncul di halaman rumah mereka. Menyerang para pelayan yang mencoba melawan dan berakhir mengejar keduanya. Hugo tentu tidak sepenuhnya salah, dia tidak tahu jika akan ada Bretya yang muncul di pusat kota Eden.

"Aku tahu perbuatanku ini tidak akan dimaafkan, tapi percayalah, aku akan tetap melindungimu dan Lazarus." Matahari mulai terbenam dan nasib kota kedepannya belum bisa diprediksikan, dewan kota saat ini tidak bisa meminta bantuan dari kota-kota terdekat karena bahkan yang mereka hubungi sudah terlebih dahulu kehilangan tempat tinggal. "Tetaplah percaya pada mimpimu, El. Dirimu yang asli akan selalu hidup di sana." Hugo mengecup kening Ella, mencoba menenangkan gadis yang tentunya memiliki trauma tapi terpaksa menahannya karena tahu ada yang lebih terluka.

Kemudian pergi berlalu sambil membawa salah satu obor yang ada di dinding kuil. Meninggalkan Ella yang lagi-lagi sendirian di tengah keramaian para korban.

Seorang Pendeta muda terlihat tergesa-gesa memasuki Ruang Pemunahan hingga lupa untuk menutup pintunya dengan rapat. Membuat Ella kini dapat sedikit mengintip guna menuntaskan rasa penasaran atas apa yang sebenarnya para perwakilan Sang Hyang itu lakukan di dalam. Silas tertidur di tengah-tengah ruangan, dikelilingi sebuah bintang dan segi lima, dibuat dari kapur yang dihaluskan. Seorang pria tua yang dia kenal sebagai salah satu pendeta terlihat berdiri di salah satu sisi pentagram memegang sebuah buku dengan empat orang pendeta muda di sisi lainnya. Ibunya ada di luar garis kapur dengan membawa sebuah lonceng entah untuk apa.

Ella sontak menahan napasnya kala simbol-simbol aneh yang ada di pentagram itu berputar. Seirama dengan Pendeta yang kini tengah merapalkan sebuah mantra yang tertulis di dalam buku itu tanpa adanya jeda. Seakan bila pria itu mengambil jeda barang satu tarikan napas saja, dia bisa kehilangan Silas untuk selamanya.

Ella memang tidak begitu sering mengunjungi Kuil Cahaya, hanya pada Hari Berdoa atau hari-hari tertentu. Selebihnya dia lebih suka berdoa di kuil yang ada di belakang rumah, bersama dengan para pelayan yang akan dipimpin oleh neneknya selaku yang tertua. Dan mantra kali ini terasa asing di telinganya, tidak pernah mendengar sebelumnya, meski kata yang digunakan terdengar cukup familiar. Seperti pelepasan, pembebasan, dan keyakinan.

Dapat dilihat dari celah itu jika bibir si pria tua terlihat memucat, terlalu banyak mengeluarkan sihir tanpa adanya hasil yang jelas.

Beberapa saat yang lalu, Ella sempat mendengar sayup-sayup tentang seorang pendeta yang membunuh seorang korban terinfeksi dengan alasan itu adalah jalan terakhir. Memang tidak adil kala mengingat seorang pendeta masih berjuang untuk kesembuhan Silas di dalam sana hanya karena ayahnya adalah salah satu anggota dewan militer sekaligus dewan kota yang tentunya menyumbang banyak untuk dana operasional Kuil Cahaya. Ella harap Sang Hyang tidak akan marah padanya karena menyetujui tindakan ini.

"Kita berhasil!" seru lemah salah seorang pendeta muda yang membuat Ella sedikit memundurkan tubuhnya.

Ibunya masih menangis, tapi rintihan serta erangan secara perlahan mulai berhenti keluar dari mulut Silas.

Entah kenapa kini justru dada gadis itu yang terasa sesak. Pundaknya dengan sangat kentara terlihat bergetar dan lutut yang terasa lemas. Lidahnya yang sedari tadi kelu barang mengucapkan sepatah dua patah kata ditambah mulutnya yang kini seperti dirapatkan tanpa bisa berkata-kata. Sebelum tubuhnya benar-benar limbung, sebuah bisikan terdengar gigih mencoba masuk ke dalam indra pendengarannya, bersamaan dengan deru kaki panik yang dia yakini adalah milik para pendeta.

'Kenapa kau memanggilku?'

***