cover landing

Re-Call

By tuesdayat7am


PROLOG

 

Ya Tuhan, bahkan sampai saat ini aku masih mengingat-Mu. Bisiknya pada angin malam.

Ia mengembuskan napasnya dalam dan lirih. Membuka perlahan kedua mata yang tertutup. Menghirup kembali udara malam. Tersenyum ketika merasakan tamparan angin di lantai 45 ini.

Gadis itu menekan dadanya yang terus bergejolak. Mengucapkan ribuan maaf tertahan kepada orangtua satu-satunya. Sosok lelaki kurus yang kemungkinan akan menangis begitu mengetahui apa yang tengah ia lakukan. Atau justru tertawa terbahak mendengar berita yang pasti akan menjadi trending topic esok.

BlackBox Entertaiment. Dua kata yang berhasil membuatnya menjadi seperti ini. Tempat yang sampai sekarang masih diidam-idamkan banyak orang. Termasuk dirinya. Ya, ia tidak munafik bahwa masih tertinggal rasa untuk menetap. Namun, tetap saja semua tidak akan seindah dulu.

Ia kini beralih menatap ribuan gugus bintang di atas sana. Bersanding dengan bulan yang malu-malu menyembul dari balik awan hitam. Ah, bahkan semesta mendukungnya. Jika sudah begini untuk apa menunda lagi?

“Hei, sebentar lagi aku akan bersamamu.” Gadis itu tersenyum. Miris.

Sudut bibirnya masih terangkat ketika kakinya tak lagi menginjak lantai beton. Kedua tangannya telentang. Menyambut udara. Terasa menusuk lengan dan kakinya yang hanya berbalut piyama sutra putih.

Waktu terasa begitu lambat. Ia merasakan udara malam kembali menamparnya. Pasti sekarang lengan dan kakinya memerah.

Kedua matanya memanas. Meringis saat merasakan sudut matanya berair. Suaranya terdengar pilu. Ia meraung sembari menatap balkon yang perlahan mengecil. Melirik jalanan di bawah sana yang ternyata belum sepi.

Ia menangkap suara manusia. Juga dentuman keras yang berasal dari tubuhnya sendiri. Sempat melihat genangan berwarna merah sebelum tergantikan dengan kegelapan. Ribuan kunang-kunang menyambutnya. Bersama kawanan lebah.

Jemarinya masih mencoba untuk bergerak. Meraih apapun. Namun, tidak dapat. Ia berhenti begitu saja. Seluruh gerakannya terhenti. Mata bulat itu sempurna menutup.



BAB 1

GERBANG WAKTU

 

Suatu senja pada bulan Mei tahun 1998.

Hari itu, dunia akan terus mengenang tentang kejadian ini. Sebuah peristiwa yang mengguncang Indonesia. Dengan berakhirnya kabinet Soeharto dengan 32 tahun masa jabatan. Lelaki itu turun takhta setelah darah mengucur di mana-mana.

Beralih dari segala bentuk keruwetan bernama politik. Hari itu, tepat ketika warga Tionghoa menjerit. Ketika semua tempat layaknya lautan api. Pemerkosaan, pembakaran, hingga penyiksaan atas nama perbedaan pribumi dan nonpribumi.

Tidak ada yang terdengar lebih menyayat ketimbang lolongan pesakitan di ujung gang ini. Ia adalah seorang wanita dengan mata sipit khas peranakan. Wajahnya sudah tak berupa setelah beberapa pemuda memberikan beberapa cakaran. Bukan hanya itu, mereka juga mengambil kehormatannya secara paksa. Ya, ia diperkosa. Tepat di depan putranya yang sudah terkapar.

“Arjun! Arjun!” teriaknya mencoba menyadarkan bocah lelaki berusia sepuluh itu.

Ia mencoba meraih tangan Arjun. Mengabaikan rasa sakit yang terus menjalar. Mengabaikan harga dirinya yang sudah menghilang entah kemana. Yang ia tahu sekarang ini, hanya putra dan calon anaknya yang belum lahir.

Ia tengah mengandung. Tujuh bulan tepatnya. Perut yang semakin membuncit tidak mengurangi sedikit pun kekuatannya. Ia kembali meraih tangan rapuh di depan sana. Mencoba mengangkat dengan sisa-sisa tenaga. Ia harus pergi. Ke manapun.

Air mata menderas saat merasakan air matanya mengalir makin deras. Ia terjauh dengan tangan yang masih mencoba menyangga tubuh Arjun. Meraba perutnya. Membuat perjanjian dengan bayi di dalam sana. Ia harus selamat. Ia tidak boleh menyerah sekarang.

Mei adalah wanita yang sudah hampir tiga puluh tahun tinggal di Indonesia. Terlahir dari orangtua berdarah China kental. Mereka bermigrasi lebih dari setengah abad yang lalu. Kemudian mendirikan toko kelontong di sini.

Hingga kemudian ia bertemu dengan pemuda bertubuh jangkung, ayah Arjun. Andhika Bhayangkara, reporter andalan RRI yang sekarang sedang berada di tanah lapang. Ia meliput. Berjalan ke sana-ke mari. Mempersembahkan kejadian kekinian di Indonesia.

Langkahnya terseok. Membuka paksa pintu yang sudah sepenuhnya rusak. Rumah mereka. Ya, kediaman keluarga Bhayangkara yang kini hancur lebur. Tempat tinggal sekaligus tempatnya mencari rupiah. Toko kelontong warisan orangtuanya.

Ia terduduk lemas setelah terlebih dahulu menindurkan Arjun. Meraih wajah putranya. Mengelus lembut. Menciuminya berkali-kali sebelum memutuskan bangkit. Mengambil pisau. Ya, ia tidak ingin hidup seperti ini lagi.

Raungan kembali terdengar. Saat itu, ia merasakan perutnya bergerak. Tepat ketika pisau tajam yang ia pegang hampir memasuki tubuhnya. Ia tersungkur. Pisau itu terlempar beberapa meter. Wanita itu menatapnya sembari mengucapkan ribuan maaf.

Tidak! Ia tidak boleh mati sekarang. Ada kehidupan baru di dalam tubuhnya. Bayi kecil yang dua bulan lagi akan dapat melihat dunia. Setidaknya ia harus bertahan selama dua bulan itu. Namun, mengapa justru ketakutan yang hadir?

Kepalanya memutar memori beberapa jam lalu. Ketika kesuciannya terenggut. Bajingan-bajingan yang mengatakan dirinya pejuang reformasi. Tapi mengapa? Mengapa harus ia yang menjadi korban kebiadaban mereka?

Apakah karena ia bukanlah darah asli? Tidakkah mereka lihat bahwa Arjun adalah pribumi juga? Tangisnya kembali pecah begitu melihat wajah mungil bocah itu tengah menatapnya. Ada isak tangis di sana.

“Kemari,” ucap wanita itu sembari membuka lebar kedua lengannya.

Bocah itu berlari. Lemah. Ia menangis di pelukan sang mama. Mengalungkan kedua tangannya dengan begitu erat. Baru saja beringsut saat menyadari perut buncit mamanya.

“Ma, Arjuna takut,” lirihnya.

Pintu tiba-tiba terbuka. Mereka masih saling berpelukan. Ada suara pria. Memanggil namanya berkali-kali. Namun ia diam, kaku. Tidak! Tidak lagi! Masih ada Arjun yang harus ia lindungi. Ia tidak akan sanggup jika harus melindungi dirinya juga.

Derap kaki makin terdengar bersamaan dengan lengannya yang makin memeluk erat Arjun. Rapalan doa terucap dalam hati. Memohon kepada Tuhan untuk menyembunyikan mereka berdua.

“Mei, Arjun!”

Mata keduanya terbuka. Sosok Andhika berdiri di ambang pintu. Wajah penuh peluh itu kini menghambur memeluk keduanya. Menghapus air matanya yang sempat mengalir dengan kasar. Tidak ingin membuat jagoannya melihat sisi lemah yang selama ini ia sembunyikan.

“Bagaimana—“

“Tidak sekarang aku jelaskan. Ayo ikut!” Tangan Andhika meraih lengan Mei, berusaha membantu wanita itu untuk bangkit.

Beruntung Arjun tidak banyak bertanya sekarang. Bocah itu kini tengah berada di gendongan sang papa. Merebahkan kelapanya yang masih terasa berat.

Mereka berjalan menyusuri jalanan sempit. Andhika yang memimpin. Matanya awas menangkap siapapun yang barangkali melihat. Ia sebenarnya tahu apa yang terjadi. Mulai ketika melihat Arjuna limbung akibat beberapa kali pukulan di kepalanya. Juga ketika wanita yang tengah ia gandeng ini mengalami kejadian mengerikan.

Mei menatap tangan mereka yang masih terpaut. Tersenyum saat menyadari betapa Andhika tidak ingin melepasnya sekarang ini. Padahal ia juga tahu bobot badan Arjuna yang sudah makin bertambah. Ah, putranya itu tumbuh dengan baik selama ini.

Ia berhenti saat menyadari kaki Andhika juga berhenti melangkah. Senyum di bibirnya luntur saat melihat punggung Andhika bergetar. Juga terdengar isak tertahan di depan sana. Ia mendekat. Meraih lengan kekar itu dan memeluknya.

“Maafkan aku, Mei.” Begitulah yang kira-kira kalimat yang keluar dari mulut Andhika.

Wanita itu menghapus air matanya dengan kasar. Segala jenis pesakitan yang sudah ia rasakan selama ini, ia bersumpah sudah hilang bersama dengan air matanya tadi. Sudah tidak ada lagi tangisan semenjak ini.

“Bertahanlah demi anak-anak kita, aku mohon.”

Lagi dan lagi, wanita itu mampu membungkam mulutnya. Jika kalian mengira yang paling lemah di antara mereka adalah wanita itu. Jawaban kalian salah. Nyatanya Andhika yang akan menangis pertama kali begitu melihat Arjuna sakit.

 

***

 

Bangunan bergaya Eropa itu memang terlihat biasa saja. Tampak tidak terlalu luas dari luar. Namun, siapa sangka. Bahkan bangunan ini adalah yang terluas di wilayahnya. Bagaimana tidak jika yang menghuni saja adalah keluarga Kuncoro yang terhormat.

Memasuki halaman yang pertama kali menyambut adalah pos penjaga dengan lima orang berbadan tegap. Kemudian dua buah bangunan yang disambung oleh koridor sepanjang sepuluh meter.

Ada sebuah taman di samping bangunan kiri. Penuh dengan bunga kesukaan nyonya. Air mancur dan kursi taman berwarna putih yang saling bersebelahan. Juga paviliun kecil tempat menjamu tamu sembari meminum teh di sore hari.

Pintu besar dari kayu jati Kalimantan yang akan dilewati sebelum tiba di ruang utama. Tempat menjamu para tamu yang luasnya bahkan lebih besar. Sofa dari Belanda sengaja didatangkan. Berikut lukisan karya seniman dalam dan luar negeri asyik terpampang di dinding ruangan itu.

Tempat itu dipenuhi aroma harum bunga mawar segar tiap waktu. Pemiliknya memang pecinta keindahan. Bahkan dinding pembatas ruang utama dengan ruang keluarga adalah ukiran yang khusus mereka pesan dari Jepara. Mirip seperti perpaduan kebudayaan lokal dan internasional.

Ada kepala menjangan dan beruang di ruang keluarga. Sebenarnya tempat itu jarang digunakan. Pemiliknya terlampau sibuk hanya untuk duduk bersama di ruang yang tak kalah luas ini. Pintu besar yang sengaja selalu terbuka di ruang itu langsung terhubung kembali dengan sebuah ruang lain.

Tempat hijau terbuka dengan kolam ikan yang tampak indah. Bebatuan koral yang hampir semuanya berwarna gelap, menampilkan sisi estetik sekaligus mewah bersamaan. Juga beberapa tanaman anggrek mahal tergantung di dinding berbentuk air terjun.

Makin memasuki tempat itu, akan ada beberapa pelayan yang siap menyambut. Mereka berapakaian serba rapi. Dengan setelan putih berlaku untuk wanita maupun pria. Memang itu adalah ajaran dari si pemilik.

Di sinilah Dharma menghabiskan hari-harinya. Pria berkacamata bulat dengan tubuh agak tambun. Ia sudah hampir lima tahun lamanya menjadi dokter pribadi keluarga Kuncoro. Melakukan apapun yang diperintah oleh si pemilik rumah. Termasuk menjadi mata-mata dadakan jika memang itu diperlukan.

Pekerjaannya bagus. Bahkan jauh dari kata berat. Ia hanya perlu menyiapkan multivitamin untuk majikannya, menyiapkan menu makanan sehat yang tentu saja bekerja sama dengan koki rumah ini, juga obat-obatan yang diperlukan jika penyakit si pemilik rumah kambuh.

Terlalu mudah bukan? Ia bahkan hampir dibilang tidak melakukan apapun. Namun, bukankah borok tidak akan terlihat jika hanya dilihat sekilas? Itulah yang tengah pria itu rasakan kali ini.

Dirinya tengah berdiri dengan wajah pucat di depan jendela besar ruangannya. Ya, ruangan cukup besar di tengah rumah ini adalah miliknya. Tempat yang disiapkan khusus untuknya. Penuh dengan rak obat-obatan dan dua ranjang. Satu untuknya istirahat, dan satu berukuran lebih kecil jika ada staf di rumah ini yang sakit.

Fasilitas yang terbilang mewah memang. Apalagi peralatan medis di ruangan ini hampir setara dengan rumah sakit di ibukota. Siapa lagi yang sudi menyiapkannya jika bukan Tuan Kuncoro. Pria gila yang rasanya ingin sekali ia habisi hari ini juga.

Ia berlarian di koridor saat mendengar suara lonceng berbunyi. Ya, inilah pekerjaan yang sesungguhnya. Mengobati orang sakit. Langsung meluncur ke sumber suara. Memakai jas putih dan tas yang terisi penuh oleh peralatan P3K.

Melewati gedung kanan dan menuju ke pintu yang mengarah ke bangunan belakang. Ya tempat berukuran tak terlalu besar jika dibandingkan dua bangunan utama. Hanya bangunan beratap dan bercat abu-abu saja. Namun, di sinilah tempat berlangsungnya kehidupan keluarga Kuncoro.

Matanya terbelalak begitu melihat pemandangan di depan sana. Tuan besar sudah berdiri. Dengan setelan dan cerutu yang mengepul di mulutnya. Beberapa orang berbadan tegap nampak menatapnya begitu ia tiba. Kemudian berangsur menyingkir.

Ada kurang lebih tujuh orang yang tengah berlutut di depan sana. Keadaannya? Ah, tidak dapat dibilang baik-baik saja. Mereka menderita luka di sekujur tubuh. Darah di mana-mana. Bahkan Dharma masih dapat melihat darah yang membekas di salah satu tangan kanan tuan besar.

Pria itu sendiri merasa bingung dengan keadaan di tempat ini. Ia tidak pernah merawat orang lain selain anggota keluarga Kuncoro. Sedangkan orang-orang ini? Mungkin mereka adalah beberapa aktivis yang menghilang itu.

Ya, Tuan Kuncoro memang antek yang menyembunyikan mereka. Radio-radio sudah memutar beritanya. Namun, ia tetap terdiam. Bukan haknya untuk membicarakan privasi seperti itu. Lagi pula ia masih butuh makan dan hidup. Sampai kemudian, matanya menangkap sesuatu yang ganjal.

“Andhika,” bisiknya ketika melihat putranya berada tak jauh di depan sana. Dengan wajah penuh darah dan napas ngos-ngosan. Ia juga yakin setelah melihat isi tas punggung milik putranya berceceran.

“Kau tetap bagian dari Kuncoro, Dharma.” Tuan besar mulai bersuara. “Aku tahu salah satu dari mereka adalah putramu, rawat dia karena masih ada informasi yang aku perlukan.”

Pria itu pergi begitu saja. Meninggalkan ruangan yang kini diselimuti oleh hawa dingin tak terelakan. Tujuh orang itu diseret paksa. Mereka dipindahkan ke ruangan khusus bersel tak jauh di belakang Dharma.

 “Bertahanlah sedikit lagi, Bapak akan membantumu,” ucap Dharma sembari bangkit.

“Bukankah kabur adalah sifat pengecut?” Andhika berucap dengan keras, setidaknya langkah Dharma terhenti. “Akan ada tiga yang mati jika Bapak membantuku keluar.”

Pria itu berusaha bangkit sembari memegangi perutnya. Kedua tangannya menggeggam jeruji. Menatap punggung ayahnya yang bergetar. Ah, mungkin sifat cengengengnya selama ini berasal dari gen orang itu.

“Aku hanya menjalankan apa yang sudah Bapak ajarkan dulu, jangan merasa bersalah jika nanti aku pergi.” Kerongkongannya terasa tercekat, bayangan Mei serta Arjuna mengusik pandangannya saat itu. “Aku titip Mei dan anak-anakku.”

Dharma tidak menoleh lagi. Ia tidak akan sanggup memandang wajah putranya. Ya, tentu saja ia tahu apa yang dimaksud. Akan ada banyak bahaya jika ia bergerak semeter saja. Bukan hanya nyawa Andhika atau dirinya yang dalam bahaya, masih ada wajah menantu dan cucunya yang menghadang. Keluarga ini, ah tidak, rezim ini tidak dapat dijadikan lelucon.

 

***

 

Seminggu tepat setelah kedatangan Andhika di tempat itu, Dharma tak berani lagi menampakkan diri di hadapan Mei ataupun Arjun. Seperti sekarang ini. Ketika ia hanya berdiri sembari mengamati menantunya itu menjemur pakaian di halaman rumahnya. Ya, istri dan anak Andhika memang sekarang menempati rumahnya.

Seharusnya ia tengah berbahagia sekarang. Sebentar lagi cucu keduanya akan lahir. Namun, justru ada sisi lain di dalam dirinya yang mengharap bahwa adik Arjuna itu tidak akan pernah terlahir. Ia takut.

Puluhan ketakutan yang muncul tepat setelah merasakan sendiri darah yang mengucur dari mulut Andhika. Tatapan menyerah atas hidup putranya. Ia rasakan sendiri, ucapan terakhir sebelum nyawa pemuda itu benar-benar habis.

Tiga hari merawat Andhika yang terluka. Tiga hari pula ia melihat putranya mendapat pukulan untuk mengaku. Menyatakan apapun yang ia tahu. Ya, Andhika mewakili kelompoknya yang tertangkap. Namun ia terdiam atas nama janji. Pemuda itu tetap mengunci mulut atas nama persahabatan sekaligus tanggung jawab. Sejak saat itu, Dharma baru mengetahui bahwa putranya adalah ketua kelompok.

Limpanya pecah, begitu yang ia tahu. Tidak ada benda tajam yang menembus kulit kecokelatan Andhika. Hanya tendangan dan pukulan saja yang ia terima. Namun, tubuh putranya sudah tidak dapat menampung lagi. Terlebih setelah organ tersebut yang terkena.

Maafkan Bapak, Mei, ucapnya dalam hati. Ia menghapus air matanya dengan kasar begitu teringat permintaan yang selalu Andhika ucapkan begitu mereka mendapat kesempatan mengobrol. Ah, bahkan hanya itu yang ia ucapkan setiap kali mereka bertemu. Menjaga Mei dan kedua cucunya. Entah mengapa, itu lebih terdengar seperti hukuman kepada seorang renta yang gagal menjadi orangtua.