cover landing

Rangga Bukan Pujangga

By mare1204


Mungkin bagi remaja tahun 2000-an jika mendengar kata Rangga terlintas sosok yang tampan, misterius, dan puitis. Namun yang satu ini berbeda. Meskipun memiliki wajah tampan, berkulit putih layaknya aktor Korea— ditambah dengan hidung mancung, alis, dan bibir yang tebal, rahang yang tegas, Rangga yang ada di kisah ini sangat jauh dari kategori misterius dan puitis.

Memang semenjak meluncurnya Film Ada Apa dengan Cinta, hampir semua remaja pria mencari-cari buku Aku, atau setidaknya kumpulan puisinya Chairil Anwar. Lalu membawanya ke mana-mana seolah arwah puitis Rangga yang diperankan oleh Nicholas Saputra merasukinya. Padahal jika disuruh membaca satu bait puisinya Chairil Anwar saja langsung minum panadol.

Begitu pun dengan Rangga yang di kisah ini. Setelah munculnya film tersebut, dia sering duduk di teras rumah sambil membaca buku. Bergaya layaknya Rangga di AADC. Lalu membuka buku tulis yang diambilnya dari fotokopi milik mamangnya, berlagak menulis satu-dua bait puisi.

"Teng ... teng ... teng ... pertama kali aku tergugah ... dalam setiap kata yang kau ucap ...." Rangga mendendangkan lagu milik Melly Goeslaw dengan suara falsnya. Pura-pura menulis bait-bait puisi, padahal dia sedang menulis utang-utang yang dimilikinya.

Setiap pagi dia selalu mendatangi warung Mpok Jannah. Entah membeli nasi uduk atau gorengan, tetapi tidak membawa duit. Warung Mpok Jannah memang terkenal dengan nasi uduknya yang lezat dan murah meriah di kalangan penduduk Kampung Utan Lestari. Kampung Utan Lestari merupakan daerah yang terletak di pinggiran Jakarta.

Rangga semakin percaya diri saat sang cewek yang sedang melewati depan pagar besi rumahnya mulai meliriknya. Lalu Rangga berusaha tersenyum dingin dengan mengingat gaya Nicholas Saputra. Sang cewek pun terjerat oleh tatapan mautnya dan berjalan melalui Rangga.

"Enggak ada yang bisa tahan dengan pesona Rangga Saputra."

Namun ritualnya itu harus dia ucapkan selamat tinggal. Uminya yang merupakan ustazah majelis taklim di kampungnya merasa malu oleh ulah anak keduanya. Sering berutang di warung-warung tetangga. Menggoda para wanita yang dia temui. Main catur dengan bapak-bapak di pos ronda. Sering bolos sekolah dan sudah lelah umi dan abahnya dipanggil ke sekolah.

“Mi, Rangga pokoknya enggak mau sekolah!” teriak Rangga saat umi dan abahnya memarahinya.

“Mau jadi apa kamu, Ga? Ya Allah, Ya Rabbi …! Kerjaannya di rumah tidur sama makan aja. Kalau sapi sama kambing digemukin bakal untung gede. Lah, kamu?” Kedua bola mata Khodijah—uminya Rangga, berkilat marah.

“Tapi Rangga, kan, enggak gemuk, Mi!” Rangga memperlihatkan perutnya yang bergelambir. Memang tidak gemuk, tetapi bukan jaminan perutnya tidak buncit.

“Umi sama Abah enggak usah mikirin masa depan Rangga. Rangga udah tahu mau jadi apa.” Rangga menaruh jari telunjuk dan jempolnya di bawah dagunya. Mungkin jika dia berada di komik, terdapat kilauan cahaya di sekitar wajahnya.

“Jangan bilang mau jadi artis?!” Khodijah melotot.

“Betul banget, Mi! Artis di counter hp-nya Encang! Dengan ketampanan wajah ini, Rangga yakin 100% bisnisnya encang bakal melejit. Ditambah goyangan maut yang akan memikat wanita.” Rangga mulai menggoyang-goyangkan bokongnya.

Bayangkan saja, uminya yang seorang ustazah terkenal di kampungnya harus melihat kelakuan anaknya yang sebelas-dua belas dengan jin ifrit. Khodijah murka dan Rangga pun pura-pura kesurupan. Sudah menjadi hal klasik, Rangga akan acting kejang-kejang jika kemauannya tidak dituruti oleh kedua orang tuanya.

Akhirnya setelah lulus SMP, Rangga dimasukkan dengan paksa ke pesantren yang baru dirintis oleh seorang tokoh masyarakat di dekat rumahnya. Dengan masuk pesantren, Rangga semakin jarang bolos sekolah. Jika bolos, dia akan menjadi mangsa kejaran Bagian Taklim dan ustaz Biro Pendidikan yang killer. Tak ada yang selamat dari kejarannya, termasuk Rangga.

Meskipun masuk pesantren, Rangga tetap saja melancarkan aksinya merayu para wanita. Pesantren Al-Barkah memang memisahkan asrama putra dan putri dengan tembok besar dan tinggi. Namun, mereka masih bisa bertemu saat keluar asrama menuju pintu gerbang keluar pesantren. Mereka harus melewati gerbang itu tiap kali pergi ke gedung sekolah yang berada di kampus II, berjarak 10 menit dengan berjalan kaki. Sedangkan asrama berada di kampus I.

Rangga selalu senang jika mendapatkan piket menjaga gerbang. Itu artinya, dia bisa dengan bebas melirik para santriwati yang lewat. Apalagi jika piket di gerbang yang dikhususkan untuk santri putra, pasti mendapatkan dispensasi tidak masuk sekolah dan pergi ke masjid untuk salat lima waktu. Rangga semakin bersemangat.

Dia akan melirik para santriwati dengan tatapan yang diklaimnya adalah tatapan tajam mata elang. Lalu tersenyum dingin. Banyak santriwati yang tergila-gila padanya. Bahkan Rangga berkali-kali dipanggil Bagian keamanan, karena sering mendapatkan surat cinta dari santriwati.

Sore yang cerah ini, Rangga bersama Nanda, teman piketnya sedang menjaga gerbang sambil mengunyah makaroni setan yang dibelinya di Al-Barkah Mart. Para santri menyebutnya makaroni setan, karena level pedasnya serasa ingin memaki sekitarnya. Mereka berdua duduk di atas bangku panjang dan di depannya terdapat meja yang penuh dengan berbagai camilan pengusir jenuh. Tentunya bukan Rangga yang membelinya. Julukan pelit bin medit tidak hilang begitu saja, meskipun dia sudah mendengar ceramah berkali-kali di masjid pesantren perihal indahnya berbagi dalam Islam.

Mereka agak jenuh, karena sedikit santriwati yang lewat. Biasanya jika Rangga piket, ada saja santriwati yang beralibi ingin pergi ke kampus II. Entah bukunya ketinggalan, atau sekadar ke wartel yang berada dekat gerbang sekolah.

Jika di luar jam sekolah dan ingin pergi keluar gerbang kampus I, para santri harus menaruh papan nama kepada santri yang bertugas menjaga gerbang. Kesempatan inilah yang dijadikan para santriwati melihat Rangga dalam jarak dekat. Rangga pun dengan senang hati melayani para wanita yang haus oleh perhatian pria tampan sepertinya. Tadinya Rangga sangat menginginkan menjadi Bagian Penerimaan Tamu, supaya bisa tebar pesona pada setiap tamu yang mengunjungi pusat informasi yang berada tak jauh dari mereka.

"Eh, Nda! Ada yang bening lewat!" bisik Rangga sambil menepuk pundak Nanda yang matanya hampir terpejam.

"Mana?" Dia mengucek matanya.

"Itu!" Rangga menunjuk seorang wanita cantik yang sedang masuk gerbang dan terlihat kebingungan.

Wanita cantik itu memakai jilbab warna peach. Dia memiliki paras yang cantik, hidung mancung, kulit putih, dan bibir yang tipis. Tetapi kedua bola mata hitam di balik kacamatanya terlihat tajam dan terkesan angkuh.

"Eh, dateng, dateng!" Rangga pun merapikan rambut dan seragamnya. Dia menutup komik yang disampul dengan kertas HVS berwarna putih berlapis-lapis, supaya tidak ketahuan oleh ustaz Bagian Pengasuhan bahwa dia membawa barang terlarang di pesantren.

"Anak baru bukan, sih? Tapi kok dateng sendirian? Biasanya anak baru yang mau daftar dateng sama orang tuanya," bisik Nanda.

“Udah, sssttttt …! Pokoknya ini jatah gue. Lo diem aja.” Rangga langsung memasang senyuman termanis miliknya. Namun, Nanda melihatnya seperti orang yang menahan cepirit.

"Assalamualaikum. Maaf, mau nanya. Kantor pimpinan di sebelah mana ya?" tanya wanita cantik itu.

"Oh, mau ketemu pimpinan? Biar saya yang antar." Rangga dengan semangat langsung mengantarnya menuju kantor pimpinan.

Rangga berdiri dari posisi duduknya dan berjalan ke samping wanita tersebut. Namun wanita itu langsung menjaga jarak, karena Rangga terlalu mendekatinya. Nanda tertawa cekikikan. Baru pertama kali ada wanita yang tidak acuh terhadap pria tampan itu. Biasanya para wanita melompat kegirangan hanya dengan mendapatkan senyuman singkat dari Rangga. Padahal kalau wanita-wanita tersebut tahu kenistaan yang melekat pada Rangga, Nanda tak yakin kalau mereka tetap tergila-gila pada pria tengil itu. Pengecualian bagi yang menomorsatukan ketampanan. Mamam tuh ganteng!

"Anak baru ya? Biasanya kalau mau daftar itu datang ke Bagian Pengasuhan dulu. Terus kalau mau ketemu pimpinan harus janji dulu, tapi tenang aja. Saya bakal lobby sekertarisnya. Apalagi kalau yang dateng secantik Eneng." Rangga menyunggingkan senyuman termanisnya sambil tetap berjalan di samping wanita itu menuju kantor pimpinan pesantren.

"Bukan, saya disuruh dateng ke sini langsung dari anak pimpinan. Kebetulan saya ditawari ngajar di sini," jawab wanita cantik itu dengan nada dingin tanpa menatap wajah Rangga yang senyumnya mulai memudar.

Mati gue! Ternyata dia ustazah!

***