cover landing

Querencia

By Yuniar Christy


Prolog

“Sat, kamu udah hapal kalimatnya kan?” tanya Rudi memulai, tangannya mengajak tangan Satria berjabatan.

“Tenang, udah di luar kepala ini!” jawab Satria santai.

Lalu Satria mengambil napas panjang sebelum mengucapkan kalimat sakral yang wajib diucapkan mempelai pria pada prosesi akad nikah.

“Saya terima nikahnya dan kawinnya…”

Satria menoleh ke samping, menatap perempuan berambut hitam pendek yang balik menatapnya dengan pandangan bertanya. Lalu ia melanjutkan kalimatnya, “Agnes Putri binti Suprapto dengan maskawinnya yang tersebut tunai!” Satria menyelesaikan sisa kalimatnya dalam satu tarikan napas, menghasilkan tepukan tangan meriah dari orang-orang yang duduk di sekelilingnya, kecuali Agnes yang hanya memberengut kesal.

“Sah?” tanya Rudi, melengkapi proses akad nikah itu dengan pertanyaan wajib.

“SAH!” seru mereka kompak. Lalu mereka tertawa bersama terutama Satria yang tertawa lebih keras dari lainnya.

“Nah, biar afdol, sang suami harus membuktikan cintanya kepada sang istri!” seru Rudi, membuat baik Satria maupun Agnes terbelalak kaget. Karena suasana mendadak hening, Rudi pun menjelaskan maksud perkataannya.

“Itu loh, bilang ‘I love you’ kayak di sinetron-sinetron.”

Orang-orang di sana langsung ber-oh ria secara berjamaah, sementara Satria justru tersenyum lebar. Agnes masih saja dengan ekspresi cemberutnya. Sepertinya ia tidak menyukai ini semua.

 “Agnes, I love you!” ucap Satria tanpa aba-aba, ia bahkan mengecup pipi Agnes singkat sebelum berlari melesat menuju rumahnya karena adzan Magrib sudah terdengar, yang lain juga langsung membubarkan diri, sama sekali tak terhibur oleh tindakan spontan Satria barusan. Sementara Agnes membeku di tempatnya duduk, dalam hati memaki-maki cowok menjengkelkan itu. Ia lalu bangkit berdiri untuk pulang karena sekarang hanya tinggal ia seorang diri di lapangan bermain.

***

01

 

Agnes sedikit gugup saat memasuki gedung sekolah barunya. Bagaimana tidak gugup? Ini adalah hari pertamanya bersekolah dengan seragam putih biru. Di sekelilingnya banyak murid baru seperti dirinya yang berjalan memasuki gedung dengan seragam dan atribut lainnya yang terlihat baru. Di antara banyaknya murid baru itu, tidak ada satu pun wajah yang ia kenali. Teman satu SD-nya dulu tidak banyak yang melanjutkan ke SMP ini. Itu sebabnya Agnes berharap bisa menemukan sosok yang ia kenal betul akan bersekolah di SMP yang sama dengannya. Seseorang yang sebenarnya ia benci tapi tidak sebenci itu hingga mengharuskannya menjauhi orang itu. Bagaimanapun, orang itu adalah satu-satunya orang yang ia kenali di SMP ini. Bahkan dia telah berdiri di depan salah satu ruang kelas, seolah sedang menunggu Agnes.

“Hai, Nes! Ternyata kamu beneran sekolah di sini!” sapa murid laki-laki itu dengan cengiran lebar. Celana birunya berada di atas lutut, tidak seperti murid baru lainnya yang panjangnya pas di lutut atau bahkan di bawah lutut. Benar-benar nekat di hari pertama sekolah.

“Sok keren banget sih kamu? Kamu nggak inget apa kata Pak Kamto dulu sewaktu MOS? Celana seragam murid laki-laki harus pas di bawah lutut!”

Murid laki-laki itu malah tertawa mendengar omelan Agnes yang sudah seperti guru piket menegur murid yang melanggar aturan. Kalau tidak sedang di sekolah, ia mungkin sudah mencubit pipi gadis di depannya karena gemas. Dengan potongan rambut bob dan poni lurus di depan seperti itu, membuat teman semasa kecilnya itu terlihat imut. Ia sangat suka melihat Agnes berpenampilan seperti itu, jauh dari kesan judes seperti yang ditunjukkannya setiap kali kesal atau marah. Agnes diam tanpa ekspresi saja sudah terlihat judes, apalagi kalau marah. Menakutkan seperti emak-emak penjual sayur di kompleksnya yang lagi nagih utang.

            “Omong-omong, Sat. Kamu di kelas mana?” tanya Agnes, mendadak lupa akan kekesalannya tadi.

“Kepo ya?” tanya Satria dengan nada menggoda.

Agnes memberi tatapan apaan-sih-kamu-please-deh dan memaksa Satria untuk segera menjawab pertanyaannya. Satria akhirnya menyerah dan menunjuk papan penunjuk kelas yang ada di atas pintu di belakangnya. Di papan kayu kecil berukuran 30x40 cm itu tertulis ‘VII-2’ dengan cat putih yang masih baru.

“Ini kelasku. Kalau kelasmu?” tanya Satria, tidak ada lagi tatapan menggoda di matanya.

“Oh, berarti kelas kita sebelahan. Aku di kelas VII-3. Yaudah ya, aku ke kelas dulu. Bye, Satria!” kata Agnes sambil mengangkat tangan kanannya tanda perpisahan, seperti yang biasanya ia lakukan jika akan berpisah dengan temannya itu.

Satria menepuk tangan Agnes sekali sebagai balasan, setelah itu ia tersenyum dan langsung masuk ke kelasnya.

***

Satria sedang nongkrong bersama teman-teman kelasnya saat dua orang siswi berjalan mendekati mereka. Setiap murid SMP ini menggunakan badge nama dengan warna berbeda sesuai dengan tingkatan kelas mereka. Kedua siswi itu mengenakan badge nama berwarna kuning, menandakan mereka murid kelas sembilan.

“Satria, ya?” tanya cewek berkacamata ragu-ragu. Satria memandang teman-teman yang duduk di sampingnya, menanyakan dengan bahasa isyarat haruskah ia membalas sapaan itu. Teman-temannya memberikan kode untuk membalas sapaan sang kakak kelas. Takutnya kalau tidak disapa balik, justru menimbulkan masalah. Maklum mereka masih trauma mendapat hukuman dari senior sewaktu MOS dulu.

“Iya, Mbak? Ada apa ya?” Satria akhirnya memberi respons. Kedua kakak kelas itu langsung heboh dengan saling tertawa genit. Satria yang melihat hal itu hanya bisa mengernyit heran.

“Ini buku catatan Matematika-ku sewaktu kelas tujuh. Semoga bisa membantu belajarmu ya, Dek!”

Satria hanya melongo ketika sang kakak kelas menyodorkan sebuah buku bersampul plastik. Seingatnya ia tidak pernah meminjam buku catatan ke kakak kelas itu. Jangankan meminjam, kenal aja enggak.

“Udah terima aja, Dek. Sebagai kakak kelas udah kewajiban kita untuk membantu adek kelas, apalagi kalau adek kelasnya ganteng kayak kamu,” celetuk kakak kelas satunya, rambutnya dikucir kuda. Lalu keduanya cekikikan gak jelas. Satria semakin keheranan dengan tingkah kakak kelasnya itu.

Lalu demi mengusir kedua cewek itu secara halus, Satria mengambil buku catatan yang ia yakin isinya bukan hanya catatan Matematika. Satria menduga kakak kelas itu menyisipkan surat cinta atau semacamnya di dalamnya. Bukannya Satria geer, tapi sejak masa MOS sampai sekarang selalu saja ada cewek-cewek centil yang modus ingin menarik perhatian Satria.

“Terima kasih, Mbak. Semoga beneran membantu ya bukunya,” kata Satria sopan.

Kedua cewek itu lalu melenggang pergi setelah sebelumnya kembali mengeluarkan cekikikan yang membuat Satria geli.

“Cieeee… yang abis disamperin fans!” seloroh Danu yang sedari tadi hanya bisa melongo melihat kejadian di depan matanya, tapi kini langsung berubah heboh setelah kedua kakak kelas tadi pergi.

Fans gundul-mu! Mereka kan cuma ngasih pinjem buku catatan,” balas Satria.

“Gak usah sok jaim deh, lagian mereka udah pergi juga. Aku tahu kamu diem-diem juga seneng kan diperhatiin kakak kelas yang cantik?”

Tanpa menghiraukan perkataan Danu, Satria menarik sejumput rambut Agnes saat cewek itu lewat tepat di depannya. Kepala Agnes tertarik ke samping dan otomatis langkah cewek itu terhenti. Saat mengetahui siapa pelaku penarikan rambutnya, Agnes langsung mengeluarkan tatapan maut yang seketika membuat Danu bergidik ngeri. Beda dengan Satria yang justru tersenyum semringah, usahanya untuk menarik perhatian Agnes berhasil.

“Ngapain lagi sih, Sat?” tanya Agnes ketus.

Danu yang sempat menaksir Agnes di masa MOS mendadak ilfil mengetahui kejudesan Agnes itu. Ia tidak menyangka cewek manis seperti Agnes ternyata bisa judes juga. Tapi sepertinya cuma Satria yang tidak keberatan dengan perilaku Agnes, buktinya cowok ganteng itu malah menyodorkan buku catatan Matematika milik kakak kelas tadi.

“Nih, buat kamu. Kemarin kan kamu bilang kamu susah memahami pelajaran Matematika. Mulai sekarang belajarnya pake ini aja. Dijamin langsung ngerti, deh!” ujar Satria dengan penuh percaya diri, padahal dirinya sendiri belum sempat membuka dan mempelajari isi buku itu.

Agnes menyipitkan kedua matanya. Ia memandangi buku itu dan wajah Satria yang masih menampilkan senyuman semringah secara bergantian. Agnes bertanya dalam hati, apa cowok itu gak capek sih senyum terus?

“Oke, makasih,” jawab Agnes singkat setelah mengambil buku dari tangan Satria. Ia lalu segera beranjak pergi dari hadapan Satria.

Danu yang lagi-lagi hanya bisa jadi penonton, menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah teman sekelasnya itu.

“Jahat kamu, Sat. Itu kan buku dipinjemin khusus buat kamu, malah dikasihin ke Agnes. Mana dia galak banget lagi! Kalau kakak kelas tadi tahu, wah bisa gawat ini,” omel Danu.

“Ya gak apa-apa. Kan demi Agnes hehe,” jawab Satria sambil menepuk pundak Danu pelan.

***