PROLOG
My life as an editor has been started right here.
Sebagai seorang editor naskah, aku mengambil kesimpulan pribadi bahwa semakin unik sifat dan kehidupan si penulis, maka semakin keren tulisan yang dihasilkan. Semakin gila imajinasinya, semakin menggemparkan karyanya. Setidaknya, itulah yang sering membuatku takjub selama tiga tahun menjalani pekerjaan ini.
Sebenarnya, aku hanyalah sebutir beras yang diberikan nyawa oleh Tuhan—bersyukur bukan kentang buluk—gamsahamnida, God. Sayangnya, aku hanya dianugerahi sepersekian persen kesabaran. Jadi, mengapa diriku bisa menjadi editor yang harusnya memiliki level sabar tingkat dewa? Itu juga menjadi pertanyaanku selama ini.
Mengenang beberapa tahun lalu, setelah mengantongi beberapa sertifikat pelatihan menulis, lomba, dan sertifikat penyunting naskah, aku menyebar undangan surat lamaran kerja ke beberapa kantor penerbit. Syukurlah ada satu penerbit yang akhirnya menerimaku. Bukan karena berhasil mengalahkan kandidat lain yang berpotensi. Tapi, karena saat itu aku adalah pelamar kerja satu-satunya yang melamar menjadi penyunting di sana! Well, memang tidak banyak orang yang mau menghabiskan waktu di depan komputer berjam-jam melihat dan menyunting deretan tulisan-tulisan panjang, kan?
Lalu, apakah menjadi editor itu mudah? Tentu saja. Mudah sakit mata, mudah kelelahan, mudah uring-uringan ketika dikejar deadline, mudah lupa dengan jam makan siang, dan mudah naik pitam melihat kelakuan para penulis yang tidak menunjukkan sikap kooperatif mereka. Memanjangkan sabar, itu sudah pasti kulakukan setiap saat.
Menjadi editor itu memang melelahkan mata, tapi anehnya pekerjaan ini juga sekaligus menghangatkan hati. Ketika menelusuri tulisan mereka satu per satu, tak jarang di situlah aku menemukan makna tersirat dari setiap karya yang dihasilkan, seakan mereka tengah menceritakan warna-warni pelangi maupun dahsyatnya badai kehidupan yang tengah dijalani. Melalui pekerjaan inilah aku akhirnya tahu bahwa tulisan adalah media, tulisan adalah cara bagi mereka untuk mengurai padatnya lalu lintas di dalam kepala. Sehingga, apa yang tidak terucap oleh bibir pada akhirnya dapat diutarakan melalui serangkaian kalimat. Benar, tak jarang hal ini membuatku bersimpati.
Satu hal penting yang perlu diingat adalah jangan pernah untuk sengaja menyakiti hati seorang penulis atau namamu akan abadi di dalam karyanya—dalam keadaan menderita, tentunya—eaak!
Namun, menurut Pak Mustofa, "Setiap orang bisa menjadi guru dan setiap tempat bisa menjadi ruang kelas.” Jadi, kalau ada orang yang mengganggu irama dan frekuensi ketenangan batin kita, ya anggap saja lagi belajar. Susyahh, Pak! Tapi, okelah. Bisa dicoba.
Baik, kalau begitu perkenalkan, aku Edlyn Elleanore Fidelya, editor naskah di Penerbit FavoREAD yang akan mengantar para penulis menuju pintu kesuksesan mereka masing-masing.
***
Bab 1
"WANDAA!" Teriakan Bu Siska—Kepala Editor kami—bahkan bisa terdengar dari lantai atas hingga ke Kutub Utara, membelah gunung es menjadi dua.
"Banyakin doa, deh, Wan," saranku sembari tertawa pada Wanda dari meja di sebelahnya.
"Gimana, dong? Tamat riwayatku kali ini. Kalau hari ini hari terakhirku kerja, tolong urus anak-anakku (penulis asuhan), ya,” ujar Wanda meringis. Suara Bu Siska memang nyaring, wajar kalau perempuan berambut panjang bergelombang itu terlihat gugup. Aku yang tadinya ingin meledek, berubah jadi ikut khawatir.
"Ucapan adalah doa, Wanda. Bicara yang baik-baik aja. Masuk dulu sana." Pak Mustofa menyuruh Wanda segera masuk ke ruangan Bu Siska sebelum Kepala Editor kami itu semakin meradang. Bapak paruh baya yang menangani naskah bertema religi ini sungguhlah obat penenang kami. Beliau kerap kali memberikan wejangan-wejangan pada pemuda-pemudi seperti kami yang sering diterpa kerikil kehidupan.
Akhirnya, Wanda naik ke lantai tiga menuju ruang Bu Siska. Sedangkan Axel, si raja desain itu dengan tenang bergeming di kursinya. Anak itu. Bisa-bisanya dia menutup telinga dengan headphone. Aku beranjak dari kursi dan menuju ke arahnya yang berjarak hanya satu meter di belakang mejaku.
"Helooo!" Kubuka headphone hitam itu dari telinganya dan dia menatapku heran. "Nggak denger suara Bu Siska tadi?" lanjutku bertanya.
"Denger. Tapi kan bukan gue yang dipanggil. Wanda pasti punya jurus membela diri. Tenang ajalah," ucapnya dengan tenang dan kembali memasang headphone-nya tanpa dosa. "Jangan ganggu gue ya, lagi fokus desain kover," tambahnya.
"Edyaan. Karo konco dewe ora peduli, blasss! (Gila. Sama teman sendiri nggak peduli sama sekali!)” ujarku bersungut-sungut.
"No bad language, please (Tolong jaga ucapan.)," kata Axel dengan nada datar. "Meski nggak ngerti, tapi gue tahu lu lagi mengutuk gue. Enyah."
"Siapa yang mengutuk? Saya cuma terkesima dan salut akan konsistensi Anda atas nama ketidakpedulian terhadap sesama,” tegasku melipat kedua lengan di depan dada.
"Bodo."
Cih. Memang Axel manusia berhati gletser. DINGIN. BEKU. KERAS. BATU. Tapi, aku yakin dia sebenarnya orangnya penyayang—Ah , mustahil. Ya sudah. Tinggalkan saja si gletser dengan komputernya itu.
Aku berjalan mondar-mandir di ruangan yang bagian sisinya dikelilingi oleh jajaran rak berisi buku terbitan kami. Tadinya, aku pikir Wanda hanya akan ditegur karena suatu hal. Tapi, semakin dipikirkan, aku semakin cemas. Aku cukup khawatir dia akan di-ultimatum oleh Bu Siska. Bagaimana jika Wanda dikeluarkan? Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku menarik napas panjang dan mencoba untuk tetap tenang.
Lima belas menit berlalu, Wanda pun membuka pintu ruangan kami. Meleset dari dugaanku, perempuan itu justru muncul dengan senyum menghiasi wajahnya. "Dlyn, giliranmu," kata Wanda.
Eh?
Seketika terbitlah rasa heran. Bukannya tadi dia masuk dengan wajah cemas? Lalu, kenapa sekarang berubah cerah ceria tanpa beban? Wah, perutku bergejolak. Tiba-tiba perasaan tidak enak mulai bergumul dan memuncak. Baiklah, saatnya ke kandang singa, eh, ruangan Bu Siska.
Selain ruangan Kepala Editor, di lantai tiga juga terdapat ruangan digital marketing. Aku memantapkan hati terlebih dahulu sebelum menghadap Bu Siska, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya amaaat perlahan. Kubuka pintu lebar warna cokelat muda itu. Segera setelah masuk, kututup pintu rapat-rapat, berharap suara Beliau tidak akan terdengar terlalu kencang ketika teriak nanti.
Bu Siska, wanita bertubuh subur dengan rambut dicepol rapi serta bergantung kacamata berwarna merah di hidungnya yang lumayan tinggi itu mempersilakanku duduk.
"Ibu cari saya, Bu?" tanyaku.
"Menurut kamu??" tanya Bu Siska dengan mata melotot.
Belum apa-apa sudah salah pertanyaan, nih. "Ada apa, ya, Bu?"
"Edlyn. Saya nggak habis pikir, ya, sama Wanda. Kenapa sampai ada lima penulis belum setor naskah? Ini sudah hampir dua bulan lewat dari tanggal deadline. Apa saja kerjaan dia itu? Bagaimana saya mau minta bantuan dia, coba?" terang Bu Siska to the point, sembari memasukkan potongan brownies cokelat ke mulutnya.
"Engg, diminum dulu, Bu, air putihnya," ucapku menyodorkan segelas air putih yang ada di meja kaca hitamnya.
"Oh, ya, makasih."
"Tapi, memang banyak penulis yang sering terlambat nyetor naskah, Bu. Wanda juga pasti sudah berusaha untuk menagih ke anak-anaknya,” ujarku membela Wanda.
"Iya, saya tahu. Nggak perlu kamu kasih tahu saya lagi."
Glek. Tadi, nanya. Sekarang, katanya sudah tahu. Kalau bukan atasan, ya pasti sudah ku... "Ah, begitu, Bu," jawabku memasang senyum palsu.
Bu Siska mengerutkan dahi dan merekatkan kedua tangannya. " Maka dari itu, sudah saya putuskan. Jadi begini, Edlyn. Langsung saja, ya. Maksud saya memanggil kamu ke sini adalah karena kantor pusat sekarang meluncurkan aplikasi novel online, tolong kamu menyambi sebagai editor akuisisi. Sering-sering main di aplikasi menulis kompetitor buat dapatkan penulis yang berpotensi. Tolong kamu rekrut banyak penulis, terutama yang famous. Dengan begitu, banyak pembaca royal yang akan memberikan kita keuntungan melalui pembelian koin. Ya, kalau penulisnya nggak famous-famous amat juga boleh. Asal kamu didik dan bimbing mereka biar rajin menulisnya, karyanya bisa ramai pembaca, tulisannya tidak berantakan kayak pelajar tawuran dan pastikan bisa masuk Top Ranks. Lalu, pusat akan kasih kamu bonus."
Bukannya tidak senang ketika mendengar kata ‘bonus’ dari mulut Bu Siska, sebab aku tahu Beliau selalu menepati janji jika menyangkut persoalan upah dan bonus. Akan tetapi … "Bagaimana dengan naskah penulis buku lain yang perlu saya tangani, Bu? Lagi pula, ada banyak aplikasi menulis lain yang sudah populer. Apa aplikasi kita bisa bersaing?" tanyaku supaya Bu Siska mengurungkan niatnya menyuruhku fokus pada tugas baru ini.
"Memang. Memang ada buaanyaak aplikasi menulis lain di luar sana. Saya tahu itu, Edlyn. Lantas kenapa? Kita harus menyerah, gitu? Justru, harusnya kita bangga karena bisa melahirkan wadah menulis lokal. Ini adalah karya anak bangsa, jadi kita nggak boleh ketinggalan sama aplikasi dari luar. Pantang menyerah! Itu baru benar. Betul, tidak?"
Aku melihat ada loncatan brownies yang jatuh ke meja karena keluar dari mulut Bu Siska. Kuambil selembar tisu dan kulap remahan itu dengan pasrah. Begini amat ya, kerja sama orang. "Bener banget, Bu. Mantap djiwa. Tapi, kembali lagi. Bagaimana dengan naskah penulis buku yang saya pegang, Bu?"
"Masalah naskah penulis yang kamu tangani, kan tinggal beberapa lagi. Bisalah disambi." Bu Siska mengatakannya seolah memegang naskah penulis adalah persoalan mudah. Aku tak mampu mengatakan apa pun hingga hanya bisa tersenyum manis dan kecut bercampur pahit. "Ditambah ... " Kurasakan kerongkonganku kering. Bu Siska menggenggam tanganku erat. "Karena kamu yang saya rasa paling pandai membangun komunikasi di antara editor lainnya, tolong bantu keponakan saya, ya. Biar tulisannya bisa lebih baik dan enak untuk dibaca, juga cepet dikontrak. Kerjaan ini dihitung berbeda, saya akan beri hadiah besar kalau kamu berhasil membimbing keponakan saya itu menjadi penulis yang karyanya minimal bisa dinikmati. Syukur-syukur kalau bisa masuk Top Ranks dan menghasilkan uang. Apalagi terkenal! Wuaahh, saya tantenya pasti bangga banget!" Tawa lebar terpampang jelas di wajah Bu Siska.
Haaa?! Apa aku tidak salah dengar?
"Nanti saya kasih datanya, ya. Ini dihitung berbeda, karena bonusnya langsung dari saya. Tadi Wanda juga sudah rekomendasiin kamu." Bu Siska mengedipkan mata. "bisa ya, Dlyn." Dengan suara dalam, Bu Siska melotot kepadaku. Ini bukan pertanyaan, tapi pernyataan! Dan ini bukan permintaan, tapi pemaksaan!
Tidak, tidak bisa! Aku harus menolak. Aku masih banyak kerjaan. Tidak bisa menghabiskan waktu hanya untuk satu orang saja. Tidak, tidak, tidak. "Siapp, Bu! Saya akan berusaha sebaik mungkin." Heh, kenapa mulut ini? Tolak, wey!
"Nah, gitu dong. Bagus itu." Bu Siska menjulurkan tangan hendak berjabatan denganku. Dengan pasrah, aku menyambut tangannya yang gempal dan empuk itu. “Deal. Selamat bekerja, Edlyn.” Beliau kini menatapku dan menunjuk ke arah pintu dengan anggukan kepalanya, isyarat menyuruhku meninggalkan ruangannya. "Silakan, pintunya di sebelah sana."
Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk menolak. Pantas firasatku tidak enak! Ini semua gara-gara Wanda!
***
Glosarium:
Editor akuisisi: editor yang bertugas untuk mencari naskah, menyeleksi naskah yang layak, dan merekrut penulis untuk diajak bekerja sama.