cover landing

Project Revenge

By JunaWiwa


Girah, Abad ke-11

Malam belum pernah terasa begitu mencekam bagi pasangan pengantin baru, Bahula dan Ratna Manggali. Belum genap seminggu setelah pesta pernikahan keduanya digelar selama tujuh hari tujuh malam, badai mengentak Desa Girah, tempat tinggal mereka. Namun, dinginnya malam itu bukan karena hujan deras yang mengguyur, bukan pula karena angin kencang yang terus memaksa keduanya untuk tumbang. Badai di desa ini tak ada apa-apanya dibandingkan badai dalam hati Manggali, dan itu semua karena ulah Bahula.

Wajah cantik itu tak hanya basah oleh air hujan, tapi juga air mata. Tubuh mungil Manggali tak sanggup berdiri tegak di tengah terjangan badai. Satu tangannya berpegangan erat pada dahan pohon, tangan lain memegang keris pusaka bertatahkan batu merah delima milik ibunda tercinta, Calon Arang. Bagian tajam keris itu mengarah pada Bahula, mencegahnya mendekat. Meski sekujur tubuh Manggali gemetar kedinginan, matanya menatap nyalang, antara benci dan kecewa.

Bukan todongan keris yang membuat takut Bahula, melainkan tubuh goyah Manggali yang sewaktu-waktu bisa terhuyung jatuh ke sungai di belakangnya. Kalau tak ada jeram bergolak itu, Bahula pasti akan melompat memeluk sang istri, tak peduli meski keris itu mengoyak tubuhnya. Perasaan bersalah yang demikian besar membuat mati tak lagi menakutkan bagi Bahula.

"Diajeng," bujuk Bahula ketakutan. "Tolong dengarkan penjelasan Kangmas."

"Tidak ada yang perlu dijelaskan!" jerit Manggali penuh dendam. "Kangmas pembohong!"

"Kangmas memang salah. Tapi demi para Dewata... tidak sedikit pun terbersit keinginan untuk mengelabui Diajeng."

"BOHONG!"

"Kangmas tidak bohong! Terlepas dari semua yang sudah Kangmas lakukan, Kangmas benar-benar mencintaimu, Diajeng Manggali! Kumohon percayalah!"

Manggali memang menangkap kesungguhan dari tatapan Bahula, sehingga ia yakin cinta lelaki itu padanya memang tak perlu diragukan. Tapi bukan ketulusan cinta yang saat ini ia harapkan dari suaminya.

Balas dendam. Ia harus membalas dendam pada orang-orang di kerajaan ini yang telah berbuat tidak adil pada Calon Arang—sang ibunda, juga pada dirinya. Meski harus mati, Manggali bersumpah akan bergentayangan demi memastikan orang-orang itu menanggung karmanya, dimulai dari Bahula.

"Kangmas sungguh-sungguh mencintaiku?" Mata berbentuk buah badam(almond) milik Ratna Manggali menatap Bahula penuh selidik.

"Demi Tuhan, Diajeng. Cinta Kangmas tulus. Apa pun akan Kangmas lakukan untuk membuktikan."

"Baiklah, Kangmas. Manggali percaya."

Suara Manggali yang terdengar lebih tenang membuat Bahula lega.

"Karena itu, Manggali tahu cara membuat hidup Kangmas menderita... untuk selamanya!"

Tatapan lega Bahula berubah bingung, bahkan saat Manggali memutar arah keris di tangannya. Keris itu kini tak lagi menodong Bahula, melainkan mengarah pada Manggali.

"Diajeng ...."

Dalam gerak cepat, Manggali menghunjamkan pusaka itu ke lehernya sendiri.

"DIAJENG!"

Teriakan histeris Bahula mengalahkan deru angin yang memekakan telinga, sekaligus menyunggingkan senyum kemenangan di bibir Manggali. Perempuan itu terhuyung ke sungai yang sedang mengamuk. Bahula mendekat secepat mungkin, berusaha meraih istrinya sebelum arus sungai terlebih dahulu menangkap tubuh mungil itu.

Dan ia gagal.

Sungai menelan Ratna Manggali. Tusukan keris, dinginnya air, kerasnya arus, dan ganasnya jeram sama sekali tak mengganggu perempuan yang sedang di ambang kematian itu. Raut tersiksa Bahula serta raungan kesedihannya merupakan hiburan terbaik menjelang kematian Manggali. Mulai sekarang, lelaki itu takkan pernah hidup tenang. Rasa bersalah dan patah hati akan terus menggerogoti jiwanya.

Ah ... betapa nikmatnya membalas dendam,” batin Manggali, tapi ia belum selesai. Ini cuma awal ... dari segalanya.

***

Surabaya, Tahun 2009

Gedung Fakultas Ilmu Sosial sore itu sudah sepi, terutama lantai dua dan tiga karena nyaris tak ada tanda kehidupan di sana. Semua aktivitas perkuliahan memang sudah berakhir sekitar satu jam lalu dan tak ada yang mau berlama-lama berada dalam gedung berarsitektur kuno yang sepi itu. Kalaupun masih ada aktivitas, itu pasti di ruang perkuliahan berkode 302, di mana seorang mahasiswa berkaca mata bulat sedang asyik menggoreskan pensil 2B untuk memenuhi halaman buku sketsanya.

Damar Prasetya. Meski bukan makhluk astral penunggu gedung suram Fakultas Ilmu Sosial, keberadaannya nyaris tak disadari para dosen dan mahasiswa. Mungkin karena ia canggung dan penyendiri, mungkin juga karena penampilan dan prestasinya kelewat tidak menonjol. Di kampus terkenal seperti Universitas Kahuripan yang berisi mahasiswa-mahasiswi pilihan, eksistensi Damar memang tak ada artinya. Ia bukan anak orang kaya, tidak tahu cara mendandani diri agar lebih enak dilihat, dan tidak pintar. Bahkan Damar sendiri masih tak percaya bisa lolos ujian masuk kampus yang konon sulit ditembus ini. Namun sedikit keberuntungan tak lantas membuat hidupnya yang akrab dengan kesialan itu membaik.

Justru makin sial.

Damar baru sadar telah salah memilih jurusan. Ilmu Komunikasi sungguh tidak cocok untuknya yang terlalu pendiam dan susah berbicara lancar. Kebanyakan mata kuliahnya bermetode presentasi dan itu membuat Damar tertekan. Untungnya ia masih punya cara untuk meredam tekanan. Saat sedih dan kecewa melanda, membuat ilustrasi di buku sketsa akan menghiburnya.

Damar menghentikan goresan pensilnya untuk menggaruk kepala, membuat rambut yang tak pernah bisa rapi itu makin teracak. Kepala dengan helai-helai berantakan itu pun menoleh pada jam di dinding kelas. Dua puluh menit lagi waktunya menjemput Nana, adik perempuan Damar yang masih duduk di kelas dua belas. Hari ini Nana pulang lebih sore karena harus berlatih bersama anggota band-nya yang akan tampil di festival budaya Jepang SMA Manunggal sekolahnya akhir pekan ini.

Dengan cepat Damar mengemasi barang-barang, lalu keluar dari kelas untuk turun ke lantai satu. Kampus benar-benar sudah sepi saat ia berjalan ke tempat parkir motor. Aktivitas cuma terlihat di beberapa area seperti kantin dan Koperasi Mahasiswa.

Kalau pandangan atau fokus bisa teralihkan oleh kelebatan orang, maka tak ada yang menoleh saat Damar lewat. Bahkan mahasiswa bertubuh gempal yang baru menabrak bahunya pun tetap berlalu santai, seolah tidak merasa telah menyenggol seseorang. Mungkin si gempal memang tak melihat mahasiswa berkaca mata bulat yang sudah sebelas dua belas dengan makhluk gaib itu. Yah, sepertinya memang butuh kepekaan sosial (atau indra keenam?) yang cukup tinggi untuk mengetahui keberadaan Damar. Ironisnya, Damar sendiri merasa lebih baik dianggap tidak ada.

"Mending begini daripada di-bully," gumam Damar sambil membenahi kacamata yang miring dan mengangkat ransel yang terjatuh akibat tabrakan dengan si gempal.

Motor matic hitam yang dikendarai Damar keluar dari tempat parkir dan mulai melaju santai menuju SMA Manunggal yang letaknya tak jauh dari kampusnya. Damar sampai di depan gerbang sekolah Nana tepat jam empat sore. Hanya selang beberapa detik setelah motornya berhenti, sosok mungil Nana terlihat berjalan mendekat. Damar menangkap masalah dari ekspresi adiknya. Mata Nana tak membulat indah dan penuh binar seperti biasa. Pipi putih meronanya menggembung, bibir merahnya mengerucut, tampangnya bersungut-sungut. Di belakang Nana, seorang siswa dengan wajah panik, mengikutinya terburu-buru.

"Nana-chan! Nana-chan, tunggu!" seru siswa yang Damar kenal sebagai pacar putus nyambung Nana sejak kelas sepuluh.

Nana tak menggubris, langsung menyambar helm yang disodorkan Damar dan memakainya cepat-cepat.

"Oh!" Pacar Nana berseru kaget melihat Damar, seolah baru menyadari keberadaannya. "Sore, Mas Damar."

"So—sore, Raka." Damar menjawab canggung sambil berusaha menahan motor yang bergoyang hebat karena Nana naik ke boncengan dengan penuh amarah.

"Boleh saya bicara sebentar dengan Nana-chan, Mas?" Raka memohon izin.

"Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan!" bentak Nana dengan suara galak.

"Tapi, Nana-chan ...."

"Ayo, Mas, kita pulang," pinta Nana dengan suara manja.

"Ta—tapi, Dek Nana ...."

"MAS! JALAN!"

Damar buru-buru menjalankan motor sambil melempar cengiran meminta maaf pada Raka yang terus menatap dengan wajah memelas.

Sepanjang jalan, Nana tak henti-henti menyanyikan lagu berbahasa Jepang dengan olah vokal maksimal. Suaranya nyaris mengalahkan bisingnya lalu lintas dan deru angin, membuat pemotor di sekitar mereka menoleh bingung. “Lagu Jepang itu pasti akan dipentaskan Nana dan band-nya akhir pekan nanti,” pikir Damar. Band bentukan Nana dan teman-teman komunitas jejepangannya bernama Mayonnaise, khusus memainkan lagu-lagu berbahasa Jepang terutama soundtrack anime.

Sesekali Damar melirik adiknya lewat spion motor. Seperti biasa, tiap kali bermasalah dengan Raka, Nana tak pernah terlihat sedih, seakan hubungan keduanya tak berarti apa pun. Mungkin karena Nana tahu, ia takkan pernah kehilangan cinta Raka yang selalu memujanya. Kalaupun Raka tak lagi mengejar, masih banyak cowok-cowok lain yang mengantri perhatian Kencana Pramitha alias Nana.

Ya. Damar dan Nana memang seperti bumi dan langit. Yang satu nyaris tak terlihat, yang lain merupakan pusat perhatian. Yang satu sumber segala kegagalan, yang lain sumber prestasi. Yang satu redup, yang lain gemerlap. Berbanding terbalik dengan Damar, Nana cerdas, percaya diri, multitalenta, dan menarik bagi kebanyakan orang. Meski begitu, Damar tak pernah mencemburui segala kelebihan yang dimiliki adiknya.

"Ada masalah apalagi sih, Dek? Sama Raka?" Damar memberanikan diri bertanya ketika motor berhenti di lampu merah.

"Biasa, Mas. Dia ganjen! Sengaja ngasih perhatian ke cewek lain yang ngerayu dia."

Setahu Damar, Raka bukan tukang tebar pesona. Cowok itu cuma tak bisa bersikap tegas pada cewek yang mencoba merebutnya dari Nana.

"Dasar kegatelan! Benar kata Mama, cowok tuh kayak kucing. Udah dikasih makanan mahal, tetep aja nggak bisa nolak ikan asin," omel Nana berapi-api dengan suaranya yang bernada tinggi dan menggemaskan seperti suara cewek anime. "Semua cowok memang brengsek!"

"Se—semua, Dek?"

"Eh—” Nana meralat buru-buru, “kecuali Mas Damar, sih."

Raut wajah Nana yang semula penuh kekesalan, berubah riang. Jantung Damar sedikit berdebar melirik perubahan ekspresi adiknya dari kaca spion. Senyum lebar dan mata bulat berbinar itu membuat Nana tampak berkali-kali lipat lebih manis.

Nana memeluk pinggang kakaknya tiba-tiba dan erat, membuat jantung Damar serasa melompat keluar dari tubuhnya. "Cuma Mas Damar yang nggak haus perhatian cewek."

“I—itu karena … nggak ada cewek yang mau memperhatikan Mas,” gumam Damar tersenyum kecut. Nana tak mendengarnya.

"Pokoknya Mas Damar is the best! Nana-chan wa daisukiii (Nana-chan suka sekaliii)!" pekik Nana gemas sambil menggosokkan kepalanya yang berhelm ke punggung Damar.

Perasaan hangat selalu memenuhi hati Damar tiap kali Nana mengucap kata itu padanya.

Daisuki.

"Ngomong-ngomong, Dek... jangan meluk Mas kayak gini, dong," pinta Damar gelisah.

"Kenapaaa?! Mas Damar nggak suka dipeluk Nana?!" jerit Nana setengah memprotes.

"Bu—bukan begitu, Dek. Ma—malu dilihat orang."

Ini masih di lampu merah, Nana! Please deh.

***