cover landing

Pregnancy without Husband

By amysastrakencana


“WANITA SIALAN!!!”

Gista menutup telinganya saat suara menggelegar itu terdengar. Tubuhnya langsung bergetar. Kaki mungilnya ingin pergi tapi rasanya seperti ada batu seberat orang dewasa yang menahan, sehingga Gista tidak bisa beranjak sedikit pun dari situ.

“KURANG AJAR!”

Suara itu terdengar lagi dan getaran di tubuh Gista semakin hebat. Dia tidak mau pulang sekolah. Sekolah adalah suakanya, tempat dia bisa menjadi seorang anak berusia delapan dan berbahagia seperti teman-temannya. Tapi, gurunya tidak bisa menemaninya di sekolah seperti biasa. Karenanya, dengan berat hati sang guru meminta Gista pulang. Gista pun menurut meski keberatan. Gurunya belum tahu alasan mengapa Gista begitu senang berada di sekolah.

PRAAANG!

Kepala Gista mendongak. Ketakutannya berganti kekhawatiran. Itu seperti bunyi benda yang pecah. Gista pernah tidak sengaja menjatuhkan piring dan terkena pecahannya. Jarinya terluka dan rasanya sakit sekali! Darah mengucur dan membuat Gista menangis. Saat itu, sang ibu telaten menenangkan dan merawatnya.

Dada Gista terasa sesak tapi dia juga khawatir. Meskipun takut, Gista memberanikan diri untuk masuk ke rumahnya.

Pemandangan yang menyambutnya membuat Gista melupakan sejenak ketakutannya.

“IBUUU!!!” Ibunya terkapar di lantai, berusaha bertahan dengan sebelah tangan menyangga tubuh. Kepalanya berdarah dan ada pecahan vas bunga di sekitarnya.

“Jangan ke sini!” Ibu berteriak dengan parau.

“Sini kamu! Biar kamu tahu kelakuan Ibu kamu!” Bapak berkacak pinggang, mendatangi Gista. Gista tidak peduli dan tidak mau dekat dengan lelaki itu. Dengan lincah, Gista berkelit, berlari menghampiri sang ibu, memeluknya erat-erat.

“Gista, Gista. Pergi, Sayang. Pergi! Ibu nggak apa-apa.” Ibunya berusaha melepaskan Gista agar menjauh dari bapaknya. Tapi Gista berkeras, dia memeluk ibunya sekuat tenaga, berusaha melindungi ibu dari bapak. Ibu sudah berdarah. Lebih merana dari sebelumnya. Gista mungkin tidak bisa mencegah bapaknya, tapi Gista akan bisa melindungi sang ibu.

“Kompak ya kalian ngelawan! BRENGSEK!”

Gista sudah siap jika ada benda keras menampar tubuhnya. Gista sudah siap merasakan sakit kalau memang itu yang harus terjadi karena keinginannya melindungi sang ibu.

“ASTAGFIRULLAH BAPAK TEDI MAU APA?!”

Gista mendengar suara itu. Suara seorang bapak, entah siapa. Mungkin ketua RT. Gista dan ibunya masih berpelukan, tidak berani membuka mata atau melepaskan diri.

“Neng Gista, udah gak apa-apa. Yuk,” suara ketua RT terdengar lagi.

Gista menggeleng. Dia masih takut.

“Neng, ibunya dilepas ya. Ibu perlu diobatin.”

Gista berkeras memeluk sang ibu.

“Gista…”

“Gista…”

“Gista…”

Gista membuka matanya dengan cepat. Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin membasahi wajah, tubuh, hingga telapak tangannya. Sudut matanya terasa sedikit basah.

“Lo nggak apa-apa?”

Gista mendongak. Jessi, manajernya sedang melongok dengan penuh kekhawatiran. Dia menyentuh kening Gista lalu memberi isyarat pada Yuli, asisten Gista, untuk membawakan air mineral. Meskipun masih kaget dan menangis, Yuli bergegas pergi.

“Lo mimpi? Ada apa? Lo manggil-manggil ‘Ibu’ terus.” Jessi duduk di sebelah Gista, memijat tangan dan pundaknya.

Gista menggeleng. “Biasa, mimpi buruk. Kalau tidur abis Ashar katanya pamali.”

Orang-orang yang datang ke hidupnya sejak masa SMP hingga saat ini, tidak ada yang tahu kisah masa lalunya yang buruk. Hanya lingkungannya saat dia SD yang pernah menjadi saksi kekerasan sang bapak kepada ibunya.

Yuli datang membawa segelas air dan Gista langsung menghabiskan isinya. Usai minum, Gista menatap wajahnya di cermin. Buruk sekali. Dia memang cantik, tak perlu diragukan. Tapi, penampilannya membuat dia terlihat mengerikan. Rambutnya berantakan. Matanya sembap. Make up-nya sedikit luntur.

Sudah 22 tahun berlalu dan ingatan buruk itu selalu menghantui bagaikan baru terjadi kemarin.

“Lo siap buat taping? Kalau nggak, gue akan minta izin supaya lo bisa pulang.” Jessi ikut menatap Gista dari cermin.

Malam ini Gista harus melakukan taping sebuah acara talk show yang dibawakannya bersama dua host lain. Sebelum ini, dia baru saja menjadi bintang tamu komedi situasi dari stasiun televisi yang sama. Jaraknya hanya dua jam dari usai syuting hingga persiapan taping. Jadi Gista memutuskan untuk meminjam salah satu ruang istirahat artis. Rupanya dia tertidur dan menyebabkannya bermimpi buruk.

“Gue baik-baik aja, Jes. Don’t worry. Gue cuci muka dulu ya. Abis itu kita ke ruang make up,” Gista menepuk tangan Jessi kemudian bangkit. Di hadapan semua orang, dia harus tetap jadi Gista yang bahagia.

s***

“Halo, halo!”

Gista mendongak dari kertas berisi arahan untuk taping episode kali ini. Yang datang adalah dua sahabat laki-laki yang menjadi host utama di acara talk show ini. Begitu keduanya tiba, suasana menjadi lebih ceria. Salah satu hal yang membuat Gista betah bekerja di acara talk show ini adalah karena mereka. Kedua orang yang lama kelamaan seperti kakaknya sendiri. Sewaktu kariernya belum seperti sekarang, kedua sahabat ini sudah sering wara-wiri di layar kaca dan membuat Gista terkagum-kagum. Sebuah hal yang membanggakan ketika akhirnya mereka bisa bekerja bersama-sama. Sudah dua tahun Gista menjadi co-host mereka dan jika stasiun televisi tidak berencana menghentikan kontraknya, Gista akan sukarela terus berkarier di sini.

“Hey cantik!” Daniel, seorang mantan VJ di masa kejayaan MTV, menghampirinya. Yang paling tua di antara kedua sahabatnya. “Udah kerja lama sama gue masih bengong aja lo tiap gue datang.”

Gista mendengus. Daniel ini memang sering narsis tapi Gita maklum. Dia memang punya wajah yang menarik. Meskipun sering memuji diri sendiri, dia ramah luar biasa. Ketika Gista masih menjadi anak baru, Daniel yang banyak membantunya.

“Bukan. Itu sih dia kaget liat gigi lo ada cabenya,” Zico menimpali, duduk di sebelah Gista sambil membaca kertas yang diberikan kru.

“Anjir, demi apa?” Daniel bergegas mencari asistennya untuk meminta cermin. Benar saja, ada cabai di antara giginya.

Gista melirik Zico. “Padahal gue gak tau lho ada cabenya.”

Zico membalas tatapan Gista kemudian tertawa. “Gue udah sadar sejak tadi kita selese makan bareng. Gue mau bilang tapi dia ngomooong mulu. Makanya gue pake kesempatan ini buat ngasih tau.”

Sekarang Daniel sedang berlari ke toilet untuk memperbaiki penampilan dan mengembalikan rasa percaya dirinya. Gista dan Zico kembali membaca.

“Single mother, ya,” Zico bergumam.

Gista mengangguk. Bintang tamu mereka malam ini adalah seorang artis senior yang berkecimpung di dunia hiburan sejak remaja. Dia menjadi legenda hidup saat ini karena bakatnya di bidang tari, akting dan tarik suara membuat namanya terus melambung dan menjadi panutan banyak orang.

Meski kariernya sukses, kehidupan percintaannya tidak. Di usia muda, dia menikah dengan seorang laki-laki yang menjadi sutradara dalam film yang melambungkan namanya. Mereka menikah, hidup bahagia, memiliki seorang putri, tapi kemudian sang sutradara meninggal dalam kecelakaan ketika sang putri masih remaja. Sejak itu dia merawat putrinya sendirian dan tidak pernah menikah lagi hingga sekarang. Putrinya sempat terjun menjadi seorang penyanyi juga tapi ternyata lebih nyaman di balik layar, mengelola manajemen artis dan menjadi promotor konser. Cucunyalah yang sekarang sedang naik daun juga. Menjadi penari tradisional dan kontemporer yang sudah melanglang buana.

“Darah seni ngalir turun temurun,” komentar Gista.

“Tul. Gue pernah ketemu sama Mas Arion. Menantunya Bu Rima. Dia cerita kalau dari bayi, Vivian emang suka nari dan jadinya diajarin neneknya. Padahal nggak diarahin ke situ. Tapi ya namanya udah bakat sih,” Zico bersandar di kursi. Ekspresinya menunjukkan rasa salut.

Gista jadi berpikir. Apa yang diwariskan leluhur kepadanya? Dia tidak pernah bertemu dengan kakek dan nenek dari pihak bapak. Dari pihak ibu, kakeknya sudah meninggal sebelum sang ibu menikah dan sang nenek meninggal saat Gista TK. Ibunya hanya seorang guru SMA dan ayahnya… ah, Gista tidak mau mengingatnya.

Namun kalau memang ada yang diwariskan dari kakek, nenek, atau orang tuanya, Gista sangat berharap itu bukan jiwa penyiksa dari bapaknya.

“Assalamualaikum,” sebuah suara tegar dan berwibawa menyapa di studio. Zico dan Gista langsung berdiri. Namun, yang menghampiri Rima lebih dulu adalah Daniel yang sudah kembali prima.

“Ibuuu!” Daniel menyapa seperti teman lama.

“Daniel. Selalu ceria kamu ya,” Rima memeluk Daniel, menepuk kepalanya seperti anaknya sendiri. “Vivi, salam sama Om, Nak.”

Anak kecil berusia enam tahun itu mengulurkan tangan untuk mencium tangan Daniel dan membuatnya berkaca-kaca.

“Pengen, ya?” Rima tersenyum menggoda.

“Pengen, Bu. Doain Detta cepet hamil ya,” ujar Daniel dengan raut lebih lembut. Tidak pecicilan seperti tadi.

Gista dan Zico menghampiri Rima. Ini pertama kalinya Gista bertemu dengan Rima secara langsung. Meski sudah sering melihat di televisi dan tahu kiprahnya sejak lama, tapi baru sekarang Gista merasakan bahwa aura Rima memang luar biasa. Tangguh, tegar, tapi keibuan.

Daniel mengenalkan Gista pada Rima. Zico sendiri sudah mengenal Rima sama akrabnya seperti Daniel. Rima, ramah seperti yang ditampilkannya, memuji penampilan Gista dan berucap semoga kerja sama mereka berjalan lancar.

Taping dimulai, ketiga host membuka acara lebih dulu kemudian mengundang Rima dan Vivi untuk masuk ke set. Mereka mulai mengobrol tentang karier Vivi di bidang seni tari, bagaimana peran sang nenek dan sang ibu, bagaimana mengelola suasana hati Vivi karena biar bagaimanapun dia masih anak-anak.

“Sejujurnya saya masih selalu takjub sama Bu Rima. Maaf ya Bu, Ibu kan ngurus Mbak Emi sejak kecil sendirian ya. Tapi Ibu nggak menyerah, nggak cari suami lagi. Boleh tahu nggak Bu, apa yang bikin ibu kuat melawan badai itu?” Pertanyaan yang diutarakan Daniel adalah yang sudah Gista antisipasi sejak dia menerima arahan. Sejujurnya Gista juga ingin mendengar hal itu.

“Ada tiga hal mungkin ya, Mas Daniel, Mas Zico, Mbak Gista. Pertama adalah almarhum suami saya adalah love of my life,” Rima tersipu saat mengatakan ini. Juga Zico dan Daniel yang mendadak ikut salting. “Kami memang tidak pernah berjanji untuk hidup sendirian ketika salah satu di antara kami wafat lebih dulu. Tapi ketika beliau wafat, saya sendiri tidak kepikiran untuk mencari laki-laki lain atau pacaran lagi gitu ya.”

“Padahal Ibu masih cantik lho. Pasti banyak kan yang naksir?” Daniel menutup mulutnya ala ibu-ibu arisan, membuat Rima menepuk pundaknya.

“Ada. Nah itu nyambung sama alasan kedua. Ada Emi yang perlu saya urus. Dia masih usia… tiga belas ya waktu bapaknya meninggal. Dia masih harus dapat perhatian saya sepenuhnya. Mana sempet saya mikirin cari pacar padahal harus ngurus Emi dan kerja banting tulang supaya dia bahagia? Jadi, Emi, dialah alasan utama saya bertahan.” Rima melirik ke arah belakang kameramen. Emi juga datang menemani ibu dan putrinya. Gista melihat bahwa Emi tersenyum dan menyentuh ujung matanya.

“Kalau yang ketiga, Bu?” Zico memancing.

“Yang ketiga sebenarnya yang paling utama. Saya punya Tuhan, Mas. Dia yang nggak akan pernah meninggalkan saya sesepi apa pun hidup saya.”

Hanya satu kalimat tapi sanggup membuat satu studio hening selama dua detik. Untunglah Daniel dan Zico bergegas menyambar kekosongan dan melakukan penutupan. Gista nimbrung dan dengan demikian talk show itu pun usai.

Seperti layaknya syuting seperti biasa, para host, bintang tamu, dan kru tidak selalu langsung pulang. Gista juga entah kenapa masih betah duduk di sofa dalam set memperhatikan kesibukan di sekitarnya. Vivi sedang bermain dengan Zidane, anak Zico yang sesekali datang ke studio. Padahal mereka baru bertemu tapi sudah sangat akrab. Kadang Gista iri pada anak-anak yang bermain tanpa berpikir.

“Tante, bisa bikin burung nggak?” Zidane tiba-tiba menghampiri Gista yang sedang melamun. “Kayak itu”

Zidane menunjuk ornamen burung di lemari di belakang Gista. Vivi menghampiri Zidane dan ikut menampilkan wajah memelas.

“Bisa. Cari kertasnya dulu, ya. Hmm sebentar.” Gista melirik ke kanan dan ke kiri. Dia menemukan beberapa helai kertas berisi skrip hari ini. Biasanya ini memang tidak digunakan lagi jika syuting sudah selesai. “Sini!”

Gista membagikan kertas masing-masing selembar pada Zidane dan Vivi. Zidane duduk di sebelah kanan dan Vivi di sebelah kiri. Gista mulai mengajari mereka membuat burung dari kertas.

Vivi yang lebih banyak bertanya. Mereka akan membuat burung apa. Kenapa burung bisa terbang tapi ayam tidak. Kenapa ada burung berwarna hitam seperti gagak tapi ada yang berwarna-warni seperti cendrawasih. Kenapa ada yang keluar malam hari tapi ada yang keluar siang hari.

Meski kewalahan, Gista berusaha menjawab pertanyaan itu satu per satu. Untunglah kadang Zidane menimpali dengan gaya kekanakannya, mengingat Zidane memang lebih tua dari Vivi.

Kedua anak itu meninggalkan Gista dengan burung buatan masing-masing. Buatan Gista dibawa oleh Vivi. Rima menghampiri Gista ketika cucunya sudah kembali bersama Emi.

“Gista ya?” tanya Rima. Gista mengangguk. “Maaf, sudah menikah?”

Butuh waktu sedetik sebelum Gista menjawab pertanyaan sederhana itu. Seharusnya menjawab pertanyaan itu tidak perlu sulit. Sebagaimana menunjukkan status di KTP, Gista bisa langsung menjawab. Sayangnya, dalam otak Gista mendadak berkecamuk berbagai jenis pikiran dan alasan.

Tidak, Gista tidak mau menikah. Dia punya 100% peluang untuk selalu bahagia ketika berstatus lajang. Gista tidak mau mempertaruhkan kebahagiaanya menjadi hanya 50% atau bahkan dari itu dengan menikah. Siapa yang tahu kalau ternyata nanti laki-laki yang dinikahinya ternyata penipu? Ternyata selingkuh? Dan yang lebih parah, ternyata pelaku kekerasan seperti bapaknya? Tidak. Gista tidak mau menikah.

“Kamu cocok main sama anak-anak,” Rima menambahkan sebelum Gista menjawab pertanyaan sebelumnya.

“Mereka anak-anak yang pintar, Bu,” puji Gista tulus.

Rima melirik Vivi yang masih curi-curi pandang kepada Zidane.

“Terima kasih,” Rima kembali kepada Gista. “Sampai bertemu lagi, ya.”

Rima menepuk pelan lengan Gista kemudian berlalu.

“Gimana rasanya disamperin living legend?” Jessi menghampiri Gista, menyodorkan hand phone.

“Tremor.” Gista menerima hand phone lalu menyalakannya. Ada beberapa chat dari Oline, Carel dan Malik.

“Nanya apa beliau?”

“Nanya apa gue udah nikah,” Gista membuka pesan dari Oline lebih dulu.

“Terus lo jawab? ‘Belum Bu, kasih rekomendasi boleh dong’,” lalu Jessi tertawa sendiri dengan leluconnya.

Gista menggeleng. “Nggak sempet gue jawab. Gue nggak sampai hati untuk bilang bahwa gue sama sekali nggak tertarik untuk menikah. Catat itu. Sama sekali. Tapi gue memang menikmati main sama anak-anak pintar itu.”

Jessi melongo. Baru sekarang Gista mengatakan dengan gamblang bahwa dia tidak tertarik menikah, dengan nada seakan benci pada institusi pernikahan. Ditambah gerakan tubuh yang terasa membentengi diri. Jika sudah begitu, Gista memang tidak main-main.

***