cover landing

Portrait

By YunaThrias


Elang memperlambat kayuhan sepeda. Sesekali ia mengambil napas dalam, menikmati hawa segar yang masih dapat terhirup sambil memandang jauh ke semburat jingga yang diam-diam menerobos awan putih di ufuk timur.

Di satu sudut jalan, Elang memutuskan untuk menghentikan kayuhan sepeda. Tak ingin kehilangan keindahan yang tersaji di depan mata, ia pun merogoh kamera dalam tas ranselnya. Hanya sepersekian detik kemudian, matanya menyipit, membidik satu objek ke objek lain dari balik view finder. Tangannya lincah menekan tombol shutter berkali-kali, lalu mengecek hasilnya melalui layar LCD.

“Keren!” ucapnya lirih.

Siapa yang tak mengenal, Elang Pramoedya? Anak semata wayang pengacara ternama, Pramoedya Hoetomo yang Instagram-nya ramai dengan ribuan pengikut. Tak hanya berparas tampan dengan segudang prestasi, seperti namanya yang seolah mengiaskan  ketajaman mata burung elang mengincar mangsa, iris hitam pekatnya selalu dapat menemukan objek unik dari balik kamera dengan mudah. Ia dapat dengan mudah mengemas sesuatu yang sederhana menjadi luar biasa.

Bak kawan sejati, kamera itu tak pernah lepas dari sosoknya, selalu melekat, terkalung tepat di lehernya. Di mana pun dan kapan pun ia berada. Taman, stasiun, pasar, dan jalanan tak lepas dari pengamatannya. Di tempat-tempat itu pula, melalui tangan dingin Elang Pramoedya, objek sederhana  menjadi menarik dengan sudut pandang yang berbeda.

Pasar tradisional di bilangan Cipete menjadi tujuan Elang pagi itu. Dari rumahnya di Bintaro, ia memilih menaiki sepeda. Tak perlu jauh-jauh, hanya dari perjalanan sederhana itu banyak kejadian, peristiwa dan fenomena alam yang telah siap mengisi laman Instagram-nya kali ini. 

“Nah, ini nih, cakep.” Elang bersiap membidik, matanya menyipit, tetapi ... “Aaargh!” ia mendengkus kesal saat punggung seorang gadis tiba-tiba saja menghalangi pandangannya saat sedang membidik kuli panggul yang membawa karung penuh sayuran. “Siapa sih, tuh?!”

Fokus Elang buyar. Ia lalu menurun-naikkan kamera berulang kali untuk mencari fokus. “Minggir, sih!” teriaknya sambil mengibaskan tangan.

Seolah mendengar teriakannya, gadis itu menoleh. Saat itulah, Elang justru menangkap objek yang tak kalah menarik. Seorang gadis berwajah khas Timur Tengah dengan balutan baju kurung berwarna hijau muda dan hijab motif senada sedang memindai setiap sudut pasar dengan senyum yang meninggalkan dua ceruk di pipi. Sesekali tawa renyah yang merekah menghiasi bibir merah mudanya membuat detik-detik melambat. Elang tak dapat berkutik. Waktu seolah terhenti. Ia terkesima.  

“Es teh, es teh. Bang, es teh?” tanya seorang bocah yang membuyarkan tatapan Elang pada gadis itu. 

“Bentar!” Elang merogoh selembar uang berwarna ungu, lalu menerima segelas teh yang bocah itu sodorkan.

“Kembaliannya, Bang.”

“Ambil aja.” Tak ingin kehilangan momen itu, Elang menyeruput sebagian es teh dalam gelas plastik, lalu meletakkannya di sela-sela pagar dan segera mengubah fokusnya untuk membidik gadis itu. Dengan lincah ia menekan tombol shutter berkali-kali, mengambil gambar gadis itu dari beberapa sisi. Sesekali tawanya mengembang menatap gadis itu dari balik lensa kamera digitalnya. Apalagi saat gadis berkulit putih itu tersenyum dan tertawa. Tawa yang mampu membuat dinginnya hati seorang Elang Pramoedya seketika menghangat. Bahkan, lebih hangat dari cahaya putih yang sedang memancarkan sinarnya pagi itu.

Untuk ke sekian kalinya, senyum Elang mengembang kala menatap serentetan foto gadis itu dari layar LCD kamera digital. “Cantik.”

***

Belakangan Elang tahu, gadis itu bernama Aisha Humaira. Gadis penghuni baru di salah satu kompleks perumahan kecil di pinggiran Bintaro, tak jauh dari Kemang Town Estate. Beberapa hari yang lalu Aisha pindah dari salah satu sekolah swasta di luar Jawa. Setidaknya itulah yang diketahui seorang Elang Pramoedya dari sahabatnya, Anna Anastasia.

Setelahnya, gadis dengan wajah khas Timur Tengah itu tak pernah absen menjadi salah satu objek foto Elang Pramoedya. Bukan kali pertama Elang mencuri foto Aisha yang mengikuti ekstrakurikuler violin di sekolahnya seperti sore itu.  

“Foto Aisha lagi?” tanya Anna sambil menyelisik wajah Elang yang sedang fokus membidik satu-satunya gadis berhijab dari balik lensa kameranya.

Elang bergeming. Satu patah kata pun tak keluar dari bibirnya. Elang tetap memusatkan diri untuk membidik Aisha yang sangat piawai memainkan satu lagu klasik melalui violin berwarna hitam kecokelatan miliknya. 

“Enggak bosen?”

Tanpa menjawab, Elang justru mengalihkan moncong kamera yang berada di genggamannya ke wajah Anna yang sedang duduk di sampingnya.

“Apaan, sih!” Anna melotot. Dengan sebelah tangan, ia mengalihkan moncong kamera itu ke sembarang arah, “Dari pada curi-curi foto, mending kenalan.”

Hening. Waktu seolah membeku sejak Anna mengajukan ide tersebut.

“Mau gue kenalin?”

Lagi-lagi, Elang memilih untuk tak menjawab pertanyaan sahabatnya. Ia malah menyibukkan diri memeriksa foto dalam kamera. Ia tak menafikan jika keinginan berkenalan dengan gadis itu pernah muncul. Namun, satu sisi dalam hatinya menolak. Bukankah ia hanya mengagumi keanggunan gadis itu? Ia akui, gadis itu cantik. Gadis itu berbeda. Hanya segelintir saja gadis yang menggunakan hijab seperti Aisha, tetapi tidak untuk berkenalan. Untuk apa ia berkenalan dengan Aisha?

“Malu?” cecar Anna.

Tanpa menjawab pertanyaan Anna, Elang justru bangkit dari duduknya dan menarik tangan Anna. Ia malas menganggapi celoteh sahabatnya itu.

“Elang!” Anna menepis tangan Elang. “Diajak ngobrol malah mau ke mana, sih?”

“Ke kantin. Gue laper.”

“Ogah!”

“Gue traktir.”

“Ish. Emang gue nggak punya uang apa? Makan di kantin doang.”

“Temenin.”

“Gue enggak laper, Elang! Gue—“

“Berisik!” Elang tetap menarik tangan Anna. Tak peduli betapa keberatan sahabatnya itu.

Tak lama, langkah keduanya telah sampai di kantin sekolah. Sedikit lengang, hanya segelintir saja siswa yang masih di sekolah untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

“Duduk!”

“Tapi, gue—“

“Duduk!”

“Di-et,” jawab Anna lirih. Percuma, kata-kata itu terlontar dari bibirnya. Elang sudah berlalu meninggalkannya dan memesan dua buah mi ayam, lengkap dengan bakso dan es jeruk kesukaannya.

“Sial! Gagal deh diet gue!” Anna mencebik sambil mendaratkan tubuhnya ke bangku. Ia seolah tak memiliki pilihan. Entah mengapa, ia enggan menolak permintaan pemuda yang telah belasan tahun menjadi sahabatnya itu. Seorang bocah laki-laki yang selalu hadir dan membela, saat anak-anak badung sering kali jahil dan merobek buku bergambar Hello Kitty miliknya sewaktu mereka masih kecil.

Elang Pramoedya hadir sebagai pelindung bagi Anna. Namun, sejak kehadiran Aisha di tengah-tengah mereka, semuanya berubah. Tiba-tiba saja gadis itu hadir di antara mereka tanpa permisi. Entah mengapa ada bagian di dalam dirinya yang ikut terusik saat gadis itu mendapatkan perhatian khusus dari sosok pelindungnya.

Setelah memesan makanan, Elang kembali dan mengambil posisi untuk duduk di depan Anna, lalu mengeluarkan kamera. Sebuah lengkung manis sesekali terbit di bibir. Ia bahkan hampir tak peduli Anna duduk menemani. Ia seolah memiliki dunia sendiri.

“Liatin apa, sih? Girang amat!” Benak Anna bertanya-tanya ihwal apa yang membuat Elang tersenyum sebahagia itu. Ia jarang sekali melihat sahabatnya itu tersenyum. Lalu, tanpa menjawab, Elang malah menyodorkan kameranya yang sedang memperlihatkan ekspresi Aisha yang tertawa lepas dengan violin di tangan.

Anna mencebik kesal. “Apanya yang lucu?”

“Cantik,” jawab Elang tegas.

Tak pernah sekali pun Anna mendengar Elang memuji seorang gadis. Tidak juga dirinya. Namun, entah mengapa ungkapan jujur nan polos itu sanggup membuat dadanya seketika nyeri.

“Suka? Naksir? Atau jatuh cinta?” Anna memberondong Elang dengan dugaan, “tapi, takut?” ledeknya.

Elang tak menyahut. Ia tetap bergeming hingga menimbulkan helaan napas panjang dari bibir Anna. Laki-laki itu tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Ia pun tak paham dengan rasa yang diam-diam tumbuh di dalam hati tiap kali melihat Aisha, walaupun hanya dalam sebuah potret yang tersimpan di dalam kamera.

“Payah!” Anna mengibaskan tangan. Sudah ia duga, Elang tak pernah memiliki keberanian, bahkan hanya untuk mengajak seorang Aisha Humaira berkenalan.

Elang melotot tanpa mengeluarkan sepatah kata.

“Kenapa? Emang gitu kan kenyataannya?” 

Elang mengembuskan napas dan memilih untuk berkutat dengan kamera di genggaman. Percuma mendebat seorang Anna Anastasia.

Meskipun begitu, Elang akui. Anna benar. ia tak sedikit pun memiliki nyali untuk berkenalan dengan Aisha sehingga hanya bisa mengagumi dalam diam. 

“Gue kenal sama temen-temennya Aisha. Gue bisa aja minta mereka ngenalin lo sama dia.” Seketika, Anna bisa melihat Elang berhenti mengutak-atik kamera digitalnya. “Mau?” tanyanya sambil  mencondongkan tubuhnya dan menatap Elang lekat. “Lo mau kenalan sama dia?” Ia memindai wajah Elang. Sorot matanya memburu jawaban dari laki-laki itu. Namun, Elang tetap terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Sesaat kemudian, Anna merutuki keputusannya. Bukankah bagus jika Elang tak memiliki nyali untuk berkenalan dengan Aisha? Ia tak perlu lagi khawatir kehilangan sosok sahabat sekaligus pelindungnya itu. Selamanya Elang hanya akan menjadi pengagum rahasia, tanpa sekali pun Aisha benar-benar hadir di antara mereka.

“Hei!” Haikal menggebrak meja yang Anna dan Elang pakai.

Hanya sepersekian detik, Anna mengalihkan pandangan pada sosok pemuda yang tiba-tiba muncul di samping mejanya. Haikal, berdiri tegak di antara ia dan Elang yang tengah duduk berhadapan. Sementara itu, Elang tetap bergeming, tak acuh. Ia sudah terbiasa dengan sikap Haikal yang belakangan ini makin memperlihatkan ketidaksukaan saat namanya disejajarkan dengannya dalam pemilihan kandidat pertukaran pelajar di Singapura. 

“Pergi, Haikal!” ujar Elang datar tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari kamera.

“Bisa ngomong dia?” ujar Haikal sambil tertawa yang diikuti dengan gelak tawa teman-teman segerombolannya.

“Jangan ganggu kami, Haikal!” suruh Elang tegas. Dingin, sedingin wajahnya yang memilih tak membalas tatapan dan ejekan Haikal. Namun, ucapan itu tak sekali pun membuat nyali Haikal ciut. Pemuda itu malah dengan lancang mengintip gambar di layar LCD, lalu merebut paksa kamera digital Elang. 

“Kembaliin!” Elang berusaha mengambil kembali kamera digitalnya, tetapi salah satu teman Haikal memintanya tetap duduk. Satu di antaranya menekan kuat-kuat kedua bahunya agar tetap duduk. “Apa-apaan, nih?!”

“Udah, lo diem aja!”

“Aisha?” Haikal memandang Elang dengan penuh selidik. “Serius?” tanyanya lagi. “Lo ... Aisha? Jangan mimpi, Elang!” Haikal memasang wajah meremehkan setelah melihat foto-foto Aisha terpampang di kamera digital Elang. “Yang bener aja, Elang!”

Elang menelan ludah, berat. Ia malu. Sekarang seisi sekolah tahu bahwa di dalam kamera digitalnya penuh berisi foto Aisha. Bagaimana jika Aisha tahu?

“Cukup!” Elang menepis tangan yang mencengkeram erat bahunya. Ia bangkit dari duduk dan mendorong salah satu anak yang menghalangi. “Kembaliin kamera gue!” suruhnya dengan penekanan dan tatapan tajam.

“Woi, ternyata Elang anak Pramoedya Hoetomo  lagi kasmaran,” seru Haikal hingga mengundang tawa seisi kantin. “Sama Aisha, Cuy!” Tawa mereka kembali meledak menertawakan Elang.

“Jangan bawa-bawa bokap gue, Kal!”

“Oh, ya? Wooo, takuuut ...,” jawab Haikal seolah-olah bergidik dengan ancaman Elang.

“Aisha .... Jadi, cewek itu Aisha?” ucapnya sambil memperhatikan isi kamera digital milik Elang.

Anna bangun dari duduknya. Ia tak tahan lagi dengan sikap Haikal yang kelewat batas. “Lo tuli? Kembalikan kameranya, Haikal! Atau gue patahin tangan lo!”

Mendengar ancaman Anna, seketika Haikal dan kawan-kawannya terbahak. Sekali pun ia tak takut pada ancaman seorang atlet taekwondo seperti Anna. Ia malah mengejek gadis itu dengan memasang mimik takut yang dibuat-buat.

 “Emang dia nggak bisa bela dirinya sendiri, sampai lo harus turun tangan?” tanya Haikal dengan tatapan tajam. “Lo nggak cemburu, dia suka sama Aisha? Bukannya lo ....” Kalimat Haikal menggantung di udara. Entah kenapa bibirnya seketika kelu. Namun, bukan hanya ia. Anna pun seketika terdiam. Hatinya seperti sedang dikuliti di depan umum. Diam-diam ia pun menyelisik tiap sudut dalam hati. Benarkah kata-kata Haikal? Benarkah seharusnya ia cemburu dengan kekaguman Elang pada Aisha?

Saat melihat Anna terdiam, Haikal mengalihkan pandangan, “Jadi, Anna sekarang bodyguard lo, Lang? Gue baru tahu.” Sekali lagi tawa Haikal dan teman-temannya meledak.

“Kembaliin, Kal!”

Suara anggun nan tegas itu membuat tawa Haikal dan teman-temannya seketika meredup. Kini, Aisha tengah berdiri di samping Haikal dengan tatapan tajam sambil menengadahkan tangan.

“Lo kok, di sini, Ca?”

“Kem-ba-li-in, Haikal Baihaqi!” pinta Aisha sekali lagi.

Haikal menghela napas panjang. “Oke, itu karena lo yang minta,” jawabnya sambil melirik Anna dan Elang bergantian. Hanya sepersekian detik setelahnya, kamera itu pun berpindah tangan. Untuk sesaat, Aisha bertemu pandang saat mengembalikan kamera itu ke tangan pemiliknya. Sejejak kekaguman pun melingkupi hati dan pikiran Elang saat matanya bertemu dengan mata bulat Aisha. Gadis itu memang menawan. Tidak hanya saat memandang gadis itu dari balik lensa kamera, melainkan ketika tengah berhadapan langsung seperti sekarang. 

“Maafin sepupu gue, ya,” ujar Aisha lembut.

Mendengar kalimat yang Aisha lontarkan, Elang tak mampu menutupi wajahnya yang terkejut dengan menatap Haikal dan Aisha secara bergantian. Detik berikutnya, ia sibuk merutuki kekagumannya pada Aisha yang tak lain sepupu pemuda usil yang sering kali membuat darahnya mendidih, sekaligus seorang sahabat yang memilih untuk pergi dari sisinya tanpa alasan jelas.

“Kenapa? Syok?”

***