cover landing

Pesona Duda Kacamata

By Jika_Laudia


Gentala melepaskan kacamatanya saat alarm di ponselnya berdering. Setelah itu, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sembari memijit pelipis pelan. Semalaman ia tidak tidur akibat menyelesaikan segudang pekerjaanya untuk beberapa minggu ke depan.

Ia memang terbiasa begadang. Namun, dua hari berturut-turut hanya tidur selama dua jam di meja kerja membuat tubuhnya remuk juga.

Gentala bangkit dari duduknya lalu melakukan sedikit peregangan sekadar untuk melenturkan ototnya yang kaku. Kemudian, ia pun melangkahkan kaki, beranjak dari ruang kerjanya menuju kamar.

Hati-hati sekali ia membuka pintu, takut membangunkan sang istri yang mengalami kesulitan tidur beberapa minggu terakhir akibat usia kandungannya mendekati hari kelahiran. Itu jugalah alasan Gentala mengebut seluruh pekerjaannya dan enggan sering-sering berangkat ke kantor. Ia berharap saat Sherlin melahirkan buah hati mereka, ia bisa menjadi suami siap siaga.

Sebuah senyum terulas di bibir Gentala saat melihat wajah Sherlin yang tertidur pulas. Wanita yang sangat ia cintai, meski menikah melalui cara perjodohan keluarga.

Gentala sudah lama mencintai wanita itu diam-diam, bahkan jauh sebelum mereka dijodohkan. Setiap ada pertemuan di antara keluarga mereka, Gentala selalu bersemangat karena akan bertemu dengan pujaan hatinya. Jadi, saat ia mendengar kabar perjodohan itu, perasaannya bahagia bukan kepalang. Ia sampai bertanya-tanya pada Tuhan, kebaikan apa yang pernah ia lakukan hingga doa terbesarnya dengan mudah dikabulkan.

Sejak saat itu, Gentala tidak lagi berniat meminta apa-apa. Baginya, Sherlin merupakan anugerah terindah seumur hidup.

Tubuh Gentala menegang saat melihat Sherlin menggeliat dari tidurnya. Namun, hanya sebentar karena wanita cantik itu kembali melanjutkan tidurnya.

Gentala mendekatkan tubuhnya pada Sherlin. Kemudian, dengan hati-hati mengecup kening calon ibu dari anak-anaknya tersebut. "Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah menjadi milikku."

Setelah mengucapkan kalimat manis tersebut, Gentala beranjak menuju kamar mandi. Ia harus bersiap-siap ke kantor dan mempersiapkan cutinya untuk beberapa minggu ke depan.

***

"Pak Gen begadang lagi? Hati-hati saingan sama Panda, Pak."

Gentala menatap malas Bilal—asisten pribadinya—menghenyakkan tubuhnya ke atas kursi kebangaannya. Masih sepagi ini saja, tubuhnya sudah terasa lelah.

"Demi istri, Bil."

"Emang suami idaman. Untung Pak Gen udah nikah, kalau belum pasti jadi rebutan." Bilal menaikkan jempolnya, lantas tersenyum lebar.

"Saya butuh karyawan pinter cari peluang bukan karyawan pinter cari muka," sungut Gentala malas, sedangkan senyum di bibir Bilal sudah luntur duluan. Namun, obrolan mereka terjeda saat ponsel Gentala berdering kencang. Ia memang sengaja memaksimalkan volume nada ponselnya belakangan ini.

"Halo?" Wajah Gentala tampak menegang. Kemudian, ia menepuk pundak Bilal sambil jalan. "Atur ulang janji hari ini. Istri saya mau melahirkan."

Mata Bilal langsung melebar, sementara Gentala sudah ngacir duluan. "Saya antar, Pak! Bapak nggak boleh nyetir sendiri!"

***

Ada dua waktu seorang pria akan merasakan hatinya bergetar. Saat mengucapkan ijab kabul dan saat malaikat kecil datang yang kelak akan memanggilnya dengan sebutan ... papa.

Gentala sudah mondar-mandir saja di depan ruang operasi. Niat mereka untuk persalinan normal terpaksa tidak direstui dokter akibat kondisi Sherlin yang lemah. Tentu saja, Gentala tidak keberatan. Apa pun silakan dilakukan, asal istri dan kedua anaknya selamat. Ya, dua malaikat kecilnya.

Mungkin, telapak sepatu pantofel yang dikenakan Gentala sudah panas akibat bersegesekan terus dengan lantai rumah sakit selama lebih dari satu jam. Bilal sudah berkali-kali memintanya untuk duduk, tetapi Gentala justru menyuruh Bilal pergi untuk meng-handle urusannya hari ini.

Keluarga dekat Gentala dan Sherlin juga sudah mulai berdatangan dan menanyakan kabar. Namun, Gentala tidak bisa menjawab satu pertanyaan pun. Hatinya kepalang risau.

Suara tangis bayi menggema di dalam ruang operasi. Seketika itu pula tubuh Gentala merosot ke lantai. Ia tidak tahu perasaan apa ini. Yang jelas rasanya begitu takut dan bahagia sekaligus.

Gentala tidak diizinkan masuk ke ruang operasi. Ia diminta menunggu di ruangan rawat saja karena sebentar lagi Sherlin dan kedua bayinya akan dipindahkan ke sana.

Langkah kaki Gentala kini tampak begitu bersemangat. Namun, saat melihat Sherlin masuk ruangan dengan didorong di atas brankar, hatinya kembali terenyuh. Sekali lagi, ia mengecup kening Sherlin lalu mengucapkan terima kasih dengan penuh haru.

Perhatiannya teralihkan saat dua orang perawat wanita yang menggendong dua bayi berbeda ikut masuk. Satu bayi laki-laki dan satu lagi bayi perempuan, sesuai prediksi.

Hidup ini rasanya sudah sempurna sekali dan Gentala berjanji tidak akan meminta yang lain lagi. Ia melangkahkan kakinya maju, lantas menerima salah seorang bayi yang diserahkan perawat bermasker padanya.

"Selamat, anak Bapak kembar. Bayi laki-laki, lahir lebih dulu, lima belas menit kemudian disusul oleh si cantik," ujar perawat tadi.

Gentala dengan sangat berhati-hati menerima tubuh mungil bayi tersebut. Tangannya sampai terlihat gemetar. Kemudian, dengan suara bergetar pula, ia mengumandangkan azan di telinga kanan si bayi, hingga bayi laki-laki itu menangis kencang.

Gentala tertawa kecil lalu mengecup lama pipi bayi setelah selesai mengumandangkan azan dan iqamah. Kemudian, bergantian ia melakukan hal yang sama pada bayi perempuannya.

Kali ini, tidak hanya suara Gentala yang bergetar, tetapi air matanya juga turut tumpah. Beruntung, keluarga besarnya masih menunggu di luar, jadi ia tidak perlu merasa malu.

Usai melakukan inisiasi menyusui dini, sepasang bayi kembar tersebut dibawa ke ruang NICU. Barulah anggota keluarga lain diizinkan bergantian melihatnya dari balik kaca.

Gentala memilih menemani Sherlin. Ia duduk di samping ranjang sembari mengusap kening wanita yang baru saja mempertaruhkan nyawanya tersebut. Cinta Gentala bukannya berkurang karena harus terbagi untuk dua anaknya, tetapi justru meningkat berkali lipat untuk Sherlin, cinta pertamanya.

"Aku sudah memberimu dua anak sekaligus." Bibir pucat Sherlin yang sedari tadi bungkam mulai bersuara. "Sekarang, aku mohon ... lepaskan aku.”

Ada sambaran petir yang teramat dahsyat berhasil mengenai tepat di hati dan kepala Gentala. Pria berkacamata itu mendadak membeku. Pergerakan tangannya yang tadi mengusap dahi Sherlin, perlahan ia tarik.

"Maksud kamu, Lin?"

"Ceraikan aku, Mas. Tolong."

***