cover landing

Persembahan Terakhir

By BANYU BIRU


Tahun 1965

Malam-malam yang mencekam pada sebuah kepingan bumi di Pulau Sumatera. Di saat hiruk pikuk mulai mereda diganti tembang penghantar tidur. Ada operasi keamanan yang justru merenggut rasa aman orang-orang kecil.

“Ayo cepat, Bu, kita tidak punya waktu lagi,” kata Pak Dahlan dengan napas memburu. Menyambar pakaian seadanya dari lemari kayu lalu memasukkannya ke dalam buntalan untuk pelarian.

“Iki piye, Pak, Darma panggah urong teko*. Suara Bu Suwarsih bergetar. Matanya berkaca-kaca mengingat anak semata wayangnya itu.

(*Ini bagaimana, Pak? Darma belum tiba juga.)

Anak yang disebut-sebut namanya memang belum pernah bertemu lagi selama dua tahun. Ia melanjutkan pendidikan tinggi di Res Publica cabang Medan. Harusnya ia tiba malam ini karena situasi di kota juga sedang tidak kondusif.

“Buk, Bapak ngerti sampean khawatir, Bapak yo podo. Sakiki seng paling penting akdewe slamet disek mengko gek nggoleki Darma. Darma mengko bakal luweh bingung lek akdewe ra enek kabare Buk*.

(*Bu, Bapak tahu ibu khawatir, Bapak juga. Sekarang yang paling utama kita harus selamat dulu baru kita kita bisa cari Darma. Darma akan lebih tidak siap jika kita tak ada kabar Bu.)

“Piye lek pomo Darma wes di cekel, Pak*

(*Bagaimana kalau Darma sudah ditangkap, Pak?)

“Hus… Ojo aneh-aneh, ayo ndang!* kata Pak Dahlan dengan nada tertahan. Pak Dahlan segera menarik tangan Bu Suwarsih menuju pintu belakang untuk melarikan diri.

(*Hus… Jangan macam-macam, ayo cepat)

***

Desa Sindang Sari  tidak akan luput dari sorotan kebencian pihak-pihak pembenci PKI. Sekaranglah gilirannya. Desa itu menjadi target penumpasan orang-orang yang diduga anggota atau simpatisan PKI. Sindang Sari merupakan salah satu perkampungan Jawa yang ada di Deli Serdang. Karena mereka berada di pulau Sumatera, mereka akhirnya memiliki julukan baru, ‘Jadel’ untuk Jawa Deli atau ‘Jakon’ untuk Jawa Kontrak. Percampuran kebudayaan mereka dengan kebudayaan orang-orang asli di situ secara tidak langsung membuat mereka menjadi anak tiri di dalam etnis mereka sendiri.

Perjalanan mereka sampai ke sana juga bukan perjalanan yang singkat. Semua orang pasti tahu kisah lama itu. Jika mereka ditanya, mereka tidak akan asing dengan nama Jacob Nienhuys, seorang pedagang Belanda yang datang ke Labuhan Deli pada tahun 1863. Orang itulah yang menghendaki orang-orang di luar pulau Sumatera untuk diangkut ke sana hanya untuk membuka lahan perkebunan karet yang baru dan mempekerjakan mereka di perkebunan tembakau. Itu bukan tanpa sebab, melainkan karena kurangnya tenaga kerja pada tahun 1910, mereka dipaksa bekerja sepuluh jam per hari, tujuh hari dalam minggu dan hanya bisa mendapatkan libur satu hari per dua minggu saat gajian. Waktu yang cukup membuka kesempatan yang baik untuk beranak-pinak.

Bagi pemerintah, orang-orang ini sangat rentan dipengaruhi oleh PKI. Warga akar rumput seperti mereka pasti memiliki tujuan yang sama dengan PKI. PKI tahu betul bahwa orang-orang seperti ini tidak menginginkan penguasa-penguasa menyita hak rakyat. Mereka tidak ingin hidup dalam kemelaratan. Mereka menginginkan derajat hidup yang lebih baik untuk hajat orang banyak, terutama seperti mereka.

Ini waktu-waktu genting bagi seorang paruh baya dan keluarganya. Dari dalam sebuah rumah papan, seruan anggota militer yang ditugaskan untuk menumpas orang-orang yang diduga antek-antek PKI mampu menembus dinding-dinding papan yang tersusun sangat rapat. Nyawa tidak lagi berharga bagi mereka. Ajakan bunuh-membunuh, sayat-menyayat, bakar-membakar bak permainan masak-masakan bocah cilik di pekarangan rumah. Pak Dahlan tahu betul bahwa situasi semakin memanas kala PKI dituduh terlibat pada pembunuhan ketujuh jenderal di Jakarta. Operasi Militer atas nama pembasmian PKI telah mengguncang keamanan negara hampir seluruh wilayah Republik Indonesia, termasuk desa kecil seperti Sindang Sari tidak menjadi pengecualian.

Sialnya, nasib baik sepertinya belum berpihak kepada sepasang suami istri itu. Baru beberapa langkah saja, salah seorang telah memergoki pasangan tersebut. Teriakan itu langsung menarik perhatian. Seperti anjing-anjing kelaparan, mereka datang menyerbu. Dari wajah sangar, otot-otot yang besar serta dada yang dibiarkan terbuka. Pria yang menghadang mereka jelas-jelas bukan seorang tentara. Pakaiannya memperkuat hal itu, pakaian lusuh dengan sarung yang diikatkan di pinggangnya, dia adalah preman yang sengaja direkrut untuk menambah pasukan. Pemerintah sepertinya keliru, mengajak preman kampung berkoalisi untuk memburu simpatisan PKI, padahal mereka memakai orang yang bisa saja sama biadabnya dengan orang-orang yang mereka buru. Mereka tidak bisa membedakan padi dari ilalang sehingga mereka memilih membabat atau membakar habis.

Untung saja, refleks Pak Dahlan masih berfungsi dengan baik. Ia menarik Bu Suwarsih kembali ke dalam rumah. Menyandarkan benda-benda berat ke pintu untuk mengulur waktu. Napas keduanya tak lagi beraturan. Keringat membasahi sekujur tubuh mereka.

Kedua orang tua paruh baya menyadari mereka tidak lagi punya harapan. Mereka benar-benar terdesak. Massa yang disebut komando aksi sudah mengepung rumah itu tanpa memberi celah. Jika mereka melawan pun, gerombolan terorganisir para preman dan orang-orang yang direkrut sebagai milisi sipil bayaran itu tak mungkin bisa dikalahkan. Komandan Aksi – begitulah mereka menyebutnya, mereka ada ratusan.

Bunuh orang-orang PKI! Tangkap hidup atau mati!

Tangis Bu Suwarsih semakin menjadi-jadi. Pak Dahlan berusaha sekuat tenaga untuk menahan dobrakan dari luar. Tetapi kekuatan satu orang tidak akan mampu melawan tenaga puluhan orang yang sudah kesetanan. Pertahanannya jebol. Pintu yang hanya terbuat dari papan kayu itu berhasil dirobohkan. Pak Dahlan dan Bu Suwarsih dibekuk, diseret ke halaman rumah layaknya binatang buruan. Orang-orang di sana berteriak kegirangan. Bunuh mereka! PKI biadab! Seret mereka! Seruan-seruan itu bergema dimana-mana. Pak Dahlan menatap penjuru desa dan mendapati bahwa di tengah lapangan, binatang buruan telah dikumpulkan. Tidak peduli tua atau muda, laki-laki atau perempuan, mereka mengumpulkan semuanya.

Kemarahan terhadap PKI telah membutakan mata semua orang. Pembantaian dilakukan tanpa tebang pilih. Malam itu menjadi malam yang mengerikan sebab teriakan kesakitan, tangis memilukan dan suara senapan terdengar disudut-sudut kampung. Warga kampung disiksa dengan sadis. Mereka ditendang, dipukul balok dan diinjak-injak tanpa ampun. Ini masih tahap awal penyiksaan. Tangan mereka diikat ke belakang punggung serta matanya ditutup dengan kain agar tidak bisa melarikan diri. 

“Masukkan mereka ke dalam truk,” perintah salah seorang dari mereka. Sebuah truk bermoncong besar, mendekat ke arah mereka. Satu per satu dari mereka diangkat dan dilempar dengan kasar ke dalam truk. Mereka diperlakukan seperti barang rongsokan yang siap disetor kepada pengepul atau jika benar-benar tidak berguna lagi, tinggal buang ke TPA.

Terdapat tiga buah truk untuk mengangkut para warga. Truk itu dibawa meninggalkan tempat itu dan berjalan beriringan dengan enam mobil jeep willys milik anggota regu tentara. Ratapan menyedihkan juga mengiringi perjalanan mereka melewati jalan setapak, masuk ke dalam perkebunan sawit lalu kurang lebih dua puluh menit perjalanan, rombongan itu sudah sampai di tempat tujuan. Jeritan orang-orang di dalam truk semakin kencang. Mereka tahu tempat itu, itu adalah Sungai Ular , tempat eksekusi.

***