cover landing

Perfect Competition

By Sekar Aruna


PROLOG

 

“Kamu enggak akan pernah menang bersaing denganku dalam hal apa pun, Isvara. Aku selalu menang jika berkompetisi denganmu.”

“Oke, oke. Aku enggak pernah meragukan kemampuanmu. Tapi ada satu kompetisi yang menurutku akan susah untuk kamu menangkan.”

Satu alis Naga terangkat. Dia memajukan kursinya, tampak tertarik dengan kata-kataku. “Apa itu?”

“Memenangkan hatiku. Dari dulu kamu selalu gagal melakukan itu.”

“Kamu pikir aku masih mengejar kompetisi itu?” cibir Naga.

 

***

 

BAB 1


            "Var, ada anak baru loh. Katanya sih kece," celetuk Grandhys ketika aku menyalakan
laptop.

"Anak baru? Kapan rekrutmennya?"

"Enggak pakai rekrutmen, Var. Dia ponakannya Pak Wishaka, empat tahun gabung sama salah satu Big Four. Gosipnya, dia itu mau rekanan sama Pak Wishaka, makanya kedatangannya ke kantor ada kemungkinan dia bakal gantiin posisinya Mas Galang."

Aku mengernyit. Enak banget enggak pakai rekrutmen. Aku saja kembang kempis ikutan rekrutmen sana-sini masih saja susah kecantol. Yah, zaman sekarang namanya kekuatan koneksi lebih berarti daripada kemampuan pribadi, kan? Ups!

"Bentar, kamu kok sok kenal banget sama anak baru ini. Udah ketemu orangnya? Emangnya dia semenarik apa?"

Grandhys meletakkan ponselnya di atas tumpukan kertas di sudut kiri meja, menggeser kursinya mendekatiku dan dia berkata pelan, "Soalnya dia ganteng, Var. Sejauh ini di kantor kita enggak ada yang mukanya eye catching kayak dia."

"Standar ganteng antara aku dan kamu itu beda, Dhys. Ganteng versimu itu cenderung ke muka. Aku bisa bilang itu cowok ganteng kalau dia punya pendirian dan enggak gampang terpengaruh rayuan orang.”

"Yah, Vara. Kamu terlalu mengada-ada. Setiap pertemuan pertama, mana bisa langsung tahu gimana sifatnya seseorang. Enggak usah munafik, kamu pasti fokus ke wajah atau fisiknya tiap ketemu orang pertama kali buat menyimpulkan kesan pertama. Sebagai cewek, harusnya kamu terpesona sama Nagara ini."

"Nagara?"

"Namanya Nagara Anggasta, Vara."

Kumpulan udara yang kuhirup serasa bergumul sesak menyusupi rongga paru-paru. Hanya ada satu orang di dunia ini yang aku kenal bernama Nagara Anggasta. Nama yang sudah aku ke sampingkan dari memori. Meskipun terdapat kemungkinan di dunia ini ada orang yang memiliki nama sama, tapi setahuku untuk nama yang satu ini termasuk dalam kategori langka, karena perpaduan antara Nagara dan Anggasta bukanlah pasaran.

Adalah waktu yang menggerus ingatanku tentangnya. Waktu pula yang merekonstruksi saraf otakku sehingga otomatis memulihkan memori tentang dia. Kuharap anak baru ini bukan orang yang sama seperti dugaanku.

"Kamu enggak bercanda kan, Dhys?" nada suaraku meninggi.

Kursi yang diduduki Grandhys berdecit saat dia refleks memundurkannya. "Enggaklah, Var. Kenapa, sih? Mendadak parno itu muka."

"Dia masih di ruangan Pak Wishaka? Aku mau lihat tampangnya."

"Aseeek, penasaran juga, kan?" Grandhys berseru girang.

"Aku enggak penasaran, cuma memastikan," elakku seraya mengibaskan tangan di depan muka Grandhys, tetapi suara berat seorang lelaki mencegahku beranjak dari bangku.

"Isvara?"

Kepalaku menoleh ke arah seseorang yang bersandar di rak tempat penyimpanan odner. Lelaki asing yang pasti bukan salah satu karyawan kantor ini.

Apakah dia Nagara yang dimaksud Grandhys? Kalaupun dia orang yang sama, tapi kok beda? Mukanya makin bersih, tak ada lagi jerawat seukuran biji-biji semangka bertakhta di keningnya. Benar-benar mulus, semulus pantat bayi yang barusan brojol. Aku curiga Naga menginvestasikan separuh gajinya untuk melakukan operasi plastik. Kumis tipis yang tumbuh di atas bibirnya sangat simetris, pertanda dia memperhatikan betul-betul detail penampilan wajahnya.

"Long time no see," ujarnya melengkungkan kedua sudut bibir.

Telunjuk Grandhys bergantian bergerak ke arahku dan pria itu. Mulutnya sedikit membuka, kelihatan banget dia itu sangat terpukau menyadari kenyataan bahwa lelaki yang masih bersandar di rak itu mengenaliku. Padahal, aku tidak mengenalinya—maksudku dengan penampilan dia saat ini aku sama sekali tidak kepikiran bahwa aku pernah mengenal orang ini.

Mataku memicing saat lelaki itu berjalan mendekatiku. Kedua tangannya bertumpu pada meja, menatapku di balik lensa kaca mata frame berwarna biru tua. "Caramu melihatku seperti melihat hantu. Masih sama, seperti terakhir kali aku bertemu denganmu."

Ujung kelopak mata kananku berkedut. Mendengar kalimatnya barusan membuatku yakin bahwa lelaki di hadapanku ini memang beneran Nagara Anggasta yang aku kenal. Terkejut? Banget. Apalagi selama empat tahun aku jadi stafnya Pak Wishaka, baru tahu kalau Naga adalah keponakannya. Empat tahun pula aku dan Naga menempa ilmu di perguruan tinggi yang sama, aku tidak tahu kalau dia memiliki paman seorang pemilik salah satu perusahaan jasa akuntan publik dkota gudeg ini.

Dia adalah Nagara Anggasta. Lelaki rekan seperjuangku yang berkali-kali membuatku tersungkur. Lelaki yang pernah terpaksa kutemani minum kopi sampai dini hari. Lelaki yang berlindung di balik perasaan untuk mendapatkan segala keinginannya. Lelaki yang pernah kusumpahi semoga tidak bertemu dengannya lagi.

"Naga," sapaku datar. "Caramu melihatku juga seperti dua ekor kucing jantan berkelahi memperebutkan kucing betina. Masih sama seperti terakhir kali aku berjumpa denganmu."

"Perubahan zaman kayaknya sama sekali enggak mempengaruhimu, Isvara. Aku enggak heran kalau saat ini kamu masih sendiri. Udah pernah kubilang, enggak ada lelaki yang bisa pahamin kamu kecuali aku. Tapi kamu terlalu pandai bermain alibi," balas Naga kalem.

"Kamu ...." Satu tanganku sudah terangkat hendak melayang di pipi Naga bila saja suara batuk Grandhys yang sengaja direkayasa tidak muncul tiba-tiba.

"Uhuk."

Aku dan Naga menoleh bersamaan ke arahnya.

"Kalian ini ternyata udah pada kenal, to? Jadi, maksudnya cowok nggak punya pendirian dan gampang terpengaruh rayuan orang itu Nagara ini to, Var?"

Kuarahkan delikan tajam ke mata Grandhys. Tidak mengklarifikasi, kedua tanganku malah mengepal persis di depan mukanya. Naga menukikkan alisnya dibarengi kuluman senyum menyebalkan.

"Kamu ...." Telunjuk Naga mengarah ke wajah Grandhys.

"Aku Grandhys," sahut Grandhys mengulurkan tangannya yang disambut hangat oleh Naga.

"Aku tahu, Grandhys. Maksud aku itu, kamu ... kamu ke mana aja kok baru nongol sekarang di kehidupan aku," celetuk Naga garing.

Kuusap perutku, menyugesti diri sendiri supaya tidak muntah. Rayuan Naga berpotensi membuat perutku mulas dan merusak gendang telinga. Grandhys terlihat salah tingkah menanggapi rayuan receh Naga. Aku mendengkus malas. Duh, tak ada kemajuan. Sama saja, Ga. Dari dulu kamu tetap murahan.

"Perubahan zaman kayaknya juga sama sekali enggak mempengaruhimu, Naga. Enggak heran kalau saat ini kamu masih sendiri. Lha, gombalan kamu recehan gitu. Murah banget berasa obralan celana dalam sepuluh ribu dapat tiga," cetusku sinis.

Naga merapatkan mulutnya, matanya masih menatap lurus padaku. Ada kebahagiaan tersendiri saat melihat Naga speechless. Sudah menjadi andalanku, apa pun yang dikatakan Naga padaku akan aku kembalikan sampai dia tak mampu berkutik. Saat dia kehabisan kata-kata, saat itulah aku merasa puas karena berhasil memperdayai dirinya. Jadi Naga, kalau kamu ingin mengulang waktu tentang kebersamaan kita, sebaiknya aku dan kamu bisa berkompetisi secara sehat. Seperti dulu.

Sementara Naga mematung, aku beranjak ingin mencari udara segar. Aku mau meningkatkan kualitas mental—setidaknya biar bisa mengimbangi kekuatan Naga—karena aku mengendus sesuatu yang bakal menyebabkan pengulangan peristiwa bertahun-tahun lalu.

"Mau ke mana, Var?" seru Grandhys.

"Ke mana-mana hatiku senang," cetusku terus melanjutkan langkah.

"Tunggu, Vara!" Naga memanggil, mencekal lenganku saat mencapai ambang pintu. "Urusan kita belum selesai."

"Urusan? Aku enggak ngerasa memulai urusan sama kamu, Ga. Jadi enggak ada yang perlu diselesaikan. Lepasin, ah." Aku menyentak keras tangan Naga yang mengetat di lenganku.

"Yakin? Urusan hati kamu, udah selesai?" Cekalan tangannya mengendur beralih mencengkeram pundakku.

"Urusan hatiku itu bukan urusan kamu. Kamu sendiri yang bilang buat mengikhlaskan apa pun yang terjadi. Mau kamu sekeras apa pun jawabanku masih sama, Ga."

"Kamu salah paham, Var. Maksud aku bukan urusan hati yang itu, tapi urusan hati tentang kemantapan kamu bekerja di sini."

Sekali lagi aku menyentak tangan Naga, menyingkirkannya jauh-jauh dari pundakku.

"Pak Wishaka bilang manajer audit di sini udah resign. Artinya, untuk saat ini terjadi kekosongan jabatan di sana. Kamu, dianggap sebagai kandidat terkuat untuk mengisi posisi itu, tapi itu sebelum aku datang ke sini karena sekarang ada orang lain yang juga bakal dipromosikan untuk menempati kursi manajer itu.

"Kamu tahu kan, suatu saat nanti aku bakal rekanan sama Pak Wishaka. Makanya sebelum mulai peran yang besar ada baiknya dimulai dari peran kecil dulu. Menjabat manajer misalnya," ujar Naga menyilangkan tangannya di dada, dia makin intens menjatuhkan pandangannya padaku.

Firasatku bergejolak. Jangan bilang orang lain yang dimaksud itu adalah Naga. Alarm tanda bahaya di tubuhku berbunyi.

"Rasanya menyenangkan mengulang kenangan yang berserakan untuk dirangkai menjadi kesatuan utuh. Iya kan, Var?"

Sengaja tidak kutanggapi. Aku ingin dengar ocehan dia yang senang membanggakan diri seperti biasanya. Kubiarkan dia berceloteh yang biasanya berujung membuka aibnya sendiri.

"Udah siap berkompetisi denganku lagi, Vara?" tanya Naga sembari menjentikkan jarinya di depan wajahku.

Kunaikkan daguku sedikit. "Setidaknya aku dipromosikan melalui jalur murni atas kemampuan pribadi, bukan karena relasi. Memiliki pengalaman bekerja di perusahaan jasa profesional yang berafiliasi dengan perusahaan ranking empat besar di dunia bukan jaminan kamu memiliki kualitas unggul. Secara kualitas otak, aku tidak meragukanmu. Tapi, kamu harus mengubah sikap kalau kamu mau berhasil menjadi seorang pemimpin."

"Aku udah berhasil menjadi pemimpin waktu masih di BEM, Var. Kurasa pengalamanku selama memimpin di sana bisa kujadikan dasar buat mengarahkan kalian di kantor ini. Pertanyaannya cuma satu, udah siapkah kamu menerima aku jadi pimpinan kamu suatu saat nanti?" Naga meletakkan telapak tangan kanannya di atas kepalaku.

"Enggak. Pimpinan di sini tetap Pak Wishaka, walaupun suatu saat nanti kamu beneran rekanan sama dia. Sebelum kamu menguasai kantor ini. aku udah angkat kaki dari sini, Ga. Kamu enggak pantes gantiin posisinya Pak Wishaka," geramku seraya menepis tangannya.

"Santai aja dong, Var. Sentimen banget sih kamu sama aku. Aku emang enggak pantes jadi pimpinan kamu di kantor ini, tapi kalau jadi pimpinan rumah tangga buat kamu masih pantes, dong?"

"Minggir sana! Kamu itu menghalangi jalanku! Enggak nyadar punya badan gede apa?" Aku memukuli lengannya biar dia mau menggeser posisi berdirinya.

"Kan, kamu yang mulai duluan menghalangi jalan aku buat masuk ke pintu hatimu," ucap Naga malah merentangkan tangannya semakin menutup akses jalanku.

Aku berteriak saking kesalnya. "Naga! Kenapa sih, harus kamu yang jadi keponakannya Pak Wishaka? Kalau kamu enggak minggir dari situ, aku tendang aset masa depan kamu."

"Janganlah, Var. Masa depan aku kan, masa depan kamu juga."

Plak!

Sesaat aku tercenung menyadari tindakanku. Ini bukan kali pertama aku menampar Naga. Aku pernah melakukannya dulu. Naga menggosok pipinya kemudian dia menggeser badannya, memberikan akses jalan untukku.

"Vara," panggil Naga.

Kakiku berhenti pada langkah ke sepuluh, tapi aku tidak menoleh kepadanya.

"Enggak kangen ngopi bareng aku? Kamu harus dengar ceritaku biar enggak salah paham."

Tanpa menanggapi kalimat Naga, aku melanjutkan langkah menuju tempat mana saja yang tersedia udara segar, kalau perlu sekalian berjemur di pelataran kantor. Menyerap energi dari matahari pagi. Kedatangan Naga di kantor ini sungguh mengguncang diri. Harus bersaing dengannya lagi sepertinya sudah menjadi tradisi. Benar, kayaknya aku harus mempersiapkan mental lebih dini untuk menghadapi Naga dalam pertemuan sehari-hari.

 

***