cover landing

Pengantin Pengganti

By Nah_Wa


Jika bisa, aku ingin pergi. Berlari sekuat tenagaku untuk pergi. Tapi, aku terlalu mencintai Mama. Hingga, aku hanya bisa diam tanpa bisa berlari atau pun pergi.

Inilah aku, Sang Pengantin Pengganti.

***

 

"Hana!" Suara panik disusul dengan wajah pias mamanya mengundang tatapan bingung Hana.

"Mama, ada apa?" tanyanya bingung. Mengayunkan kaki mendekat, memangkas jarak antara dirinya dan sang mama yang kini berdiri di depan pintu kamarnya dengan wajah pucat pasi.

Seketika Hana dilanda heran. Meski begitu, dia tetap mencoba bersikap tenang.

"Ma!" tegur Hana sekali lagi. Melihat mamanya yang hanya diam tak kunjung menjawab, membuat perasaan Hana menjadi ikut cemas.

Apalagi ketika wajah sang mama penuh keringat dingin.

Apa terjadi sesuatu?

"Kakakmu, Hana. Tias...."

"Ada apa dengan Kak Tias, Ma? Apa terjadi sesuatu dengan dia?" tanya Hana pelan.

Meski Hana penasaran, tapi dia tidak bisa memaksa hingga membuat mamanya kian dilanda panik. Mamanya tidak pernah seperti ini sebelumnya. Tidak, jika tidak ada sesuatu yang urgent.

"Dia lari, Hana. Tias kabur!" Bagaikan disambar petir. Hana membeku, membatu dengan tatapan mata tak percaya. Bahkan mendadak suasana di sekitarnya menjadi pengap. Dia kesulitan hanya untuk sekadar menarik napas.

Ya Tuhan, bagaimana mungkin kurang sehari pernikahan, kakaknya melarikan diri?

Apa yang membuatnya melakukan hal senekat ini, sih?

"Ma, Mama yakin?" tanya Hana begitu sudah menguasai diri dari keterkejutannya. Menatap mamanya menuntut.

Sedang Anes—sang mama—wanita itu pun tak kalah takutnya dengan Hana. Dia sama terkejutnya. Tadi, ketika dia ingin menemui Tias. Ingin berbicara empat mata. Tias ternyata tidak ada di kamarnya. Kamar putrinya kosong, sedang barang-barangnya tidak ada di dalam lemari.

Seketika wanita itu langsung panik. Keluar kamar dan mencari Tias di seluruh ruangan. Berharap jika dia pasti hanya sedang berhalusinasi, atau setidaknya ini hanya mimpi. Namun, begitu dia tiba di kamar Hana. Dia tak kunjung bangun. Semua ini nyata dan dia tidak sedang bermimpi.

"Iya Han. Mama sudah mencari kakak kamu di seluruh rumah, tapi gak ada.  Bahkan Bik Surti katanya terakhir kali melihat Tias pergi lewat pintu belakang kemarin. Sendiri." Penjelasan mamanya dengan suara bergetar membuat Hana merasa tidak percaya.

Kak Tias, bagaimana bisa kamu senekat ini, sih? geram Hana dalam hati.

Hana memejamkan erat matanya. Menghela napas pendek, sebelum menatap mamanya menenangkan. Dia tidak boleh panik seperti Anes. Semua pasti akan baik-baik saja. Ya, pasti begitu.

"Ma, Mama tenang dulu. Sekarang Mama duduk dulu. Ayo masuk!"

Hana menuntun Anes masuk ke kamar. Mendudukkannya di pinggir ranjang, setelah itu dia pun duduk di samping sang mama. Menggenggam erat tangan mamanya yang sekarang sudah sangat dingin.

"Mama gak bisa tenang, Han. Gimana kalau Tias beneran lari? Pernikahan dia besok. Apa yang harus mama katakan pada keluarga Om Bastian kalau begini? Mereka pasti marah."

"Mama gak perlu khawatir, Hana akan cari Kak Tias. Sekarang Mama tenang dulu. Nanti takutnya darah tinggi Mama kambuh," pesan Hana yang sama sekali tak diindahkan oleh Anes.

Anes malah menggeleng dengan ekspresi sedih. Semua sudah siap. Pernikahan Tias sudah di depan mata. Bahkan undangan yang disebar tidaklah sedikit. Apa yang mau dia katakan pada keluarga besar? Terutama keluarga Bastian. Malu seperti apa yang akan dia tanggung setelah ini?

"Mama gak bisa tenang, Han. Mama takut,” pekik Anes menahan tangis.

Ketakutannya bukan hanya soal malu, tapi juga soal usahanya yang sudah di ujung tanduk. Demi pernikahan ini, Bastian sudah membantunya sangat banyak. Mereka berutang budi pada keluarga Bastian.

"Ma, mungkin Kak Tias cuman jalan-jalan. Kita juga kan belum cari di sekitar sini? Biar Hana hubungi nomor ponselnya dulu. Barangkali, dia cuman keliling sekitar sini atau beli sesuatu. Mama gak perlu khawatir."

"Kamu tau kakakmu kan, Han? Dia gak akan mau keluar rumah sendiri. Apalagi akhir-akhir ini dia juga keliatan aneh," tukas Anes, mengingat bagaimana sikap Tias akhir-akhir ini.

"Udah ah, Mama gak usah mikir yang macam-macam. Hana bakal cari Kak Tias sampe ketemu. Mama tenang aja di sini. Nanti Hana bakal hubungi Mama kalau udah ketemu,” ujar Hana menenangkan. Wanita itu terus membujuk mamanya dengan kata-kata yang berharap bisa membuat Anes tenang.

Jujur melihat sikap mamanya yang seperti ini, Hana takut jika mamanya akan kambuh. Kelelahan sedikit saja kadang bisa membuat mamanya sakit, apalagi sampai harus berpikir berat seperti ini.

"Tolong cari kakakmu, Hana! Cuma kamu harapan mama satu-satunya. Mama cuma mengandalkanmu," pinta Anes dengan nada memohon. Meremas tangan Hana yang tak kalah dingin darinya. Dia tahu Hana pasti juga sedang dilanda panik.

Hana hanya mengangguk, memberikan pelukan sekilas sebelum berbalik pergi. Tidak tega dengan mamanya yang terlihat kacau malam ini. Dalam hati, wanita itu berjanji akan mencari kakaknya hingga ketemu. Bahkan, kalau perlu ke seluruh rumah teman-temannya. Hana tidak mau jika karena masalah ini mamanya berada dalam masalah.

Saat ini hanya mamanya yang Hana punya selain, Tias tentunya. Papa mereka sudah lama meninggal. Hampir sepuluh tahun papanya meninggal, tapi sang mama tidak pernah menikah lagi. Dia membesarkan Hana dan Tias seorang diri. Menurut mama Hana, papanya adalah pria terhebat dan cinta pertama sekaligus terakhirnya. Hingga detik ini mamanya tidak pernah berencana menikah lagi.

Wanita itulah yang mati-matian mencukupi kehidupan mereka dengan beberapa usaha peninggalan papanya. Bersyukur, papa Hana masih meninggalkan banyak warisan. Namun, dua tahun terakhir ini usaha mereka mengalami masalah, hingga terancam bangkrut jika tidak menemukan titik terang. Meski Hana juga memiliki usaha WO kecil-kecilan, tapi penghasilannya tidak banyak membantu.

Karena itulah sahabat almarhum papanya, Bastian, menawarkan bantuan. Namun dengan satu syarat, salah satu putri Anes harus bersedia menikah dengan putra Bastian. Saat Bastian berkunjung, pria itu melihat Tias untuk pertama kalinya. Tidak butuh waktu lama untuk menjatuhkan pilihan pada Tias sebagai calon menantu.

Waktu itu Tias tidak menolak, sehingga beberapa kali kakak Hana itu bertemu dengan putra Bastian. Tidak banyak yang Tias katakan pada Hana, hanya saja dari ekspresi Tias, Hana tahu jika sang kakak terlihat menyukai calon suaminya. Terbukti mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik sekedar jalan-jalan atau menonton film.

Singkat cerita, setahun sudah hubungan mereka terjalin. Kedua belah pihak pun merencanakan acara pernikahan. Besok adalah hari pernikahan mereka, tapi malam ini kakaknya tidak ada di kamar. Pergi tanpa pamit.

"Bik Surti." Hana yang baru turun dari tangga pun masuk ke dapur, di mana ada beberapa orang yang tengah sibuk berbincang.

Karena acaranya besok, banyak saudara yang menginap di rumah mereka. Hingga suasana rumah sedikit lebih ramai dari biasanya. Ada keluarga besar yang berkumpul, sekadar mengobrol dan membahas masalah pernikahan besok.

"Iya, Mbak. Ada yang bisa bibik bantu?" tanya Surti sembari mendekat. Ada nada canggung di sana. Maklum dari tiga majikannya, hanya Hana yang jarang ada di rumah ini.

Hana lebih sering ada di luar ketimbang di rumah. Lagi pula, usahanya berada di Bali. Yang otomatis Hana lebih sering tinggal di Bali ketimbang di rumah mamanya. Otomatis interaksi mereka pun menjadi jarang. Hana yang introver, kadang jika pulang langsung mengurung diri di kamar. Berbeda dengan Tias yang sehari-harinya berkegiatan di rumah.

"Ikut Hana sebentar ya, Bik!" Surti mengangguk setuju. Mengikuti Hana yang berjalan keluar dapur.

Hana membawa Surti ke halaman belakang. Berdiri di dekat kolam renang dengan pencahayaan remang-remang.

"Bibik tau kalau Kak Tias kemarin keluar dari pintu belakang?" tanya Hana begitu mereka berdiri saling berhadapan.

"Punten Mbak, bibik memang liat. Tapi bibik gak tau kalau Mbak Tias bakal pergi gak pulang lagi."

Hana menahan napas mendengar penjelasan Surti. Apa semua ini sudah sang kakak rencanakan? Memikirkan itu mendadak Hana menjadi kian gelisah.

"Bibik gak nanya dia mau pergi ke mana?" tanya Hana yang dibalas gelengan kepala berulang-ulang oleh Surti.

"Gak, Mbak. Karena biasanya Mbak Tias kalau pergi gak pernah sendiri, pasti ngajak saya atau Ningrum."

Ningrum adalah putri dari Surti. Dia masih duduk di bangku SMA dan lumayan dekat dengan Tias. Dari cerita yang Hana dengar, Tias akan lebih sering menghabiskan waktu dengan Ningrum. Sekadar berjalan-jalan atau nonton.

"Lalu di mana Ningrum sekarang, Bik?" Hana celingak-celinguk. Mencari keberadaan putri tunggal Surti.

"Ningrum ada, Mbak. Apa mau saya panggilkan ke sini?" tawar bik Surti yang disetujui oleh Hana.

"Ya, tapi jangan terlalu ribut ya, Bik. Saya gak mau yang lain tau soal masalah ini. Ini masih rahasia kita," pesan Hana begitu Surti sudah akan pergi.

"Inggih, Mbak."

Surti pergi meninggalkan Hana yang kini dilanda rasa panik dan gelisah. Kemungkinan besar sang kakak memang kabur. Apa yang akan dia katakan kepada mamanya jika semua itu terjadi? Apa mamanya sanggup mendengar kabar itu?

Apalagi, ini sudah hampir pukul delapan malam. Namun, belum ada tanda-tanda kakaknya akan kembali. Besok status Tias tidak akan lagi sama. Sekalipun sang kakak tidak kabur, dia tetap salah karena pergi tanpa pamit. Rasanya Hana benar-benar ingin memaki kakaknya itu. Apa dia tidak tahu apa yang dia lakukannya ini sudah sangat keterlaluan?

Sembari menunggu Surti yang memanggil putrinya. Hana sibuk berkutat dengan ponsel di tangan. Tangannya bergerak lincah di atas layar ponsel. Sesekali menempelkan ponsel di telinganya, lalu mendesis ketika suara operator yang menjawab panggilannya. Nomor kakaknya tidak aktif.

Sialan. Apa belum cukup kakaknya selama ini menyulitkan mama mereka? Kenapa Tias setuju menikah jika pada akhirnya dia lari seperti ini?

"Mbak?"

Terlalu asyik dengan ponsel, Hana sampai tidak sadar jika dua asisten rumah tangga sudah berdiri canggung di depannya. Surti dan Ningrum tampak salah tingkah begitu ditatap intens oleh Hana.

"Ningrum?" panggil Hana pada gadis muda di depannya.

"Iya, Mbak?"

"Kamu tau jika kakak saya pergi dari rumah?"

Ningrum yang menunduk dalam, mendongak begitu mendengar pertanyaan Hana. Majikannya yang satu ini tidak pernah banyak bicara.

"Pergi?" ulangnya terdengar heran.

"Iya. Kakak saya kabur. Kamu tahu soal itu?" Hana memperjelas kata-katanya.

"Gak Mbak, saya gak tau," balas Ningrum cepat.

"Sumpah Mbak, saya beneran gak tau soal Mbak Tias yang kabur. Beliau tidak bilang apa-apa soal itu, bahkan gak pernah cerita kalau ingin pergi di hari pernikahannya," tambahnya buru-buru. Tidak ingin jika majikan ibunya berpikir yang bukan-bukan tentangnya.

Ningrum sama sekali tidak tahu soal Tias yang tidak ada di kamarnya. Lagi pula, dua hari terakhir dia sibuk membantu ibunya membersihkan rumah untuk acara besar majikannya. Yang katanya akan didatangi oleh banyak kerabat dari luar kota.

Hana memijit pelipisnya kuat-kuat. Berusaha meredakan nyeri yang mendadak menyerang. Kakaknya benar-benar. Ada di mana sih dia?

"Dia pernah bahas soal pernikahannya sebelum ini gak sama kamu?" Ningrum menggeleng pasti.

"Terakhir saya antar Mbak Tias ke toko buku, Mbak Tias gak bilang apa-apa, Mbak. Cuma, belakangan dia jarang ketawa. Saya kira dia nervous karna sebentar lagi mau nikah," cicit Ningrum canggung.

Hana mengangguk mengerti.  "Ya udah begini saja. Bik Surti, saya minta tolong untuk mencari Kak Tias di sekitar kompleks dengan Pak Mudin. Cuma ingat, jangan terlalu mencolok! Usahakan jangan ada yang tau kalau kita kecolongan!" pesan Hana pada Surti tegas.

"Iya, Mbak." Surti menyanggupi.

"Sedang kamu, Ningrum. Kamu ikut saya. Kita datangi tempat-tempat yang sering kakak saya datangi. Kalau perlu ke rumah teman-teman dekatnya. Kita datangi semua. Saya gak mau tahu, malam ini kita harus bisa menemukan Kak Tias. Apa pun yang terjadi, Kak Tias harus ketemu." Tekad Hana sudah bulat.

"Iya, Mbak,” jawab Surti dan Ningrum berbarengan.

***