cover landing

Pengabdi Jomblo

By Mauulanawisnu


Giant menarik napas panjang, seperti dalam pikirannya tampak  bertumpuk kata-kata mutiara yang siap diucapkan. Belajar dari buku kisi-kisi ujian sekolah, dia mencoba merangkai kata demi kata dengan indah. Dia menarik lengan seseorang yang ada di depannya dengan penuh kelembutan, kemudian menatap matanya begitu lekat.

"Aku tak tahu kenapa air di laut sangat banyak, yang aku tahu perasaanku padamu tak terbendung. Aku tak akan menyuruhmu menghitung indahnya bintang di langit, nanti capek. Kamu cukup hitung berapa kali namamu aku pikirkan setiap harinya." Giant kemudian meraih tangan yang satunya lagi, kini kedua tangan seseorang yang ada di depannya dia genggam erat.

"Jikalau memilih presiden itu adalah kebebasan politik, maka aku tunggu jawabanmu dalam kebebasan perasaan ...." Kemudian dia terdiam sejenak.

"Kamu mau gak jadi pacar aku?"

"Astaga jijik banget!" Setelah menahan napas, akhirnya gue merasakan mual dengan tatapannya. Gue melepaskan kedua tangan yang sedari tadi dia genggam.

"Eh, Kampret, gimana? Bagus gak kata-kata nya?" tanya Giant penuh harap. Wajahnya memerah juga mengeluarkan keringat kecil—latihan saja membuatnya berkeringat seperti habis lari keliling Monas, bagimana kalau beneran nembak cewek? Mungkin dia sudah tak sadarkan diri karena gugup.

"Ribet amat. Lu udah berapa kali latihan nembak cewek sama gue? Latihan mulu, kapan beraninya?"

Seringkali Giant mengajak gue berlatih menembak cewek, mengungkapkan rasanya dengan semua kata-kata yang dia punya—sayang keberanian Giant itu kayak  deodoran, tak pernah terlihat.

Sekarang gue sama Giant berada di dalam toilet sekolah pada jam istirahat. Sebelum ke kantin, Giant memaksa gue pergi ke toilet untuk menemaninya berlatih menembak cewek. Gue masih gak paham kenapa dia selalu mengajak gue latihan di toilet, kalau saja anak-anak melihat apa yang dia lakukan, kita bisa mampus dibully satu sekolahan.

"Kan latihan, kudu matang dulu."

"Eh, nembak cewek gak usah ribet, pake bawa bintang di langit. Apa lagi pake bawa presiden, lu nembak cewek apa mau kampanye?" Gue merapikan rambut di cermin wastafel. Hampir muntah gue kebanyakan lihat muka dia, namun kadang berkorban demi teman itu indah—ya meski kadang rasanya membunuh seorang teman juga sangat menggoda.

"Mau ke mana lu?"

"Ke kantin," jawab gue membuka pintu toilet lalu pergi.

Jomblo, ya manusia hidup memang dilahirkan dalam keadaan jomblo, tapi sudah ditakdirkan jodohnya sedari dalam kandungan. Gue dan Giant adalah remaja yang sedari dalam kandung selama sembilan bulan sampai umur belasan tahun seperti ini belum juga merasakan apa yang namanya pacaran. Kita hanya mendengar kata cinta itu hanya sebatas ‘katanya cinta itu indah’, ‘katanya cinta itu buta’, ‘katanya Cinta itu Laura’, ‘katanya Cinta Kuya itu anak rumah Uya’. Semua cinta yang gue tahu hanya sebuah kata sederhana yang membuat remaja rela berkorban deminya.

“Al, lu udah deh, gak usah berusaha terus dekati Aisah.” Giant menyusul gue yang berjalan dan kembali membujuk gue untuk melupakan Aisah.

“Kenapa emangnya?”

“Aisah udah punya pacar,” lanjut Giant.

“Siapa?” Gue refleks berhenti berjalan dan menatap Giant dengan serius.

“AAAAAAIIIISAH JATUH CINTA PADA JAAAMILAAAAAAAH….” Giant malah bernyanyi dan bergoyang aneh. Bukan seperti manusia normal bergoyang, dia lebih mirip seperti cicak lagi zumba.

“Bodo amat!” ketus gue emosi dan melangkah lebih cepat untuk meninggalkan manusia aneh itu. Giant tertawa melihat gue kesal untuk kesekian kalinya. Emang dia tuh tipe orang kalau gak bikin pengen muntah, ya pengen nendang sampai jauh ke angkasa seperti musuh Pikachu.

“Lagian apa bagusnya Aisah? Dia itu cuman cantik, imut, putih, tinggi, menawan, menggoda,” lanjut Giant tak henti mengoceh.

“Eh, emang dia sempurna, Al. Gue dukung lu!” teriak Giant menyusul gue yang berjalan tanpa pernah menoleh sedikit pun ke belakang.

Kantin SMA Maju—mundur cantik. Bukan-bukan, Gue bersekolah di SMA 07 PAGI Bandung. Gue kira sekolah ini adalah SMA setengah tujuh pagi. Karena lima belas menit sebelum bel berbunyi, gerbang sudah di tutup. Mungkin ini dilakukan supaya banyak yang telat, itu sih menurut gue yang harus kena hukum karena masuk sekolah telat satu menit lima belas detik. SMA ini sepertinya harus menerapkan ketepatan waktu karena jika murid terlambat masuk sekolah, pihak sekolah tidak mau berisiko mengganti nama menjadi SMA 07 lebih semenit pagi Bandung.

“Eh tahu gak?” suara Giant tiba-tiba terdengar di samping gue.

“Gak!”

“Bangke lu!” kecut Giant.

“Tahu gak? Si Merry kemarin habis nolak dua cowok anak kelas sebelas IPA, kurang keren gimana coba dia,” kata Giant dengan penuh semangat.

“Lu tahu gak presiden Zimbabwe?” tanya gue.

“Kagak lah! Lagian kagak penting buat gue,” jawab Giant cepat.

“Itu juga jawaban gue pas lu bahas soal si Merry.”

Merry, Merry, dan Merry. Itu saja yang selalu diceritakan Giant dan murid-murid cowok lainnya. Seperti tidak ada cewek lain yang bisa dibicarakan, padahal masih banyak cewek di sekolah ini kayak si Eti, Nurmini ataupun Sukaesih anak Pak Mantri. Tetap saja, Merry seakan-akan dewi bagi mereka.

 Saat dia menolak cowok ganteng yang menembaknya, kabar itu akan lebih heboh dari hasil ulangan atau ujian sekolah. Entahlah niat mereka ke sini mau sekolah atau mencari jodoh, dikira ini sekolah take me out kali ya.

Kantin kembali riuh dengan suara histeris, meja yang di tempati Merry dan komplotan cewek-cewek gemas lainnya didatangi Ulil dan segerombolan orang di belakangnya yang sedang menari ala Korea. Ulil berjalan mendekati Merry yang saat itu tengah melahap bakso, membuat dia meletakan sendoknya di atas meja. Ulil tampak bekerja sama dengan radio sekolah, pasalnya lagu D’masiv  Jangan Menyerah yang dirikues Adam berubah menjadi musik romantis. Gue yakin Adam yang lagi healing di kelas sendiran karena habis ditolak cewek kecewa mendengar lagu rikuesannya diganti.

You are beautiful. Mau gak jadi pacar aku?” Ulil setengah berjongkok memberikan sepucuk bunga di hadapan Merry yang memasang wajah jijik. Inilah pemandangan kantin tiap harinya, selalu ada orang aneh yang menembak Merry di kantin. Kadang gue pengen masukin racun ke makanan mereka agar segera sadar. Sekolah harus segera melakukan vaksin antibucin di sekolah ini, sebelum para cowok semakin beringas dan gila akibat satu wanita.

“GAK!” jawab Merry tegas lalu pergi dari kantin. Di sudut lain Mang Usam terihat panik karena bakso yang dimakan Merry belum dibayar.

Semua bersorak kecewa, acara menembak Ulil yang mirip reality show Termewek-Mewek itu gagal mejadi bahagia.

“Ya Pemirsa, jadi seorang cowok ditolak Merry lagi, mari kita tanyakan kenapa dia sampai ditolak Merry.” Seorang cowok harusnya ada di kantin dengan tim kameramen.

“Kenapa dengan kamu?”

“Iya, mungkin Merry gak suka BTS. Sukanya EXO, jadi dia nolak aku karena tadi teman-teman aku malah puter musik SMASH,” jawab Ulil seharusnya.

“Ya Pemirsa, ternyata musik yang disukai cewek berpengaruh besar pada keputusan besar dia mau atau enggak menjadi pacar seseorang. Jadi bagi kalian yang mau menembak cewek, coba selidiki dulu dia suka musik apa saja. Siapa tahu cewek yang kalian taksir suka sama musik iklan ritel ternama di Indonesia. Saya Ujang Siluman dari TKP melaporkan, selamat bertemu di kesempatan lainnya.”

Ya karena gagal acara itu langsung TAMAT.

Tapi, sudah-sudah lupakan semua itu, imajinasi gue selalu melayang membayangkan yang aneh. Mari kita kembali ke kantin dan melupakan khayalan yang terjadi jika Ulil disponsori oleh tim Katakan Dong Bangke.

“Apa kata gue, si Ulil aja yang tiap pagi bawa motor Ninja ke sekolah aja bisa di tolak.” Giant berdecak kagum. “Memang gak sebarangan cowok yang bisa dapetin dia,” lanjutnya.

“Alah mau dia ke sekolah pake Ninja ataupun atau pake mobil ambulans sekalipun, itu gak ngaruh sama pacaran. Harusnya ya, kalau sama-sama cinta, masalah ekonomi, fisik dan kecerdasan bukan jadi tolok ukur mereka,” jawab gue seperti ahli cinta.

Ulu sok bijak lu!”

“Lihat tuh Aisah,” tunjuk gue pada wanita berponi yang tengah mengobrol di samping Undang, jangan tanyalah siapa Undang. Dia aja gak pernah cari tahu siapa dirinya sendiri.

“Aisah itu gak cantik, dia itu gak terkenal kayak Merry. Tapi karisma dia itu memancar sampai ke Afrika,” ujar gue takjub.

“Karisma itu motor tetangga gue! Lu ngehina?”

“Eh, Buntet, bukan motor maksud gue. Itu loh pancaran auranya uhhh.”

“Ya udah, kalau lu berani sekarang datangi dia.”

“Buat apa?”

“Buat buktiin kalau lu tuh berani, minimal lu ke sana terus buat dia senyum. Nah, kalau itu terbukti, gue bakal setuju sama omongan lu soal si Aisah yang cantik.”

Giant menantang kejantanan gue untuk menemui Aisah, itu perkara kecil. Gue dan Giant adalah dua sosok jomblo yang berbeda. Gue mempunyai warna kulit yang putihnya itu agak kurang karena sering dijemur emak dari kecil. Kadar ketampanan gue memang standar, tapi jangan ditanya berapa cewek yang tergila-gila dan ingin jadi pacar gue—ya, jawabannya gak ada, sad boy banget sih hidup gue.

Kalau si Giant ini, dia lebih putih dari gue. Mungkin kebanyakan ngemil pelembap emak nya  pas kecil. Gue dan Giant itu teman sekelas, dan senasib. Jomblo dan jomblo, tapi kita berdua punya tipe cewek yang berbeda. Gue menyukai cewek yang sederhana, kayak warteg yang sederhana tapi bikin kenyang—kerasa nyangkut di hati. Sedangkan Giant itu lebih suka cewek cabe-cabean yang kalau pake bedak bisa ngabisin uang jajan sebulan.

“Oke, gue berani,”

“Sok mangga,” tantang Giant.

Gue berjalan ke meja tempat Aisah duduk. Tanpa berlama-lama gue langsung beraksi, Aisah langsung tertawa ketika mendengar gue ngoceh. Dari jauh Giant hanya bisa mengerutkan dahinya.  Gue sukses membuat geng Aisah untuk tertawa.

“Gimana?” Gue kembali duduk ke tempat semula.

“Anjir keren,” jawab Giant bertepuk-tangan.

“Emang lu tadi ngomong apa sama mereka?” tanya Giant mulai kepo kenapa Aisah dan geng nya bisa tertawa secepat itu.

“Gue bilang, kalian tahu gak? Cowok di sana itu namanya Giant, dia bisa makan cicak sambil tahan napas,” jawab gue sembari tertawa.

“Bangke lu! Kenapa gak sekalian lu bilang kalau gue ayahnya Bowo.”

“Bowo siapa?”

“Bowo amat!”

“Itu bodo, Kampret!”

***