cover landing

Overtones

By kakahy


Kani menuruni tangga sambil berlari cepat. Tujuannya saat ini adalah ruang guru yang terletak di lantai dua gedung kelas dua belas. Meskipun sudah berlari, ritme napasnya masih stabil dan teratur saat dia sampai di ruang guru. Hal itu tentu saja berkat latihan fisik selama dia bergabung di klub futsal sekolah.

Memasuki ruang guru, Kani melihat Coach Andi sedang mencantolkan tasnya ke bahu, seperti bersiap-siap untuk pergi. Buru-buru Kani menghampiri pelatih sekaligus pembina klub futsal itu.

"Coach Andi, bisa bicara sebentar?"

Coach Andi tampak terkejut melihat kehadiran Kani yang tiba-tiba. "Bikin kaget saja kamu. Iya, ada apa?"

"Ini soal basecamp, Coach. Klub futsal masih punya hak sama ruangan itu, kan?" tanya Kani tanpa basa-basi.

Wajah Coach Andi tampak keheranan. "Iya. Ada apa memangnya?"

"Anak-anak klub bola nggak ngasih akses Lala buat masuk ke dalam basecamp. Mereka juga acak-acak loker penyimpanan punya klub futsal, Coach."

Coach Andi tampak terdiam sesaat. "Pasti terjadi kesalahpamahan di sini," laki-laki di hadapan Kani itu mulai menerangkan. "Memang saya sempat berdiskusi dengan Coach Martin mengenai basecamp yang akan diambil alih penuh oleh klub sepak bola jika klub futsal dinonaktifkan nanti. Saya juga sudah sempat membahas ini dengan Lala."

"Tapi masih nanti, kan? Berarti sekarang kami masih berhak sama ruangan itu. Dan soal klub yang bakal dinonaktifkan, bukannya sekolah udah sepakat untuk ngasih kami kesempatan merekrut anggota baru? Jadi apa hak mereka mengudeta ruangan itu?"

Lalu kenapa kesannya seakan-akan klub futsal sudah pasti akan ditutup, sampai ada pembahasan mengenai kepemilikan basecamp segala?

Sayangnya kalimat lanjutan itu hanya Kani ucapkan di dalam hati. Beruntung di detik-detik akhir Kani berhasil mengerem ucapannya dengan memegangi mulut. Bukan Kani tidak berani melontarkannya, melainkan karena saat ini klub futsal sedang berada dalam masa krisis. Kani tidak ingin menambah kerumitan dengan menempatkan klub futsal dalam posisi yang berbahaya.

Membuat Coach Andi tersinggung bisa saja mempercepat proses dinonaktifkannya klub futsal. Sejak awal ditunjuk untuk menjadi pelatih dan pembina untuk klub futsal putri menggantikan Coach Martin, Coach Andi memang tidak tampak terlalu niat mengembangkan eksistensi klub futsal putri.

Buktinya ketika klub futsal mengalami krisis anggota yang menjadi penyebab diwacanakannya klub agar ditutup, bukannya memberi dukungan dan mencoba mempertahankan eskul ini, Coach Andi seakan menutup mata. Malah sibuk memikirkan basecamp untuk klub sepak bola. Padahal klub futsal putri SMA Nusa Bangga yang sampai hari ini sudah melewati hingga lima angkatan juga memiliki beberapa prestasi yang bisa menjadi pertimbangan.

"Coach bisa lihat ke basecamp sekarang kalau nggak percaya," tambah Kani mendesak.

"Begini saja, Kani. Kamu bicarakan dulu masalah ini sama Rezal. Saya akan urus soal basecamp nanti."

"Coach, maaf, apa nggak bisa diurus sekarang aja?"

"Sekarang saya ada janji di luar sekolah. Saya urus begitu saya sudah kembali ke sekolah." Coach Andi memegang bahunya. "Dan ingat, bicarakan baik-baik. Jangan ada pertengkaran seperti minggu lalu. Saya nggak mau terlibat masalah."

Kani meninggalkan ruang guru dengan kecewa. Kejadian minggu lalu harusnya membuat Kani sadar kalau keberadaan Coach Andi tidak akan berpengaruh menyelesaikan masalah di klub futsal putri, terlebih mengenai perebutan hak basecamp. Keinginan Coach Andi hanya lekas-lekas terbebas dari tanggung jawab bernama klub futsal putri.

Melangkah dengan cepat, nyaris berlari, Kani kembali ke lantai tiga tempat basecamp ekskul berada. Lala, Gita, dan Farah yang sudah menunggu di depan ruang klub serempak menatap Kani begitu menyadari derap langkahnya.

"Gimana?" sambut Lala tak sabar begitu Kani mendekat.

"Diurus nanti katanya."

"Tuh, kan, Coach Andi selalu begitu," Gita berdumel.

"Rezal mana?"

"Lagi ada tes. Pulang sekolah baru bisa ke sini."

"Kalau nunggu Rezal, keburu hancur lebur itu bra gue. Coba lihat deh, di dalam mereka makin brutal."

"Lagian lo ngapain sih bra segala disimpan di sana."

"Buat serep, La, kalau habis latihan. Nggak nyaman tahu pake bra yang basah sama keringat."

Pandangan Kani kembali tertuju ke ruang klub melalui kaca di pintu. Memang benar apa kata Gita. Salah seorang cowok bahkan mengenakan bra pink itu dan menjadikannya bahan lelucon. Menyaksikan pemandangan tersebut, kemarahan Kani terpancing lagi.

Emosi Kani semakin tidak karuan, ketika mendapati Mahesh, otak dari kejadian saat ini tampak duduk tenang di tengah kekacauan yang teman-temannya lakukan. Kalau seperti ini, sih, sudah tidak ada istilah "dibicarakan baik-baik”.

Kani lantas mengeluarkan ponsel. Membuat rekaman singkat yang diarahkan ke bagian dalam ruang klub, setelah itu menoleh pada teman-temannya.

"Ada yang punya nomor handphone Mahesh nggak?" Saking redutnya dengan anak-anak klub bola, Kani sampai tidak merasa penting menyimpan nomor ponsel mereka, kecuali Rezal. Kalau bukan karena mereka sama-sama ketua klub yang mengharuskannya berhubungan dengan Rezal, Kani juga enggan menyimpannya.

"Gue ada," ujar Farah.

Setelah menyalin nomor, Kani langsung menghubungi nomor tersebut.

"Buka pintu ruang klub sekarang atau gue laporin kelakuan teman-teman lo ke Kepala Sekolah. Udah gue rekam. Tinggal gue kasih tunjuk aja, nih," serang Kani.

Seperti biasa, respons Mahesh selalu berhasil menambah runcing permusuhan di antara kedua klub. Yang Kani rasakan selanjutnya adalah dorongan untuk mendobrak pintu lalu menonjok wajah menyebalkan Mahesh.

Menyadari kalau keinginan itu tidak mungkin terealisasi, Kani menendang tembok ruangan klub Selain sadar dirinya bukan manusia super macam Hulk, menghancurkan pintu dengan sengaja berarti melakukan pengrusakan terhadap fasilitas sekolah yang mana ancaman hukumannya adalah skorsing.

"Dia bilang apa?" tanya Lala.

"Katanya, 'Nggak ada satu orang pun yang bisa memerintah gue'."

Ketiga teman klubnya beringsut ke tembok dengan wajah frustrasi.

"Terus gimana, nih?" tanya Lala sambil menatap Kani.

"Udah jelas mereka ngajak ribut. Kita ladenin aja, deh."

Farah yang sejak tadi hanya diam menontoni kemarahan akhirnya bersuara. "Udah mau bel masuk. Percuma juga di sini kalau nggak bisa ketemu sama anak-anak klub bola. Seperti kata Pak Andi, biar nanti beliau yang urus."

Posisi Farah juga adalah mantan anggota klub futsal. Jauh sebelum Kani memutuskan keluar dari klub, cewek itu sudah lebih dulu melakukannya. Dan keberadaannya sekarang pun karena alasan yang sama seperti Kani, sebagai bentuk solidaritas.

Kani mengentakkan kaki bagai anak kecil yang tantrum. "Nggak bisa gitu, Far. Sejak ada wacana klub futsal bakal dinonaktifkan, penindasan yang dilakuin Mahesh ke klub futsal makin merajalela. Ya, kan, La?"

Lala yang sekarang menggantikan tugas Kani sebagai ketua sekaligus kapten klub futsal putri hanya mengangguk lemah tak berdaya. Begitu juga dengan Gita yang tak berhenti mengoceh soal bra merah mudanya yang sudah ternodai.

Tak lama terdengar suara anak kunci yang diputar. Refleks perhatian Kani dan ketiga temannya langsung teralihkan ke arah pintu.

Salah satu anggota klub sepak bola keluar dan bertanya, "Siapa di antara kalian yang barusan nelepon Mahesh?"

"Gue. Kenapa?" semprot Kani seketika.

Cowok itu kembali hendak berbicara, tetapi Kani langsung menyerobot masuk ke dalam ruangan kemudian mendorong daun pintu hingga terbentang lebar. Membuat cowok yang tadi berdiri di ambang pintu menarik langkah mundur karena terkejut.

"Siapa yang ngasih kalian wewenang buat mengubrak-abrik loker klub futsal?" Kani menatap berkeliling, memandangi satu per satu cowok di ruangan itu tanpa merasa takut.

Tidak ada yang menjawab. Tapi wajah cowok-cowok itu juga tidak memperlihatkan tanda-tanda adanya penyesalan karena sudah membuat barang-barang di loker penyimpanan menjadi berantakan.

"Klub futsal masih berhak atas ruangan ini, jadi kalian nggak bisa seenaknya menguasai tempat ini seolah-olah klub futsal udah nggak ada."

Kani melihat Lala, Gita, dan Farah mulai memunguti barang-barang yang tercecer dari loker.  

Kani menghampiri cowok yang mengenakan bra milik Gita dan menghadiahi cowok itu dengan tonjokan di perut. Lalu dengan kasar menyuruhnya melepas benda itu.

Cowok itu mengaduh tapi seringai jahil di wajahnya tak berusaha dihilangkan. "Masih ada lagi nggak, Kan? Ucup katanya mau pinjem, kali-kali butuh, soalnya itu bra warna kesukaan emaknya."

Kani langsung menginjak kaki cowok itu. Dia berharap bisa melakukannya dengan menggunakan sepatu safety milik Om Ragil, yang biasa digunakannya saat bekerja. Dijamin, kaki cowok itu tidak akan bisa dipakai untuk menendang bola lagi.

"Aduh, barbar banget lo, Kan. Santai kali."

"Tenggat perekrutan anggota baru masih sampai akhir bulan. Itu artinya basecamp ini masih jadi hak klub futsal cewek."

Selagi Kani berbicara pada cowok-cowok itu sambil bertolak pinggang, Mahesh berjalan mendekatinya. "Lo siapa? Status lo apa di sini?" Lalu cowok itu menoleh ke arah Lala. "Anggota klub lo, bukan?"

Kani yang merasa tersindir berusaha untuk tidak terpancing. Tatapan Farah padanya membuat Kani akhirnya balik badan membantu Lala dan Gita merapikan barang-barang.

"Yang bukan anggota klub, dilarang ikut campur. Kurang jelas apa peraturannya?"

Kani menarik napas masygul. Menjegil pada Mahesh seakan dengan cara seperti itu emosinya yang sudah sampai ubun-ubun bisa membakar cowok itu hidup-hidup.

"Gue emang udah bukan anggota resmi klub, tapi gue masih punya kepentingan. Terutama untuk membasmi kecoa-kecoa kayak lo.”

Sesaat setelah mengucapkannya, Farah menahan bahunya.

"Minggu lalu lo udah dapat peringatan dari guru BK. Ribut-ribut di sini nggak akan bikin masalahnya selesai, Kan. Sabar, ya," bisik Farah mengingatkan.

Bunyi bel menjadi pertanda berakhirnya waktu istirahat sekaligus juga mengakhiri perseteruan saat itu. Satu per satu anggota klub sepak bola meninggalkan ruangan sambil melontarkan permintaan maaf yang sarat akan ejekan. Meninggalkan sejuta rasa kesal yang terpaksa ditahan di dada, khususnya oleh Kani.

Sebelum keluar, Mahesh bahkan masih sempat melempar tatapan tajam ke arah Kani. Seperti biasanya, perseteruan ini masih akan berlanjut, antara dirinya dan Mahesh.

Karena itu pada jam pulang sekolah, Kani tidak terkejut saat menemukan Mahesh berdiri bersandar di lorong tangga. Tujuan mereka jelas sama, ruang klub di lantai tiga untuk membahas soal basecamp bersama Rezal.

Tak merasa gentar oleh intimidasi yang diberikan Mahesh melalui tatapannya, Kani berjalan senormal mungkin, menganggap keberadaan Mahesh bagai cicak-cicak di dinding.

"Di ruang klub lo sebut gue apa?"

Beberapa langkah saat melewati Mahesh, Kani mendengar suara cowok itu. Tidak perlu diragukan lagi, pertanyaan itu dilontarkan untuk memulai konfrontasi dengannya.

Kani berbalik. "Kalau nggak mau dikatain, makanya jangan cari perkara terus. Lo ada masalah apa sih, dikit-dikit klub futsal yang diserang?!"

"Selain otak, mulut juga perlu lo sekolahin."

Kani tiba-tiba tertawa, merasa lucu. "Nggak punya cermin ya, di rumah? Ngaca dulu, dong."

Cowok itu tak membalas ejekan Kani, tetapi rahangnya yang menonjol di kedua sisi, menunjukkan kemarahan cowok itu sudah sampai pada level tertinggi. Tuh, kan. Saking seringnya berseteru, Kani saja sampai hafal gelagat cowok itu.

"Pinjam handphone lo," kata cowok itu tiba-tiba.

"Buat apa?" Sesaat setelah melontarkan pertanyaan itu, Kani langsung mengerti. Pasti soal rekaman di ruang klub. "Cemas ya kalau sampai gue bocorin kelakuan asli lo ke Kepala Sekolah?"

"Kasih baik-baik atau gue yang ambil sendiri?"

"Di antara kita itu udah nggak ada istilah baik-baik, Hesh." Kani tertawa mengejek.

Cowok itu kembali mengatup rahang. "Oke."

Meskipun sudah memasang kuda-kuda sebagai pertahanan diri, ketika Mahesh tiba-tiba menarik tasnya, Kani terkejut. Sebelum tasnya terlepas, Mahesh bahkan sempat mendorong punggungnya hingga dia menabrak dinding. Terjadi saling rebut tas, tapi Mahesh tidak membiarkan Kani mengambil benda itu.

Cowok itu meresek-resek tiap kantung tas. Baru berhenti saat menemukan benda yang dicarinya. Kani menyesal kenapa tidak pernah menggunakan sandi pengunci. Sasaran cowok itu jelas adalah rekaman di ruang klub.

Beberapa saat kemudian, cowok itu mengembalikan ponsel ke tas. Tentu saja setelah menghapus rekaman tersebut.

"Selain sama klub futsal, masalah gue juga sama lo. Ngerti?" desis Mahesh selagi mengembalikan tas milik Kani.

"Emang gue kenapa? Gua punya salah apa sama lo?"

Kani meneliti Mahesh baik-baik sambil mencari-cari kesalahan yang mungkin pernah diperbuatnya kepada cowok itu. Tapi makin dipikirkan, Kani makin bingung.

"Terus mau lo apa?" tantang Kani saat Mahesh tak kunjung menjawab.

"Mau gue?" Tatapan Mahesh pada Kani semakin tajam, wajah kaku nan congkak yang tidak pernah tersenyum padanya itu juga menyeringai. Belum-belum sudah membuat Kani gerah.

"Selesai rapat sama Rezal, gue tantang lo duel bola di lapangan sekolah. Satu lawan satu."