cover landing

Our Tangled Vow

By Honey Dee


“Tu ... Tung ... Tunggu!”

Mereka berdua nggak mendengarku lagi. Mereka terus berlari meninggalkanku. Suara tawa mereka terdengar keras, membuatku makin sakit hati. Mereka selalu meninggalkanku. Kakiku pendek dan gendut. Aku nggak akan bisa mengejar mereka.

Aku berhenti berlari. Napasku terengah. Lagi-lagi aku cuma bisa melihat mereka dari jauh.

Mereka tertawa. Rusty sampai di ayunan duluan dan langsung melompat ke atas ayunan. Rambut Dilla berkibar cantik tertiup angin waktu dia mendongak. Suaranya terdengar seru sekali meneriaki Rusty yang memanjat tiang ayunan. Rusty bergelantungan seperti monyet, mengejek Dilla dari atas. Seharusnya aku sudah sampai juga. Seharusnya mereka menungguku dulu baru main.

Aku sudah mau nangis, nih. Mereka jahat banget sama aku.

Rusty berteriak memanggilku. Dia melambai beberapa kali. Dilla menoleh padaku, melakukan hal yang sama. Mereka bukan memanggilku. Mereka mengejek. Ini bikin aku tambah kesal sama mereka.

“Kakimu gendut banget, sih,” kata Dilla pas aku sampai di depannya. Seperti biasa dia selalu mengejek. Dia selalu ngasih tahu kekuranganku.

Benar, kan, kataku?

“Aku capek, tahu!” kugosok mata biar mereka nggak tahu aku menangis. Terengah, aku duduk di rumput, memanjangkan kakiku. Dulu Rusty pernah bilang kalau habis lari lari nggak boleh langsung menekuk kaki atau masuk ke air. Nanti kakinya bisa bengkok. Aku nggak tahu gimana kaki bengkok itu. Yang jelas, aku nggak mau kakiku bengkok.

Dilla tertawa. “Makanya jangan gendut-gendut. Kakimu itu pendek,” katanya lagi sambil narik baju Rusty supaya turun dari ayunan. “Giliranku, kan, sekarang?”

“Jangan gitu!” Aku selalu kesal kalau Dilla sok jadi bos begitu. Di rumah boleh saja kalau dia mau jadi anak yang suka merintah dan marah-marah. Kalau sama teman kan nggak boleh seperti itu.

Aku nggak suka dipanggil pendek dan gendut. Aku tahu aku memang pendek dan gendut, tapi jangan memanggilku begitu. Aku pengin bilang ke Dilla kalau aku sakit hati, tapi aku nggak mau dia tambah marahin aku lebih banyak lagi.

“Turun, Rusty! Aku sekarang yang main.”

Aduh, aku nggak tahan lagi. Dilla sudah keterlaluan.

“Dilla, nggak boleh gitu. Nggak boleh rebut mainannya orang. Kamu harus nungguin sampai giliranmu.”

Dia melotot padaku. “Kan tadi sudah setuju, Aku jadi putrinya. Kalian pembantunya. Jadi, aku boleh marah-marah kayak putri.” Dia mendorong Rusty sampai jatuh ke rumput. Dia naik ke ayunan. Lidahnya menjulur padaku. “Putri itu cantik, rambutnya panjang kayak aku. Nggak ada putri gendut.”

Rusty kelihatan mau protes, tapi nggak jadi. Dia malah menoleh padaku, meletakkan tangan di kepalaku. “Kamu nggak gendut kok.”

Dia tersenyum lebar. Matanya yang biru muda terlihat seperti abu-abu kalau kena sinar matahari. Aku suka. Matanya seperti langit kalau lagi cerah. Sayang, matanya kecil, nggak sebesar mataku. Matanya mirip mata ibunya yang nggak bisa bahasa Indonesia.

“Kakiku memang gendut, kok. Aku nggak bisa lari kayak kalian.” Aku menunduk, memperlihatkan kakiku yang memakai sepatu abu-abu tanpa kaus kaki.

“Anak kecil memang gendut. Kalau kurus itu cacingan,” katanya sambil menunjukkan perutnya yang buncit. Tapi, dia nggak berani ngomong keras-keras. Dia takut sama Dilla. Aku juga. Kami nggak mau Dilla ngomel lagi.

Aku tahu Rusty bohong. Dia juga sering bilang aku gendut kalau nggak ada Dilla. Rusty juga bilang kalau aku pendek. Tapi, dia nggak bolehin anak lain ngejek aku. Kemarin dia dorong Desta yang bilang aku cengeng. Padahal, kalau lagi main berdua dia suka bilang aku cengeng. Kata Bunda, Rusty memang suka bikin aku nangis.

Nggak juga, sih. Rusty nggak selalu bikin aku nangis. Dia yang sembunyikan aku kalau dimarahi Bunda. Minggu lalu, Rusty menyembunyikan aku di dalam koper mamanya pas Bunda mau memukul aku pakai sapu. Aku memang nakal. Aku patahin lipstik Bunda. Seharusnya aku memang dipukul sapu sampai mati seperti kata Bunda.

“Dill, gantian mainnya,” kata Rusty sambil megang ayunan Dilla.

“Harusnya aku juga main ayunan. Kan aku yang menang main bola,” teriakku.

“Nangis dulu!” Dilla menjulurkan lidahnya sambil terus main ayunan.

Sekarang, aku sudah nggak bisa nahan air mata.

“Vey cengeng!” ejek Dilla. “Vey nangis. Kamu nanti kayak Harris, cengeng nggak boleh main sama anak lain. Nanti kamu dikurung di rumah terus kayak dia.”

“Ng-nggak, kok. Aku nggak nangis,” kataku sambil menyeka air mata.

“Rusty, sini. Bisa kok duduk berdua,” kata Dilla melambaikan tangan pada Rusty.

Rusty menurut. Dia duduk di samping Dilla. Walau sesekali melihatku, dia tetap nggak menolak Dilla.

Aku tahu sih kalau Dilla suka sama Rusty. Kalau main rumah-rumahan, dia jadi ibunya, Rusty jadi ayahnya, dan aku jadi anaknya. Kalau lagi jahat, Dilla menyuruhku jadi tetangga jauh yang nggak disapa karena penyakitan. Dia nggak mau disaingi untuk urusan Rusty. Dia harus jadi yang nomor satu.

“Kita pulang aja, yuk. udah sore,” kataku pelan. Moga Dilla jadi nggak bilang aku cengeng lagi.

“Kamu takut?” tanya Rusty, melingkarkan tangan di rantai ayunan. Kakinya menendang kerikil di bawah ayunan ke arahku.

“Aku takut dimarahi Bunda,” rengekku lagi. “Kalau Bunda marah, nanti aku dipukul.” Sekarang, aku punya alasan untuk menangis.

“Anak-anak memang dipukul, Vey. Aku juga,” kata Dilla sambil menarik ke atas celana pendeknya. Bekas merah terlihat di pahanya. “Aku dipukul gara-gara ngerusakin mainan kakakku. Kalau nenekku datang, aku ngadu aja. Nanti Mama sama Papa pasti dimarahi. Mama pasti dibikin nangis sama Nenek. Rasain!”

Pelan-pelan, kucoba menyentuh bekas luka itu. Rusty sampai turun dari ayunan untuk melihat bekas merah di paha Dilla.

“Sakit, Dill?” tanyaku penuh simpati. Selama ini, kukira aku saja anak kecil yang dipukul. Yang kulihat di TV anak-anak kecil disayang dan dimanja. Anak-anak di TV bisa sayang-sayangan sama ibunya, bukan seperti Bunda yang lebih sering menampar sampai telingaku berdenging.

“Aku juga punya,” kata Rusty sambil membuka kaosnya.

Aku melotot ngeri. Punggung Rusty parah sekali. Ada bekas cakaran dan terbakar. Dilla sampai memekik heboh.

“Kalau aku bikin salah, Kakakku pasti marah. Kemarin aku ditusuk rokok,” katanya tanpa nada sedih sama sekali. “Aku dihajar terus kalau Mama sama Papa nggak ada.”

Aku dan Dilla berpandangan. Air mataku nggak jadi keluar. Ternyata aku nggak dipukuli sendirian. Selama ini kukira cuma aku yang sering dupukuli Bunda. Pantas Rusty selalu menolongku. Dia tahu rasanya dipukuli.

“Janji ya kita temenan sampai gede,” kataku sambil mengulurkan tangan di tengah lingkaran kami. “Jadi, kalau aku dipukuli Bunda, kalian nolongin aku.”

“Nggak mau,” kata Dilla cepat.

Rusty memegang tanganku. “Aku mau nolongin kamu. Aku bakal nyuruh Bundamu buat berhenti mukulin kamu.”

“Aku juga mau nolongin kamu, Vey,” kata Dilla lagi ikut-ikutan.

Aku nggak hiraukan Dilla. Aku tetap menatap Rusty. “Tapi, kamu kan dipukuli sama Kakakmu juga, Rusty. Mana bisa kamu nolongin aku.”

“Pokoknya, aku nggak akan biarkan kamu dipukuli siapa pun.” Rusty mengulurkan tangannya di atas tanganku. “Nanti aku lari dulu dari kakakku.”

“Aku juga … aku juga …” Dilla meletakkan tangannya juga di atas tangan Rusty.

“Jadi, kita janji ya jadi teman sampai tua. Nanti kita harus saling melindungi, ya?” tanyaku mengulurkan kelingking, menuntut janji dari mereka.

Rusty mengangguk. Dia mengaitkan kelingkingnya pada kelingkingku. “Aku janji bakal jagain kamu sampai besar. Kalau bohong nanti lidahku dipotong terus dikasih makan ke kucing, terus aku nggak punya teman lagi.”

Rasanya aku pengin tertawa. Rusty memang kadang berlebihan.

“Kok kamu bikin janjinya serem?” kataku tanpa tertawa.

Dia menepuk kepalaku seperti menepuk kepala anak kucing. “Aku kan sayang sama kamu, Vey. Orang kalau sayang janjinya beneran.”

Aku senang Rusty bilang gitu. Kupegang tangannya erat-erat. “Aku juga sayang kamu. Kan kita saudara nggak satu rumah. Jadinya kita harus saling sayang.”

Dilla ikut dalam pelukan kami. “Aku juga sayang sama Rusty. Aku sayang sama Vey. Nanti kalau sudah besar Rusty jadi suaminya. Kita jadi istrinya.”

Aku tertawa dan mendorong bahunya. “Mana ada istrinya dua.”

Dilla berkacak pinggang. “Ada, tahu! Orang itu di TV istrinya ada tiga. Rusty istrinya ada dua. Nanti aku istri bagian punya anak. Kamu istri bagian masak.”

“Aku suka masak,” kataku bahagia.

“Aku suami bagian apa?”

Dilla terlihat berpikir. “Kamu suami bagian cari uang sama bagian ajak sekolah anak.”

“Aku nggak pernah diajak sekolah sama ayah,” kataku murah, mengingat Ayah yang hampir nggak pernah di rumah.

“Nanti kuajak kamu sekolah sama anak-anaknya Dilla, ya,” kata Rusty menenangkan. Dia memang selalu menenangkan, sama dengan Dilla. Walau suka marah-marah, tapi Dilla baik juga kok kalau begini.

Pelukan mereka membuatku lupa ngerinya pukulan Bunda. Aku mau begini terus sampai lama. Aku mau sayang sama mereka. Aku mau jadi teman mereka sampai besar. Nanti kalau sudah kerja, aku mau pergi dari rumah. Aku mau beli rumah besar terus tinggal sama mereka. Nggak ada Bunda. Nggak ada Ayah. Kakak boleh tinggal di rumah ku sebentar, tapi habis itu harus pulang lagi. Aku nggak mau ada orang lain selain Dilla dan Rusty. Aku mau cuma kami bertiga selamanya.

Rusty melepaskan pelukan kami. Dia berlari ke ayunan dan naik ayunan sambil tertawa jahat. “Kan aku yang punya luka banyak, jadinya aku yang duluan naik ayunan,” kata Rusty sambil lompat lagi ke ayunan. Dia menjejakkan kaki agar bisa mengayun tinggi-tinggi.

Aku ngeri kalau Rusty begitu. Aku nggak suka dia berayun tinggi-tinggi. Aku sering membayangkan ayunannya putus terus Rusty terlempar jauh. Katanya anak cowok memang begitu, suka yang bikin ngeri. Kalau Rusty punya sayap, aku nggak akan ngeri. Rusty nggak akan jatuh. Tapi, Rusty nggak punya sayap. Kalau jatuh, kaki atau kepalanya bisa patah.

“Aku yang dorong Rusty,” kata Dilla cepat. Dia berlari ke ayunan, di belakang Rusty.

Jelas aku nggak mau kalah. Kalau aku ngeri terus, bisa nggak dapat giliran main ayunan. “Aku yang dorong dia,” kataku sambil ikut berdiri di samping Dilla, berharap habis ini Rusty turun dari ayunan.

Dilla mendorongku sampai aku mundur beberapa langkah. “Aku yang dorong Rusty. Aku punya bekas pukulan. Kamu nggak.”

Aku jadi pengin nangis lagi. “Aku yang dorong Rusty,” kataku balas dorong Dilla. Sayang, tanganku yang pendek nggak bisa membuat Dilla mundur. Dia malah mendorongku lebih keras. Aku mundur beberapa langkah dan jatuh telentang.

Aku kalah. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menangis keras agar Rusty memperhatikanku dan menolongku.

“Dasar cengeng!” hardik Dilla sambil maju menjemput ayunan Rusty. Dia mendorong ayunan itu lebih keras dari sebelumnya.

Aku menjerit lagi. Kulempari Dilla dengan kerikil yang kutemukan di dekatku.

“Vey, sakit!” teriak Dilla sambil menoleh marah. Tepat saat itu, ayunan Rusty turun dan menabrak tubuh Dilla.

Aku nggak akan lupa bunyi benturan itu. Dilla terlempar ke belakang. Aku juga nggak akan lupa bunyi benda keras yang pecah saat kepala Dilla menabrak batu pembatas di pinggir kolam pasir.

Aku dan Rusty berpandangan saat cairan merah tua keluar dari kepala Dilla. Mata Dilla menatap ke atas. Tubuhnya kejang-kejang. Cuma sebentar, kok. Saat Rusty mendekat, Dilla sudah nggak bergerak lagi.

Aku harus bagaimana?

Muka Rusty jadi merah banget. Dia berbalik, terus berlari kencang. Ke mana dia? Arah larinya bukan ke rumah. Kok dia tinggalin aku sama Dilla sendirian?

***