cover landing

Our Sketch on Your Canvas

By Masfiya


Bruk! 

Aurin berjingkat mendengarnya. Ia berlari dari kamarnya menuju sumber suara di ruang tamu. Betapa terkejutnya ia saat melihat ibunya yang jatuh dari kursi roda sedang memohon pada seorang lelaki berjas hitam di depannya.

“Ibu!” Aurin lantas membantu Fisya kembali ke kursi roda. Ia menatap tajam orang di depannya. 

“Rumah atau galeri. Aku tidak memberikan pilihan yang sulit. Jual saja galeri itu dan kalian bebas,” ucap lelaki itu dengan tatapan sinis ke mereka berdua.

“Tolong jangan ambil galeri itu,” pinta Fisya dengan pundak yang bergetar. 

“Baiklah, itu urusan kalian.” Lelaki itu maju selangkah. Ia mengamati Aurin yang berdiri di belakang kursi roda ibunya. “Kau bisa melukis, Nak?”  

Aurin mengatur napasnya agar tidak terlihat takut meski pegangan pada kursi roda ibunya mulai menguat. “Bukan urusan Anda! Silakan keluar sebelum saya usir.” 

“Oke-oke. Aku pergi. Uang memang bukan segalanya, tapi semua butuh uang.” Lelaki itu menutup kembali pintu sambil tersenyum penuh arti. 

Aurin merasa asing dengan pemandangan yang ada hadapannya. Pintu berukiran, jendela panjang di kanan dan kirinya, tembok bercat putih dengan lukisan naturalis di sebelah kiri, serta sebuah foto keluarga di sebelah kanan. 

Ia bingung, apakah wanita yang duduk di foto itu adalah wanita yang ada di depannya saat ini? Kenapa ibunya begitu putus asa? Apakah selama ini ayahnya punya utang? Kenapa ia baru tahu?

Tingtong!

Suara bel itu memecah kesunyian.

“Coba lihat siapa,” ujar Fisya. Aurin pun menurut dengan membuka sedikit tirai jendela. 

“Pak Har,” terangnya. Pak Har adalah Waka Kesiswaan sekolahnya.

“Kembali ke atas dan telepon ayahmu. Jangan turun ke bawah sebelum makan malam nanti. Mengerti?” 

Aurin ingin sekali menanyakan banyak hal pada wanita paruh baya dengan balutan gamis abu-abu dan kerudung instan warna senada itu. Namun, ia mengurungkan niatnya ketika melihat Fisya menyeka kedua ujung matanya. Gadis membuka pintu, tersenyum, dan  mempersilakan Pak Har masuk sebelum berlalu menaiki tangga.

Aurin menekan tombol telepon dengan kelopak mata yang memberat. Terdengar dua kali sambung tidak terjawab. “Ayah, tolong jawab,” gumamnya cemas. 

Pada sambungan ketiga, terdengar suara di seberang sana. “Halo?”

“Ayah, cepat pulang. Ada tamu penting.” Tangis Aurin pecah. 

“Oke, tunggu—” 

Usli—ayah Aurin—kebingungan karena sambungan tiba-tiba diputus. Lelaki paruh baya itu menyugar rambutnya sembari memikirkan siapa kira-kira tamu penting itu.

“Kenapa, Pak?” tanya seorang lelaki yang duduk di depan kanvas. Usli tidak menjawab, ia justru merapikan tas jinjingnya. 

“Finno, kalau sudah selesai antarkan kunci ruangan ini ke rumah.” 

Lelaki yang dipanggil Finno itu hendak mengejarnya ke ujung pintu, tetapi Usli sudah berjalan cepat menuruni tangga, meninggalkan sebuah pertanyaan.

Finno memandangi pintu keluar dan kanvasnya secara bergantian. Apakah ia akan tetap di sana melanjutkan lukisannya atau segera menyusul lelaki itu? 

Finno mengecek jam di tangannya. Masih dua jam lagi sebelum sopir ayahnya menjemputnya untuk kembali ke rumah. Sebenarnya jarak rumah Usli dengan galeri dekat jika melewati jalan setapak, sekitar satu kilometer melewati kompleks mini hutan jati di belakang rumah. Namun, jika melewati jalan raya, harus dengan memutar sekitar tiga kilometer. Akhirnya ia memilih untuk mengambil kunci di rak dan duduk kembali. 

“Satu jam saja,” ucapnya pada dirinya sendiri.

Sementara itu, Usli yang sudah tiba di ruang tamu langsung membalas jabatan tangan Pak Har. 

“Wah, ternyata ini tamu pentingnya,” sanjungnya. 

Pak Har lantas tertawa. “Bapak bisa saja.” Ia membenarkan letak kacamatanya.

“Ada yang perlu dibicarakan, Pak?” 

Usli sudah bertahun-tahun tinggal di sana. Hanya dua tipe yang akan bertamu di hari Minggu sore seperti ini. Pertama, keluarga atau kerabat yang ingin berkunjung. Kedua, pelanggan yang ingin dibuatkan lukisan. Sayangnya, Pak Har bukan salah satu dari keduanya. Meskipun mereka sudah lama mengajar di tempat yang sama, lelaki itu bukan tipe yang mengerjakan sesuatu tanpa tujuan yang jelas.

Wajah Pak Har berubah drastis, tawanya yang tadi menggelegar menguap entah ke mana. Usli sangat mengenali sorot mata yang tajam di balik lensa presbiopinya itu. 

“Sebaiknya Bapak minum dulu,” tawar Usli sambil menuangkan kopi dari teko keramik ke salah satu cangkir yang kosong untuk mencairkan suasana yang mulai serius. Ia sampai tidak memperhatikan cangkir yang setengah kosong itu, sebelum menuangkan cangkir kosong lain untuk dirinya.

Pak Har menyeruputnya sedikit. Ia memberikan selembar kertas pada Usli.

“Sanggar tari?” Usli meneliti brosur yang ada di hadapannya. Di sana tertulis lowongan untuk menjadi guru tari dengan syarat lulusan dari Fakultas Seni atau pernah mengajar sebagai guru Seni Budaya dengan syarat mengikuti pelatihan selama sebulan.

“Saya rasa ini tidak perlu untuk persiapan ujian praktik anak-anak kelas 3 nanti. Ada Bu Reni dan Bu Tina sebagai pengampu.”

“Ini bukan tentang ujian praktik.”

“Lalu?” Usli meminum kopinya. 

“Ini tentang ekskul yang Bapak bimbing. Untuk persiapan akreditasi sekolah butuh sapi ungu bukan sapi cokelat,” terang Pak Har. Usli hampir tersedak dibuatnya. 

Sapi ungu adalah istilah yang diperkenalkan oleh Seth Godin, yaitu menjadi sesuatu yang berbeda d iantara kesamaan yang ada dengan keunggulan yang spesifik. Usli memahami jika sekolah hanya membutuhkan satu yang terbaik untuk ekskul seni. 

“Sekolah tidak akan membiayai ekskul yang kurang prestasi. Setelah ini saya pensiun dan Bapak tahu sendiri calon waka kesiswaan baru seperti apa. Jika Bapak ingin ekskul lukis tetap bertahan, targetnya harus menjadi juara umum FLS2N seperti tahun kemarin. Bapak yakin bisa mempertahankannya tanpa Finno?”

Usli lantas meletakkan cangkir kopinya. “Anak-anak butuh ruang untuk berekspresi. Tidakkah Bapak memahami?” 

“Saya paham itu. Saya bermaksud agar Bapak membimbing ekskul baru yang lebih berpeluang sebagai gantinya. Bukankah ini win-win solution? Bapak tidak perlu lagi mencari pekerjaan lain jika kemungkinan yang terburuk terjadi,” sarannya. “Lagi pula, jika ekskul baru ini berkembang, Bapak bisa mengarahkannya ke agensi,” lanjutnya.

Sebenarnya Usli tahu jika kondisi keuangannya tidak baik-baik saja. Terlebih setelah ini Aurin masuk SMA. Galerinya pun sedang sepi peminat. Ia selalu diburu satu rentenir ke rentenir yang lain. Namun, menuntut siswanya untuk menjadi artis bukanlah solusi yang terbaik baginya. 

“Saya akan pertimbangkan tawaran ini,” ucap Usli pada akhirnya.

Pak Har manggut-manggut sambil berdiri. “Kalau begitu, saya izin pamit.”

Pak Har baru saja membuka pintu rumah Usli saat seorang laki-laki tiba-tiba muncul di hadapannya tanpa permisi.

“Astaghfirullah, Finno! Sejak kapan kamu di situ!” 

Pak Har mengelus dadanya. Untung saja dia tidak punya riwayat darah tinggi atau penyakit jantung. Bisa kena serangan jantung dia melihat di depannya tiba-tiba ada Finno, padahal sebelumnya tidak ada siapa pun di sana.

Finno hanya menyengir. “Selamat sore, Pak Har,” ujar lelaki itu sambil mencium tangan Pak Har.

“Kamu ngapain ke sini?” Kalau Finno bukan anak yang paling aktif berprestasi seangkatan, mungkin Pak Har sudah memarahinya habis-habisan.

“Dari galeri, Pak. Saya diminta Pak Usli mengembalikan kunci ruang lukis.” Finno tersenyum sambil menunjukkan kunci di tangannya.

“Ya udah, habis itu langsung pulang ya. Kamu udah kelas 3 lho, persiapkan ujianmu,” pesannya sebelum meninggalkan pelataran rumah Usli. Finno hanya mengangguk takzim sebelum ia masuk ke ruang tamu.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam. Finno, sini duduk,” ajak Fisya yang tengah merapikan gelas kopi dan teko dalam satu nampan. Meskipun menggunakan kursi roda, perempuan itu menatanya dengan cekatan.

“Saya saja yang bawa ke dapur, Bu.” Finno dengan sigap mengambil alih nampan itu. Lelaki itu sudah terbiasa datang ke rumah setelah melukis di galeri setiap akhir pekan. Sekadar untuk mengembalikan kunci galeri ataupun diajak Usli makan malam di rumahnya. 

“Maaf ya, Finno, jadi ngerepotin.” 

Finno menggeleng pelan, “Nggak apa-apa, Tante. Ngomong-ngomong, Aurin di mana?” tanyanya sambil mendorong kursi roda Fisya ke dapur. 

“Di kamar. Kamu mau ketemu?” 

“Habis cuci piring aja.”

“Sekolahmu gimana, Finno?” tanya Fisya sambil membilas gelas dan teko. Finno membantu menata di rak.

 “Baik,” jawabnya singkat.

“Kok kurusan?” Wanita itu mendorong kursi rodanya ke lemari es.

“Iyakah? Saya masih makan porsi kuli, kok.” Finno hanya nyengir kuda. 

“Mamamu tetap jadwalin akhir pekanmu buat les?” Fisya mengeluarkan sepiring kue brownies yang bertumpuk rapi di wadahnya.

“Uwah, brownies cokelat! Pasti enak, nih. Tante bikin sendiri?” Finno mengalihkan pembicaraan.

“Makan sama Aurin ya. Nanti jangan langsung pulang, kita makan malam dulu.” Fisya berniat mengajak makan malam Finno agar Aurin ada teman bicara. Ia yakin putri semata wayangnya pasti terkejut dengan kejadian tadi siang.

Finno hendak mengiakan, tetapi tertunda karena suara bel. Di ruang tamu sudah ada sopir pribadinya dan Aurin yang membukakan pintu. Fisya menyusul dari belakang.

Lelaki itu menyerahkan kembali piring itu lalu menyalami tangannya. “Lain kali makan malamnya, Tante,” ucap Finno sambil mengambil brownies di tumpukan paling atas.

Fisya dan Aurin hanya bisa melambaikan tangan pada Finno. Lelaki itu membuka jendela mobil dan tersenyum hingga mobilnya berbelok di ujung gang. Ia meminta pada Pak Hasan, sopirnya, agar menyetir mobilnya dengan pelan. Finno menyandarkan punggungnya sambil melihat matahari tenggelam sepanjang jalan menuju rumahnya.

Finno yang hampir tertidur di tengah perjalanan terbangunkan oleh dering di ponselnya. Tampak sebuah foto profil keluarganya di panggilan itu sebelum Finno mengangkatnya.

“Iya, Ma. Mungkin 15 menit lagi sampai di Bright Operation. Iya, aku sudah makan, kok. Assalamualaikum, Ma.”  Finno memutus sambungan.

Finno mengeluarkan brownies dari tasnya. Ia menggigitnya sedikit. Manis. Finno menghabiskan kue itu sepanjang sisa perjalanan sembari menyeka kedua matanya. 


Author’s Note 

Hai pembaca Our Skecth on Your Canvas, selamat menikmati hari Senin dan hari-hari lainnya ketika membaca novel ini. Buat yang udah pernah tahu novel ini dengan judul Tujuh Pelukis di platform lainnya, selamat sekarang kamu bisa membaca versi remake yang tentunya lebih baik. Kali ini bakalan sampai tamat sampai akhir. Stay tuned setiap Senin yaaa.