cover landing

Opera San Margenia

By ruwimeita


PROLOG

            Pada suatu ketika di jalan setapak yang sedikit becek, Langit berkata kepada Reya, “Ayo duduk di bawah pohon itu. Aku punya sebuah cerita. Maukah kamu mendengarnya?” Langit memilih duduk di sebuah batu besar sementara Reya duduk berselonjor sambil mendongakkan kepala, siap mendengar kisah laki-laki pujaan hatinya.

“Ada sebuah jalan setapak mistis. Namanya jalan setapak Para Kekasih. Jalan setapak itu panjangnya dua kilometer dan menghubungkan dua desa. Konon jalan itu bisa membuktikan besarnya cinta sepasang kekasih. Jika ada sepasang kekasih yang mempunyai cinta tulus lalu berjalan dari arah berlawanan melewati jalan itu, mereka bisa bertemu tepat di bawah pohon paling besar. Namun, jika ternyata salah satu dari mereka memiliki keraguan atau dua cinta, jalan itu takkan mengizinkan mereka untuk bertemu.

“Alkisah ada sepasang kekasih yang hidup di kedua desa itu. Si laki-laki tinggal di desa sebelah timur sementara si gadis di desa sebelah barat. Cinta mereka besar dan kuat. Mereka setia dan saling memahami. Lalu mereka memutuskan menikah. Seminggu sebelum hari pernikahan mereka si laki-laki ingin melakukan ujian kecil bagi cinta mereka. Dia menyuruh si gadis melewati jalan itu pada hari dan jam yang sama. Si gadis tak berkeberatan sebab dia yakin dengan cintanya dan percaya pada kekasihnya.

“Akhirnya mereka melewati jalan itu dari desa mereka masing-masing dengan keyakinan yang sangat besar. Mereka tak pernah membayangkan akan terjadi tragedi pada ujian kecil itu. Kenyataannya jalan itu secara mistis membentuk dua persimpangan. Sepasang kekasih itu tidak bertemu bahkan saat mereka sudah sampai di desa masing-masing. Mereka sangat terpukul. Saling menyalahkan. Saling berprasangka. Saling curiga. Lalu mereka memutuskan untuk berpisah. Mereka berdua pindah dari desa masing-masing. Mereka tak bertemu lagi selama lebih dari lima puluh tahun. Keduanya mencoba membuka hati untuk orang lain meski mereka tidak bisa saling melupakan. Mereka memaksakan hati mereka. Akhirnya mereka sama-sama bertemu dengan orang lain, menikah dan punya anak bahkan cucu. Hingga akhirnya suami dan istri mereka meninggal.

“Sang laki-laki dan si perempuan memutuskan kembali ke kampung halaman mereka. Mereka tersiksa dengan masa lalu indah yang pernah mereka jalani di desa itu. Lalu mereka memutuskan menjenguk masa lalu. Keduanya melewati jalan Para Kekasih sekadar untuk menghibur hati yang terluka. Tanpa sengaja mereka berjalan di jalan Para Kekasih pada hari dan jam yang sama.

“Mereka bertemu di tengah jalan tepat di depan pohon paling besar. Sama-sama tua dan berkeriput. Mereka menangis dan saling berpelukan.”

“Oh, ceritanya sedih sekali. Aku tak suka. Kenapa jalan itu harus membuat persimpangan? Harusnya mereka bertemu sejak mereka masih muda. Menikah dan bahagia untuk selama-lamanya,” keluh Reya.

“Cinta bisa menjadi rumit dan sangat sederhana. Dua versi yang berbeda namun sama-sama kompleks. Ketika cinta menjadi rumit sebenarnya dia sederhana dalam kerumitannya. Dan saat cinta itu menjadi sangat sederhana, pada suatu ketika kesederhanaan itu akan merumit. Keduanya hanya bisa dibuktikan oleh waktu. Jalan Para Kekasih itu memisahkan mereka untuk mempertemukan mereka kembali. Kadang seseorang harus menunda waktu untuk membuktikan besarnya sebuah cinta. Semuanya adalah proses dan proses itu adalah cinta itu sendiri.”

“Menurutmu cinta kita versi yang mana? Sederhana atau rumit?”

Langit memandang Reya lalu mengusir sehelai daun kering yang jatuh di kepalanya. “Entahlah. Kita bahkan belum menemukan jalan itu. Tapi kita tak perlu repot-repot mencarinya sebab jalan itu yang akan menemukan kita.”

Reya tersenyum dan menyandarkan kepalanya di pangkuan Langit.

 

BAGIAN 1

Santander

 

Bab 1

LAS OLAS DE ESTRELLAS.

Reya mengeja tulisan di lambung kapal pesiar itu dengan pelan. Ada perasaan tak terjemahkan yang membuat perutnya bergolak dengan lembut. Dia terkesima dengan nama itu, seakan kapal itu memanggilnya, sebab namanya Lintang Reya. Juga karena nama kapal itu sangat familier baginya. Seseorang pernah berkata padanya jika bintang-bintang di langit itu juga berlayar, setengahnya mengarungi angkasa, setengahnya lagi menciptakan ombak di mata Reya.

Gombal.

Tapi Reya menyukainya.

Perempuan itu tersenyum. Jadi di sinilah dia berdiri. Di Santander, jendela mimpinya. Mata Reya bekerjapan. Sinar matahari menyilaukan matanya. Dia menyukai aroma kota ini. Lembut dan melenakan. Seolah-olah dia dipeluk dari belakang oleh seseorang yang menyayanginya.

Pantainya penuh dengan orang-orang yang berbaring setengah telanjang. Kata Vini, sepupunya, mereka persis ikan asin yang dijemur. Mati-matian Vini perawatan kulit agar kulitnya putih dan cerah namun orang-orang sini lebih suka menggosongkan kulit. Hanya sayangnya kulit mereka terlalu bandel untuk jadi lebih gelap. Yang ada juga warna kemerah-merahan seperti kena biang keringat. Vini memang selalu banyak omong. Semua hal selalu dikomentarinya semenjak mereka tiba di sini.

Bagi Reya waktu terbaik untuk menikmati pantai adalah pukul dua siang sebab tak banyak orang di pantai. Dia tak terlalu suka menikmati pantai beramai-ramai. Menurutnya pantai akan lebih banyak bicara saat keheningan muncul. Kenapa harus jam dua siang? Sebab orang-orang Spanyol terlelap dalam tidur siang atau paling tidak bersantai di rumah pada jam itu. Betapa santainya hidup di sini. Tidur siang adalah hal yang sangat penting seperti halnya buang air besar. Harus dilakukan setiap hari.

Santander, metropolitan city with the golden sands. Julukan itu tertelan dari jam dua sampai jam lima siang untuk sebuah siesta yang menyegarkan. Namun ada kalanya saat matahari bersinar dengan sempurna orang-orang segera berjalan tergesa-gesa ke pantai. Tergopoh-gopoh dengan handuk tersampir di bahu. Musim panas adalah saat di mana mereka memburu matahari. Mereka berlomba dengan awan tebal yang kadang tidak mau berkompromi dengan kesenangan.

Reya kembali menatap kapal pesiar megah di depannya. Dia hanya setitik kecil dibanding kemegahan kapal Las Olas de Estrellas. Menurut informasi yang dibacanya, kapal itu milik seorang taipan Arab bernama Hamid Khan. Dia seorang miliuner misterius yang tak pernah bisa difoto oleh paparazi paling wahid sekalipun. Tak ada yang tahu wajahnya kecuali orang-orang yang bekerja dengannya. Itu pun hanya orang-orang tertentu saja. Dia mengikat para pekerjanya dengan perjanjian yang berisi komitmen untuk tidak mengumbar kehidupan pribadi Hamid Khan pada publik.

Hamid Khan harus membayar mahal untuk privasinya. Dia harus membayar tinggi orang-orang penting yang bekerja dengannya. Pengawal pribadi, wartawan pribadi, pelayan pribadi, restoran elite pribadi, bahkan aktor pribadi. Aktor inilah yang selalu berakting sebagai Hamid Khan dan dialah yang selalu muncul untuk mengelabui paparazi. Dengan begitu wajah asli Hamid Khan tak pernah terekspos. Orang-orang menyebutnya Hantu Milliuner.

Orang-orang hanya bisa mengenal Hamid Khan dari kekayaan yang dimilikinya, salah satunya Las Olas de Estrellas. Kapal itu memiliki berat 41.000 ton dan mampu menampung 2500 penumpang. Dari atas geladak, kapal itu memiliki tujuh dek yang terbagi menjadi interior dan ekterior. Empat dek interiornya dinamai dengan nama-nama bintang: Hadar. Sirius, Canopus, dan Antares. Sementara tiga dek luar diberi nama Sol, Adara, dan Hamal.

Dek Adara merupakan area khusus publik. Di sana segala fasilitas untuk memuaskan dan memanjakan penumpang tersedia lengkap dan mewah. Adara menyediakan dua diskotek dengan nuansa berbeda, sebuah lounge utama, lima restoran dengan lima sentuhan nuansa, dua kasino, satu kolam renang indoor lengkap dengan sauna-sauna yang siap memanjakan para penumpang, blok perbelanjaan yang menyediakan segala macam cenderamata, bioskop empat dimensi, dan spa-spa yang eksotis.

Ciri khas kapal ini ada pada Menara Cinta yaitu sebuah kafe yang berada di dek Sol, menjulang sampai dek luar paling atas yaitu dek Hamal. Menara Cinta berada di samping kolam renang outdoor. Keistimewaannya ada pada desainnya yang futuristis. Menara itu berbentuk kapsul dan bisa berputar dengan pelan. Dindingnya bertaburan ribuan jendela kaca dengan bingkai warna perak. Para penumpang tidak diizinkan berada di rooftop menara itu jika kapal berlayar.

Amazing. Inilah hotel mewah yang mengapung di atas laut.

Semenjak Reya bertemu dengan kapal pesiar itu, dia menyangka dia akan merasakan luapan kegembiraan. Tapi ternyata rasanya lain. Reya tak yakin apa dia merasa gembira meski dia bisa tersenyum saat melihat kapal pesiar itu. Sesuatu membanjiri ruang hatinya, memenuhinya dengan paksa sehingga kadang membuatnya limbung. Mungkin inilah rasanya dekat dengan impian.

“Eh, kamu tahu artinya?” tanya Vini sambil menyodok pinggang Reya. Sepupunya ini turut melayangkan tatapan pada tulisan di lambung kapal itu. Entah ini pertanyaan keberapa yang Vini lontarkan. Dia selalu bertanya dan berkomentar semenjak mereka tiba di Madrid. Ribut sendiri. Reya lebih merasa ditemani oleh burung peliharaan daripada seorang sepupu. Bahkan semenjak mereka sampai di Madrid, Vini sudah lupa rasanya menutup mulut. Walaupun dia diam, bibirnya selalu terbuka. Kalau bukan karena tersenyum lebar, ya, pasti bengong penuh kekaguman.

“Ah, aku lupa kamu selalu mengkhayal di kelas Spanyol waktu kita kuliah dulu,” sindir Reya. Mereka berdua dulu sama-sama kuliah di Fakultas Sastra yang sekarang lebih dikenal dengan Fakultas Ilmu Budaya. Reya dan Vini sama-sama mengambil mata kuliah pilihan Bahasa Spanyol. Perbedaannya Vini memilih kelas itu untuk memelototi dosen Spanyol yang ganteng, sedangkan Reya lebih serius sehingga dia berhasil mendapatkan beasiswa musim panas di Spanyol selama dua bulan. Waktu itu dia memilih kota Alicante yang berada di sebelah timur selatan Spanyol sebagai pilihan belajar. Sekarang dia berada di Santander, di sebelah utara Spanyol. Rasanya genap sudah impiannya.

“Salah sendiri Carlos itu ganteng banget. Lebih enak memandangnya daripada menghapal seabrek konjugasi. Semua pelajarannya menguap dari kepalaku gara-gara wajah Ricky Martin-nya,” kata Vini enteng. Reya mencebil.

“Dia tidak mirip Ricky Martin.”

“Bagiku wajah mereka sama saja. Jangan bilang kamu tidak terpesona sama guru Spanyol kita. Semua teman cewek kita jatuh cinta padanya dan satu-satunya kalimat yang ingin cepat-cepat kami hapal adalah te amo.

“Enggaklah. Dia memang cakep tapi aku lebih tertarik sama bahasa Spanyol.”

“Okelah, kamu memang selalu ingin menjadi good girl. Everybody knows that. So, apa artinya?” tanya Vini sambil menunjuk tulisan kapal itu dengan tak sabar.

“’Ombak bintang-bintang’,” jawab Reya pelan.

Saat mengatakan arti nama kapal itu, tiba-tiba tengkuknya seperti disentuh hawa dingin. Reya spontan menoleh ke belakang. Tak ada apa-apa. Hanya angin. Namun entah kenapa dia merasa ada seseorang di belakangnya.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Vini yang menangkap sikap ganjil Reya. Belum sempat Reya menjawab, seorang gadis berkulit susu mengangsurkan nampan berisi minuman kepada mereka.

Bien venido, seňoritas,” katanya dengan suara yang renyah dan senyum ramah.

Gracias,” kata Reya. Dalam sekejap Reya melupakan perasaannya barusan dan menikmati minuman berwarna biru yang rasanya sangatlah eksotis. Campuran rasa buah yang sedikit kecut namun segar berbaur dengan minuman soda yang manis namun menyengat. Gadis pembawa nampan itu melekatkan tatapannya ke arah Reya dan Vini. Ada raut kekaguman di sana.

Oh, que linda ropa!” serunya. Reya tersenyum dan kembali mengucapkan gracias. Dia lalu menjelaskan kalau baju yang mereka pakai adalah batik. Hari itu kedua gadis itu memang sepakat memakai terusan batik dengan kerah terbuka dan lengan setali. Hanya saja baju batik Reya lebih sederhana daripada Vini. Kepunyaan Vini lebih ribet dengan banyak rimpel dan pernak-pernik. Gadis pembawa nampan itu bukan satu-satunya orang yang menatap mereka dengan kekaguman.

Oh, Ustedes son de Indonesia. Maravilloso pais, si? (Oh, Anda dari Indonesia? Negara yang indah, bukan?)”

Reya menarik sebelah alisnya, “Sabes Indonesia? (Kamu tahu tentang Indonesia?)”

Tak banyak orang Spanyol tahu tentang Indonesia. Menurut persepsi mereka, semua orang Asia seperti orang Cina. Jadi Asia itu Cina. Betapa hebatnya orang Cina bisa mencitrakan dirinya sedemikian rupa. Itu adalah efek luar biasa jiwa merantau mereka. Mereka memenuhi dunia tanpa bisa dihentikan.

Dulu sewaktu Reya berjalan-jalan di pantai San Juan, Alicante, ada seorang anak kecil berumur sekitar delapan tahun menatapnya tanpa kedip. Dia bersama ibunya. Anak itu menarik-narik tangan ibunya dan menunjuk-nunjuk pada Reya.

“Mira Mama, es China. (Lihat Mama, dia Cina).”

“Ssst .…” Sang ibu menarik tangan anak itu dan membawanya pergi. Bahkan tukang masak yang kerja di tempat kosnya dulu lebih suka memanggilnya Cina daripada Reya. Padahal Reya memiliki mata yang lebih lebar dari orang Cina serta kulit sawo matang yang lebih gelap dari orang Cina.

Por supuesto, sabemos todo sobre Indonesia. (Tentu saja, kami tahu semua tentang Indonesia),” kata gadis pembawa nampan itu dengan bangga.

Reya mengangguk takjub. Vini linglung, Dia menatap Reya dengan harapan Reya mau menjelaskan makna pembicaraan mereka. Dia bertanya kepada Reya saat mereka berdua menaiki tangga menuju pintu utama.

“Kalian barusan ngobrolin apa?”

“Dia bilang gaya pakaianmu norak,” jawab Reya sembari mengulum senyum. Vini memelotot. Dia melihat baju batik terusan pendeknya yang dipadu dengan sepatu bertali sampai betis. Tak lupa topi lebarnya yang dia beli murah di Pasar Sukowati, Bali. Semua pernik itu memiliki warna yang kontras. Vini suka warna menyala dan suka menubrukkannya asal-asalan. Untung kulitnya putih jadi semua warna bisa masuk.

“Bohong!” seru Vini. Reya memasang muka serius.

“Dia bilang kamu terlihat seperti mau ikut karnaval dengan pakaian seperti itu.”

“Kurang ajar banget dia.”

Reya tidak tahan melihat tampang Vini yang memerah. Dia tertawa. Vini menyadari bahwa Reya hanya menggodanya.

“Dasar! Awas kamu, ya!”

Reya semakin keras tertawa. Vini mencubit lengan Reya.

Tanpa mereka sadari sepasang mata menatap mereka dari atas kapal. Mata itu tak pernah melepaskan kedua gadis itu, seakan mereka telah masuk dalam bidikannya.