cover landing

Oh, My Dosen!

By Irumi_


Kehidupan Nesya tidak jauh dari tugas kuliah yang selalu merongrongnya setiap hari. Sibuk adalah kata andalan yang diucapkannya ketika teman-teman di luar jurusannya mengajak untuk pergi hang out.

Sudah rahasia umum jika jurusan DKV adalah jurusan yang mengharuskan mahasiswanya untuk kuat. Kuat mental, kuat fisik, kuat materi, dan kuat iman—eh. Namun, memang benar, para mahasiswi jurusan tersebut harus kuat iman karena ada asdos ganteng idaman semua wanita penghuni kampus.

Tak hanya jurusan itu saja yang terpesona, tetapi semuanya. Termasuk Nesya, dia salah satu pemujanya.

Gedebug!

“Aduuhh!” Nesya mengaduh ketika tubuhnya jatuh dari tempat tidur. Ia berdiri perlahan seraya meringis kesakitan dengan mengusap-usap punggungnya. “Gila, sakit banget. Padahal mimpinya indah banget. Baru aja mau jatuh ke pelukannya Pak Jian, tapi malah jatuh dari kasur,” celotehnya seraya menggaruk kepala dengan rambut tidak karuan.

“Eh, jam berapa sih ini?” Nesya melirik ke arah jam digital yang tersimpan di meja belajarnya. Matanya membulat dan mulutnya ternganga ketika melihat jam yang sudah menunjukkan angka empat. Ia menepuk kepalanya panik. “Tugas gue!”

Nesya segera menarik kursi dan menyalakan kembali laptop yang diatur dalam mode tidur. Semalam, niatnya Nesya hanya akan istirahat sebentar, tetapi ternyata ia malah kebablasan sampai subuh. Padahal progres tugasnya baru dikerjakan 45%. Sungguh jiwa kebonya keterlaluan sekali.

Ponselnya berdering ketika Nesya baru saja menyelesaikan tugasnya. Ia segera menjawab panggilan dari sahabatnya, Gista.

“Apa, Gis?” tanya Nesya lesu.

“Lesu gitu suara lo, kenapa?”

“Ngantuk,” jawabnya. “Tugas gue hampir aja almarhum kalau gak bangun tadi subuh.”

“Tugas? Tugas apa?”

“Pak Jian, lah. Siapa lagi.” Nesya sudah tidak berdaya lagi, matanya sudah tidak bisa diajak kompromi.

“Loh, tugasnya masih ada waktu seminggu lagi, Sya.”

“HAHH!?”

***

Nesya memarkirkan motornya begitu sampai di kampus. Sesekali menguap karena rasa kantuk yang menyerangnya sejak tadi. Ia berjalan lesu menuju ruangan kelas yang masih cukup jauh dari halaman utama kampus.

Rasanya sudah di-prank oleh tugas yang boleh selesai minggu depan. Sungguh, ia tidak melihat jadwal deadline tugasnya sendiri yang sudah ditulisnya. Mungkin efek terlalu semangat setelah pertemuan keduanya dengan sang asisten dosen yang memesona. Oh, bukan. Bukan semangat sebenarnya, Nesya mengerjakannya dengan sistem kebut semalam. Jika semangat, begitu diberi tugas Nesya pasti langsung mengerjakan. Benar, bukan?

“Nesya!”

Gadis berusia 21 tahun itu menoleh pelan ke arah suara. Di belakangnya seorang gadis seusia dengannya berlari kecil dan menggandeng sahabatnya itu ketika sampai di hadapannya.

“Ya, ampun.” Gista menghentikan langkahnya dan menangkup wajah Nesya yang mempunyai lingkaran hitam di matanya. “Mata … lo. Mata lo kenapa, Sya?”

Nesya berdecak kesal, reaksi Gista terlalu berlebihan karena melihat mata panda miliknya. Ia menghempaskan kedua tangan gadis itu di wajahnya. “Mau tau?” ujarnya lesu. “Ini hasil kerja keras untuk mengerjakan tugas,” jawabnya seraya menunjuk matanya sendiri dengan menggerakkan jarinya membentuk lingkaran di bagian kantung matanya yang menghitam.

Lalu, kembali berjalan menuju ruang kelas yang masih jauh untuk digapai. Rasanya tempat itu berjarak ratusan kilo meter ketika tenaganya terkuras habis subuh tadi.

“Lo kebiasaan gak pernah teliti lihat sesuatu. Untung aja masih minggu depan, kalau tugasnya sekarang dikumpulin dan lo masih leha-leha, gimana coba?”

Nesya tidak menjawab, ia sudah biasa mendengar omelan sahabatnya yang seperti ini. Mereka sekarang sudah melewati gedung utama. Mata Nesya membulat ketika melihat pria jangkung berkacamata berjalan menuju ke arahnya. Pria itu sibuk dengan kertas-kertas di tangannya.

Nesya menarik tangan Gista untuk bersembunyi di balik dinding bangunan.

“Kenapa tarik-tarik, sih, ah. Sakit tahu,” protes Gista, sedangkan gadis yang diprotes olehnya sibuk memerhatikan seseorang di balik tembok itu.

“Gis, Gis,” panggilnya tanpa menoleh seraya menggerakkan tangannya untuk meraih tangan sahabatnya.

“Apaan?” Gista mengernyit.

Nesya berbalik badan. “Lo bawa pondesyen, kan?”

“Hahh?”

“Yang buat ini.” Nesya menyentuh bawah matanya yang menghitam.

Gista menarik lurus bibirnya, lalu membuang napas sedikit kasar. “Foundation, bukan pondesyen. Pake F bukan pake P, Sya. Gue gak bawa begituan.”

“Yah, terus gimana, atuh? Biasanya lo itu selalu bawa alat make up yang stik itu loh, yang kayak lip mate.”

Concealer maksudnya?”

Nesya menjentikkan jarinya. “Nah, itu dia. Tolong pakein itu buat ngilangin mata panda gue, dong, Gis,” pinta Nesya seraya memperlihatkan puppy eyes-nya.

Gista membuang napas pasrah. “Ya udah, sini.” Gista merogoh tasnya untuk mengambil benda kecil itu.

Nesya mencondongkan tubuhnya ke depan dan Gista memegangi pundak sebelah kirinya dan kepalanya diposisikan sedikit miring.

Astagfirullah, kalian lagi ngapain?” Seorang pria memergoki mereka, posisi mereka membuatnya overthinking. Apa lagi mereka berada di tempat yang sepi.

Nesya dan Gista tersentak, mereka sontak menoleh ke arah suara. Concealer di wajah Nesya bahkan belum diaplikasikan, sehingga masih belum rapi.

Nesya dan Gista terperangah ketika melihat siapa yang berada di belakangnya.

“Itu apa di wajah kamu?” tanyanya seraya menunjuk wajah Nesya yang masih terdapat sisa concealer yang belum dirapikan.

“A-anu, Pak. Saya ada item-item, eh, anu ... maksud saya mata panda. Jadi ... saya samarin aja pake concealer milik Gista.” Nesya menjawab sedikit tergagap ketika berhadapan dengan dosen idamannya itu. Ia tersenyum kikuk setelahnya.

“Ya, ampun. Saya kira kalian ngapain. Posisi kalian itu kayak yang lagi ....” Dia menggantungkan kalimatnya. Nesya dan Gista tampak menunggu pria itu melanjutkan kata-kata selanjutnya. Namun, dia terlihat tidak nyaman untuk mengucapkannya. “Ah, sudahlah. Kalau mau pakai make up, kalian bisa ke toilet dulu atau ke mana kek. Jangan di sini,” tegurnya.

“Maaf, Pak,” ujar Nesya dan Gista bersamaan.

Pria itu menggeleng pelan. “Ya, sudah. Cepat masuk kelas, sebentar lagi Pak Bagas datang, kalian mau terlambat ikut kelasnya?”

Mata Nesya membulat. “Loh, bukannya Bapak?”

“Bagian saya minggu depan. Pak Bagas bagian yang sampaikan materinya dan saya bagian praktik,” jelasnya.

“Oh, gitu, ya, Pak. Kirain Bapak gantiin Pak Bagas ngajar.” Nesya berbicara sedikit malu-malu.

Pandangan Nesya tak lepas dari pria dengan pakaian kasualnya pagi ini. Kardigan hitam dengan kaus putih melekat pas di tubuhnya, dan jeans hitam yang tidak terlalu ketat tidak juga terlalu longgar. Namun, tetap memberi kesan rapi padanya. Ya, Nesya baru menyadari jika penampilan pria itu seperti mahasiswa pada umumnya.

“Saya duluan, ya. Ada janji sama Bu Rindi.” Dia menyunggingkan senyum manisnya pada Nesya. Jantung gadis itu berdegup tak karuan, seperti mendapat serangan tiba-tiba. Senyumannya selalu mampu membuat dirinya hampir meleleh. Padahal senyuman itu tidak hanya ditujukan padanya seorang. Setelah beberapa langkah, dia kembali menoleh dan berkata, “Jangan lupa, rapiin make up kamu.”

Nesya mengerjap-ngerjap. Ia tidak bisa berkata apa-apa, hanya memegangi dadanya. Terasa jantungnya berdebar dengan cepat. Apakah kali ini, ia benar-benar jatuh cinta pada pria itu.

“Heh, mau sampai kapan lihatin dia? Sini cepet rapiin, tuh.”

“Iya, iya, bentar.” Nesya menyahut tanpa menoleh pada Gista. Ia masih memandangi pria yang menjauh darinya. “Ya, ampun. Kira-kira Mamanya ngidam apa, ya, sampe bisa punya anak seganteng Pak Jian?”

Gista sudah mendengar ucapan itu berulang kali dari mulut sahabatnya. “Mamanya ngidam durian Malaysia,” sahutya asal. “Udah cepet sini, entar Pak Bagas keburu datang, repot kita gak bisa masuk kelas.” Gista menarik tangan Nesya agar gadis itu menghadap ke arahnya.

“Ah, sotoy, lo mah.”

“Ya, udah kalau gak percaya mah. Bodo amat gue.”

Setelah perdebatan itu berakhir, Gista merapikan concealer di wajah Nesya. Perkara ini memang memalukan, tetapi Nesya sepertinya santai-santai saja. Dia hanya terpesona ketika melihat pujaan hati yang berada di depan mata. Memang, ya, cinta bisa membutakan semuanya. Gista hanya bisa menggeleng pelan melihat sahabatnya yang sedang dimabuk cinta oleh asisten dosen yang baru saja dua kali mengajar itu. Baru seperti ini saja, Nesya sudah tidak bisa berkata apa-apa. Bagaimana jika mereka sampai ngobrol berdua, mungkin Nesya sudah mencair seperti es yang terkena sinar matahari.