cover landing

Oh, My Beloved, Teacher

By Rita Aria


"Gila, matematika gue nilainya D," desis Casey ketika melihat nilai yang tertera di dalam satu kertas halaman yang berukuran A4 itu. 

Nilai D yang artinya hampir jelek atau bahkan bisa dikatakan nyaris gagal atau sejenisnya. Casey bersumpah kalau ibunya akan marah-marah jika melihat huruf D yang berada di pojok kanan. Sialnya, nilai itu tetap tertera di sana dan bentuknya yang mirip emotikon senyum itu seakan meledeknya. Apalagi warna yang merah menyala itu membuat perasaannya makin tidak enak.

"Lo dapet apa?" tanya Diva teman yang duduk di sampingnya.

"D buat Diva," jawab Casey malas.

"Gue C, buat Casey," sahutnya kemudian. Lalu, keduanya tertawa untuk melepaskan tekanan, karena pasti akan remidi setelah pulang sekolah.

"Lo tahu belum kalau yang remidi bukan Pak Husein?" tanya Diva tiba-tiba pada Casey.

"Nggak tahu, emang siapa?" Seingatnya guru matematika kelas tiga hanya Pak Husein. Tak ada yang lain.

"Guru baru. Masih muda, lucu, imut dan ganteng." Diva melayangkan pikirannya jauh entah ke mana. Mungkin sedang membayangkan si guru baru yang menurutnya ganteng, lucu, imut, dan masih muda tersebut.

Meskipun guru masih muda. Kalau dia tak bisa mengajar dengan baik dan cara mengajarnya sama seperti Pak Husein, Casey pikir akan sama saja. Pak Husein biasanya hanya lebih memperhatikan murid-murid yang jelas pintar saja. Golongan seperti Casey, hanya akan dianggap hiasan kelas semata.

Dia membayangkan Pak Husein datang dengan tenang. Lalu, memberikan tugas pada murid-murid. Beliau kemudian keluar entah ke mana dan kembali lagi hanya untuk menyuruh murid-muridnya mengumpulkan tugas. Begitu seterusnya. Mau protes pun Casey tak sanggup. Kasihan Pak Husein sudah tua.

"Namanya siapa?" tanya Casey penasaran.

"Pak Dilan."

"Huh?! Yakin itu nama dia? Bukan ikut-ikutan film yang viral itu?" kekehnya tak percaya dengan nama guru tersebut.

"Nama panjangnya Ardilan Putra. Tapi, murid lain lebih suka manggil dia Pak Dilan," lanjut Diva lagi.

"Oh," desis Casey sambil tersenyum.

Ardilan sepertinya akan menggantikan Pak Husein dan menjadi wali di kelas Casey dan Diva, karena sebentar lagi Pak Husein akan pensiun. Kata Diva sih begitu, kenyataannya dia sendiri tidak tahu. Jika guru itu lebih baik dari Pak Husein, maka Casey akan sangat bersyukur. Untung-untung nilainya bisa membaik, jika guru lain yang mengajar.

"Tuh liat Cas, itu yang namanya Pak Dilan!" Diva menepuk pundak Casey. Dia memaksanya menengok ke arah jendela di mana ada seorang lelaki yang lewat. Benar kata Diva, lelaki itu benar-benar masih muda.

Casey menganga melihatnya, dia tak berpikir jika guru itu lebih muda dari perkiraannya. Mungkin usianya sekitar 24 atau 25. Dengan rambut hitam pekat, mata yang indah lalu wajah yang putih mulus.  Dia tampak ramah seperti yang dikatakan oleh Diva. Lelaki itu mengangguk ketika murid wanita mulai memanggil namanya, bahkan bersiul seakan tak tahu jika yang berjalan saat ini adalah guru mereka. Mereka mungkin sudah gila.

 "Pak, satu tambah satu sama dengan berapa?!" teriak murid cewek kelas IPS dengan norak. 

Dan lebih noraknya lagi, ketika guru baru itu menjawab, "Dua."

Sontak murid cewek membalas, "Kalau aku tambah kamu, sama dengan cinta, Pak!" Kemudian dia dan teman-temannya bersorak sangat ramai.

Casey menggeleng, berusaha menahan dan membentengi kewarasannya agar tidak keluar jalur seperti mereka. "Norak banget ya, Div." 

Namun, entah sejak kapan teman sebangkunya itu sudah memelesat pergi. Ternyata Diva sedang  mengiringi jalan Ardilan menuju kantor guru.

Casey mengurut keningnya yang mendadak pusing. Ketiga huruf D ini membuatnya pening hari ini. Dari huruf D di kertas ulangan yang membuatnya mual sampai huruf D lain yaitu Diva yang kini tergila-gila pada guru baru. Lalu, huruf D ketiga, Dilan, guru baru yang muda dan tampan. Dan akhirnya dia memilih untuk meremas kertas ulangannya lalu membuangnya ke tempat sampah yang ada di samping kursi guru.

***

"Casey Margareth!" panggil Ardilan.

Casey sontak berdiri, ketika mendengar namanya dipanggil. Ardilan menatap matanya bersamaan dengan Casey yang menatap wajahnya. Tatapan yang membuat Casey terpana dan tak bisa berkedip untuk sekian detik. "Sial, bener-bener ganteng!" umpat Casey dalam hati.

"Kertas ini punya kamu?" Ardilan melebarkan kertas yang sudah Casey remas tadi dan ia buang ke tempat sampah. Dia menatap deretan soal dengan banyak tinta merah, yang membuatnya penasaran.

Casey terhenyak ketika melihat kertas ulangan kusutnya kini berada di tangan gurunya. Matanya menatap ke arah teman-temannya yang menunggu jawaban darinya. Ingin mengelak, tapi namanya jelas tertulis di sana.

Guru itu menyuruhnya untuk mengambil kembali di depan mejanya sekarang. Kecerobohan Casey yang meremas kertas ulangannya tanpa mengeceknya terlebih dahulu, membuat Ardilan melihat beberapa soal yang sama dengan kertas soal yang ia bawa untuk remidi.

"Cie, dipanggil Pak Dilan," ledek Diva berbisik.

 Casey pun maju. Dengan langkah malu, bahkan langkahnya terasa kaku seperti langkah robot yang terlihat ambigu.

"Kenapa kamu buang?" tanyanya dengan lembut. Selain suaranya merdu, wajahnya pun masih penuh senyum.

Untuk sesaat Casey masih menikmati suara itu. Bahkan jika seharian dia diceramahi olehnya pun Casey mau.

"Nilainya jelek, saya nggak bisa bawa pulang kertasnya, Pak," jawab Casey gugup. Kenapa juga dia harus memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu? Siapa suruh memungut kertas ulangan yang sudah dibuang dari tempat sampah?

Ardilan hanya tersenyum kemudian memberikan kertas itu kembali pada Casey. "Kamu duduk di meja paling depan sini, nanti saya kasih penjelasan yang mudah dipahami agar kamu dapat nilai yang bagus," kata Ardilan. 

Casey pun langsung mengangguk seakan terhipnotis dan langsung duduk di sana. Hanya ada tujuh orang yang mendapatkan nilai jelek saat ini, otomatis murid bisa duduk di depan semuanya. Tapi Casey, dia diminta duduk tepat di depan meja guru. Bukankah itu aneh? Atau hanya perasaannya saja? Yang jelas perasaan Casey saat ini mulai campur aduk, antara senang, malu, dan gugup menjadi satu.

"Kamu mana yang belum paham?" tanya Ardilan dengan satu tangan bertumpu di atas meja. Dia menatap Casey dan soal-soal yang ada di meja bergantian. Kepalanya berada di atas kepala Casey, hanya sedikit lebih tinggi. Posisi ini membuatnya bisa mencium wangi shamponya dan aroma parfum mint yang sangat menyegarkan.

"Ini pak. Limit fungsi trigonometri. Saya bingung," jawab Casey menunjuk soal-soal yang salah.

"Oh, jadi ini coba kamu sederhanakan bentuk pada ruas kiri persamaan, sehingga menjadi sama dengan ruas kanan persamaan ini."

Casey hanya mengangguk, penjelasannya lebih mudah dia mengerti, mungkin karena Pak Husein tidak pernah menjelaskan sedetail ini.

"Gimana? Udah ngerti?" tanya Ardilan setelah selesai menjelaskan.

 "Ngerti, Pak."

 "Kalau begitu kamu coba kerjakan soal ini ya, yang salah kamu kerjakan lagi, nanti saya cek." Ardilan meninggalkan Casey dan menuju ke bangku lain.

Murid cewek yang tidak remidi seakan menyesal dengan menunjukkan wajah mereka mengintip di balik jendela. Mereka mungkin akan sengaja mempertaruhkan nilai mereka, jika tahu ternyata remidi yang mengisi pelajarannya adalah Ardilan bukannya Pak Husein.

***

Casey pergi ke parkiran setelah waktu menunjukan pukul lima sore. Remidi yang menyenangkan hingga tanpa sadar, jika dia sudah berada di kelas selama dua jam. Karena biasanya ia akan merasa bosan jika Pak Husein yang mengajar, bahkan jika itu hanya sepuluh menit. Hal ini karena biasanya semakin lama Pak Husein mengajar, suaranya akan semakin tidak jelas dan tidak akan terdengar oleh murid di barisan belakang.

"Maafkan aku, Pak Husein!" desisnya tanpa menyesal.

"Casey?" panggil seseorang dengan ragu. Dia berhenti berjalan ketika melihat sesuatu yang jatuh dari tas salah satu muridnya.

Gadis itu pun menoleh ke belakang begitu ada yang menyebut namanya. Casey terkejut karena ternyata Ardilan yang sedang ada di belakangnya. Tapi kenapa?

"Punya kamu—jatuh," katanya ragu. Dia sepertinya malu mengatakan itu.

Casey melirik apa yang sedang ditunjuk oleh Ardilan. Sebuah pembalut bersayap miliknya ternyata terjatuh tak jauh dari kaki guru tersebut. Rasanya dia ingin mengatakan, "Buat bapak aja." Tapi, itu bukan daging ayam bagian sayap. Itu adalah pembalutnya yang tak tahu diri menunjukkan dirinya di depan Ardilan.

Casey berlari cepat meraih pembalut itu, sebelum Ardilan memandangnya lebih lama. "Makasih, Pak," katanya menahan malu. Image yang tak ingin dia tunjukkan pada Ardilan tanpa sengaja terbongkar juga.

"Kamu pulang ke mana?" tanyanya basa-basi—mungkin.

"Ke Perumahan Mutiara Dua, Pak," jawab Casey. Mata Ardilan sontak melebar.

Apa mungkin  dia juga tahu perumahan tersebut?

"Saya juga tinggal di sana. Kalau saya ada di Blok D," sahut Ardilan dengan penuh semangat.

"Wah, saya di Blok C. Berarti deket dong, Pak." Tanpa sadar Casey ikut senang, karena ternyata gurunya tersebut juga tinggal di satu daerah yang sama dengannya.

“Iya, kamu benar.”

"Bapak naik motor?"

Ardilan mengangguk, menunjuk sebuah motor matic berwarna hitam di parkiran. "Kita bisa bareng." Ardilan berjalan mendahului Casey menuju parkiran motor. Mengenakan helm, ia masih berdiri di sana seakan menunggu muridnya tersebut. "Mau nggak? Kalau kamu nggak mau, nggak apa-apa," katanya lagi.

"Mau Pak!" seru Casey senang. Dia mengakui jika beberapa persen kewarasannya hilang setelah melihat wajah Ardilan dari dekat. Apalagi tutur katanya yang seperti candu baginya.