cover landing

Not a Bestfriend Anymore

By Hai You


“Jadi, besok lo pindah kontrakan?”

“Hmm ....” Gadis itu menggumam dengan bibir mengapit jepit rambut berwarna hitam. Dia mengambil jepit itu dan memasangkan di sisi kiri kepala. Setelah itu menatap pantulan dirinya di kaca, memperhatikan rambut panjangnya yang kini terikat rapi. “Dan lo nggak usah ikut-ikut pindah,” lanjutnya sambil menunjuk lelaki berambut cepak yang sedang mengemudi itu.

Tanaka yang sering dipanggil Naka itu melirik sekilas. “Ngapain gue ikut pindah? Ogah. Enakan di kontrakan gue, depannya kontrakan cewek cantik.”

Eira mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia membuka laci mobil hendak mengambil lipstick. Saat tidak mendapati barang yang dicari, dia melotot ke Naka. “Mana lipstick gue?”

“Mana gue tahu!” Naka mengangkat bahu. Sedetik kemudian, dia tersenyum. Jelas tahu ke mana lisptick yang selalu ada di laci mobilnya.

“Pasti lo buang, kan?” Eira menunjuk Naka dengan mata memicing. Dia hafal dengan tingkah sahabatnya yang jail itu.

Naka menggeleng. Tangannya bergerak ke belakang kursi yang dia duduki. “Gue pindah ke kantong. Gue kemarin jalan sama anak kantor. Malulah kalau mereka tahu di mobil gue banyak lipstcik. Nanti dikira gue apaan?”

“Ish!” Eira mendengus lantas melongok ke belakang kursi Naka. Tangannya meraba-raba isi kantung, tapi tidak kunjung menemukan barang yang dicari. “Nggak ada.”

“Ya lo cari, dong!” Naka mendengus mendengar Eira yang tidak berhenti mengeluh itu.

“Tangan gue nggak sampai!” Eira menyerah. Dia kembali duduk menghadap depan dan menatap pantulan dirinya di cermin berbentuk kepala beruang yang selalu dibawa. “Bibir gue kelihatan pucet tanpa lipstick.

Kalimat itu membuat Naka menoleh. Tangannya terangkat ke dagu Eira dan menghadapkan ke arahnya. “Iya, lo kayak orang sakit!”

Tak ... Eira memukul tangan Naka. “Hibur atau apa gitu kek! Malah ngejek!”

“Emang lo pantes diejek.” Naka lantas terbahak setelah mengucapkan itu.

Eira mendengus melihat sahabatnya yang selalu jail itu. Meski begitu, dia tidak bisa berjauhan dengan sahabatnya yang satu itu. Persahabatan mereka sudah terjalin delapan tahun. Mereka bertemu saat SMA dan intens menjalin pertemanan. Bahkan menurut Eira, Naka adalah sahabat yang paling mengerti dirinya.

Suasana mobil yang mendadak hening membuat Naka tidak nyaman. Dia melirik, mendapati Eira duduk sambil setengah melamun. “Mikir jorok, ya lo?” Dia memukul puncak kepala Eira dengan pelan. “Wah, jangan kotori mobil gue dengan pikiran jorok lo! Tanggung jawab! Lo harus cuci mobil gue.”

Eira menoleh dengan wajah bosan. “Bilang aja pengen gue cuciin mobil lo, kan?” Dia sudah hafal akal bulus Naka.

“Haha ....” Naka terbahak. “Sahabat gue ini emang paling pinter. Nggak salah gue bertahan jadi sahabat lo.”

“Maksud lo bertahan?” Eira duduk menyerong menghadap Naka. “Lo sebenarnya nggak tahan jadi sahabat gue?”

“Gimana, ya?” Naka tampak berpikir. Dia menoleh sekilas lalu mengangguk dengan wajah tanpa dosa. “Lo bawel!”

Bola mata Eira membesar. “Naka! Kalau nggak mau jadi sahabat gue pergi sono!”

“Lo yang pergi. Ini mobil gue!” jawab Naka dengan senyum puas.

Rahang Eira mengeras. Saat pipinya terasa panas, dia mengembuskan napas dengan kasar. Setelah itu kembali menatap depan sambil menenangkan diri. “Gue tahu lo cuma bercanda.”

“Emang. Lo aja yang baperan.” Naka mengacak rambut Eira hingga rambut yang dicepol itu lepas dari tatanan. Tangan Naka seketika berhenti di udara. Dia merasa akan ada badai yang menerjangnya.

Eira memejamkan mata sejenak. Dia merasakan rambut panjangnya mulai terurai. “Naka!” Dia menjerit hingga urat lehernya timbul.

“Nggak sengaja, Ra!” Naka juga berteriak. “Udah sampai. Mending lo cepet turun!” Dia bersyukur karena telah sampai di sebuah bimbingan belajar tempat Eira bekerja.

“Justru ini makin kacau. Ish!” Eira mengambil ikat rambut dan mengikatnya asal. “Padahal, gue pengen kelihatan rapi. Malah lo rusak.”

Naka tersenyum tipis. Dia memperhatikan Eira yang mengikat rambut dengan wajah bete itu. “Artinya lo nggak diizinkan berpenampilan rapi.”

“Gimana ada yang ngelirik kalau gue kucel terus?” geram Eira. “Bye!” Dia mengambil kaca miliknya lantas turun dari mobil. Sambil berjalan dia memasukkan kaca ke totebag yang sudah beberapa minggu tidak dia ganti.

Setelah beberapa langkah, Eira ingat sesuatu. Dia berbalik dan mendapati Naka yang mengernyit ke arahnya. “Kalau nggak sibuk, nanti jemput gue, ya!”

“Gue sibuk!” jawab Naka cepat.

“Lo utang semangkuk mi ayam ke gue! Jangan belaga lupa!” Eira menunjuk Naka dengan tatapan tajam. Setelah itu dia kembali melanjutkan langkah.

Sedangkan di dalam mobil, Naka geleng-geleng melihat tingkah sahabatnya itu. “Dia selalu inget sama makanan. Heran!”

Setelah tidak melihat Eira, barulah Naka tancap gas. Sambil mengemudi dia menahan tawa. Tingkah laku Eira selalu membuatnya terhibur. Yah, minus saat gadis itu berteriak.

Hampir delapan tahun Naka akrab dengan teriakan Eira. Awal-awal dia sempat marah, karena teriakan sahabatnya itu telinganya sampai berdengung. Namun, lama kelamaan, jika tidak mendengar teriakan Eira, rasanya ada yang aneh. Naka sepenuhnya telah tertular tingkah aneh Eira.

***

“Baru dateng, Bro?”

Sapaan itu Naka dapat setelah duduk di kubikelnya. Pandangannya terarah ke depan, ke seseorang berkacamata dengan rambut keriting yang tengah manggut-manggut menikmati musik dari headphone-nya. “Tumben lo dateng agak pagi?”

“Apa?” Lelaki berambut keriting itu menjauhkan sisi headphone-nya.

“Tumben lo dateng agak pagi?” ulang Naka sambil menyalakan laptop. Sambil menunggu proses booating, dia bertopang dagu membaca deadline yang dia tempelkan di sticky notes.

“Kan, tiap hari Kamis jadwal gue tayang. Jadi, gue harus mastiin semuanya.”

Naka mengangguk pelan. Sudah tidak asing lagi para pekerja mendadak rajin saat jadwal penayangan cerita mereka. Sebagai seorang ilustrator, mereka harus memeriksa semua ilustrasi sebelum jadwal penayangan. Jangan sampai salah penayangan dan membuat ilustrasi tidak sesuai dengan jalan cerita.

Sejak lulus kuliah, Naka bekerja sebagai ilustrator di perusahaan komik digital. Awal-awal dia hanya membantu senior yang kelimpungan harus menggambar cerita setiap harinya. Hingga akhirnya dia dipercaya untuk andil dalam sebuah projek. Kali ini dia sedang bekerja sama dengan komikus andalan perusahaan.

“Ka. Kok tumben lo ke sini?”

Pertanyaan itu membuat Naka menahan tawa. Dia menatap Jame alias Jamal yang menatapnya dengan hearphone melingkar di leher. “Kerjaan gue banyak. Ada cerita baru yang harus gue tayangin.”

“Lagi?” Jame mendadak terlihat lelah.

Naka mengangguk. “Tiap hari gue harus gambar terus!” Dia mengepalkan tangan seolah menyemangati diri sendiri. “Kalau nggak gambar gue nggak dapet duit. Nanti yang modalin gue nikah siapa?”

Jame seketika berdiri dan mencondongkan tubuh. “Lo sama Eira mau nikah?”

“Siapa yang nikah?”

“Ada yang mau nikah?”

Jari tengah Naka terarah ke Jame. Dia mengedarkan pandang, melihat karyawan lain yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka, sayangnya telinga mereka terlalu sensitif. Apalagi, jika mendengar kata “nikah”. Telinga mereka seolah lebih lebar dari biasanya. “Nggak ada yang nikah!” tekan Naka.

“Hehe ....” Jame mengangkat kedua jari, merasa bersalah. “Lo nggak mau nikah sama Eira Kallista sahabat lo sejak SMA?”

Naka seketika bergidik. “Gue kenal dia udah lama. Gue tahu kebaikan sampai kejelekan dia. Gue juga tahu tingkah anehnya. Masa gue kawin sama dia?”

“Namanya jodoh nggak ada yang tahu!” Jame kembali duduk sambil menahan tawa. “Kenapa akhir-akhir ini dia jarang ke sini? Biasanya anter makanan terus curhat, tapi ngomongnya kenceng banget kayak ngasih tahu pengumuman.”

“Ya, itulah anehnya!” jawab Naka lalu mengembuskan napas. “Jangan bahas dia, deh! Gue nggak bisa konsentrasi kalau denger namanya.”

“Baik, Bos!” Jame memberi hormat, yang tentu saja Naka tidak tahu dengan tindakannya itu. “Kurang lengkap kalau nggak pakai musik.” Jame kembali memasang headphone dan mendengar musik EDM.

Drtt....

Baru saja Naka menggoreskan pen, ponsel di sakunya tiba-tiba bergetar. Dia merogoh ponsel dan melihat satu pesan masuk.

Miss Annoying: Nanti malem jemput gue, ya. Terus beli mie ayam

Naka mendengus membaca pesan itu. Sungguh, jika soal makanan Eira tidak mau kalah start. Dia meletakkan ponsel tanpa membalas. Ini waktunya bekerja, tapi Eira masih sempat mengirim pesan. Dia yakin, gadis itu memakan gaji buta.

***

Pukul sembilan malam, Eira baru keluar dari tempat bimbingan belajar. Dia berjalan sambil menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Setelah itu berhenti sejenak dan menggerakkan kakinya yang terasa kaku. Padahal, sepanjang hari dia hanya duduk sambil sesekali mengangkat kakinya ke kursi.

Hampir empat tahun Eira bekerja sebagai admin di bimbingan belajar. Dia mengontrol semua sosial media bimbingan belajar itu, menjawab telepon, menerima tamu bahkan tak jarang dia diminta untuk mengajar jika ada tutor yang berhalangan hadir. Tentunya, Eira akan menerima asal cukup paham dengan pelajarannya.

Tin... Tin....

Suara klakson membuat lamunan Eira terhenti. Dia menatap ke arah depan dan melihat seorang lelaki yang menggerakkan tangan dengan wajah bosan. Eira tersenyum. “Gue pikir lo nggak dateng!” Dia berteriak sambil berjalan cepat menuju mobil. “Langsung ke kedai mi ayam!”

Naka geleng-geleng. “Ucapin terima kasih gitu ke sahabatnya. Bukan langsung minta makanan.”

Eira mengangkat bahu. “Lo ada janji mau traktir gue.”

“Iya... Iya....” Naka lantas mulai mengemudikan mobil menuju ujung pertigaan.

Tidak sampai lima menit, mereka telah duduk di kedai mi ayam. Tempat itu tidak terlalu besar, hanya seukuran ruko. Namun, rasa mi ayamnya tidak perlu diragukan lagi. Bahkan, mereka menjadi pelanggan tetap sejak SMA.

“Mi ayam plus bakso seperti biasa?” Pak Noh si pemilik mengantarkan langsung mi ayam itu ke Naka dan Eira.

Eira mengambil mangkuk yang paling dekat lalu mengambil garpu. Tindakan itu membuat Naka mendengus.

“Kayak biasa. Eira nggak mau kalah start!” Pak Noh lantas menyerahkan semangkuk mi ayam ke Naka. “Dan Naka masih sama, nggak bisa protes.”

Naka menahan tawa. “Gimana mau protes, nanti dia teriak-teriak bikin pengunjung di sini kabur,” jawabnya sambil melirik Eira.

Eira tidak menggubris. Dia sibuk menyantap mi yang masih hangat itu.

Pak Noh tersenyum geli melihat dua remaja yang telah tumbuh dewasa itu. Dia mendekap nampan lalu duduk di hadapan keduanya. “Bapak pengen tahu, kalian sudah jadian?”

Uhuk....

Pertanyaan Pak Noh membuat Eira dan Naka tersedak makanannya. Mereka refleks mengambil minuman, menegaknya sambil saling membuang muka. “Nggak ada yang jadian!” teriak keduanya dengan wajah memerah.