cover landing

Night at Balcony

By anothermissjo


 

Dua tahun yang lalu ...

 

Suasana di salah satu ballroom rumah Yastomo Prambadi dipenuhi para tamu. Bukan orang luar, hanya sebatas keluarga besar Prambadi. Para cucu dan menantu datang untuk memeriahkan acara ulang tahun Yastomo yang diadakan sederhana di rumah. 

Ini pertama kalinya Wesmilia diajak bertemu dengan keluarga Prambadi yang lain setelah resmi berpacaran dengan Panjat Prambadi—salah satu cucu Yastomo—selama dua bulan belakangan. Dia sudah berkenalan dengan ibunya Panjat beberapa waktu lalu. Sekarang tinggal menemui kakek dan nenek Panjat yang disebut-sebut sangat pemilih soal pasangan untuk cucu-cucunya. 

Tangan Wesmilia digenggam erat oleh Panjat. Berulang kali laki-laki itu meyakinkan kalau keluarga Prambadi akan menerimanya. Namun, dia meragukan hal itu. Beberapa tatapan yang tertuju padanya seolah mengejek dan merendahkan. Dia yakin orang-orang melihat semua tato yang ada di beberapa bagian tubuh. 

“Kalau nanti aku pelototin orang-orang di sini, nggak apa-apa, kan?” tanya Wesmilia.

“Nggak apa-apa, asal bukan kakek dan nenek aja. Sisanya bebas, kok,” jawab Panjat santai.

“Iya, tenang aja. Soalnya aku udah punya target untuk aku tusuk pakai mataku.”

Panjat menahan tawa. “Take it easy, Sayang. Istri dari beberapa omku memang agak-agak. Cuekin aja kalau mereka sinisin kamu.”

Wesmilia memutar bola matanya. “Aku sinisin balik lah. Masih enak kalau diperhatiin kamu pas aku lagi telanjang. Kamu kelihatan gemesin gitu.”

“Kamu, nih ....” Panjat tidak melanjutkan sisa kalimatnya. Pikirannya menjadi kotor dalam hitungan detik gara-gara ucapan pacarnya. Beberapa detik selanjutnya dia melanjutkan, “Pokoknya nggak usah takut. Aku udah cerita sama kakek dan nenek tentang kamu.”

Wesmilia memercayai Panjat. Dia mengikuti pacarnya sampai tiba di depan sosok yang paling ditakuti keluarga Prambadi––Yastomo Prambadi. Dia mengulas senyum paling manis untuk ditunjukkan kepada kakek dan nenek Panjat.

“Opa, Oma, ini yang namanya Wesmilia.” Panjat menyentuh punggung Wesmilia, sambil tersenyum.

“Halo, Wesmilia. Salam kenal, Nak,” ucap Yanti Prambadi seraya memeluk Wesmilia dengan ramah. 

“Salam kenal, Oma,” balas Wesmilia. Dia menarik diri setelah merasa cukup dipeluk. 

“Oh, ya ... ampun! Pacar kamu mirip preman, ya. Tatonya banyak banget,” sela seorang wanita paruh baya dengan senyum sinis. 

“Pacar saya bukan preman, Tante Ilea,” balas Panjat berusaha tenang.

“Kamu nggak masalah punya pacar bertato sebanyak itu? Apa nggak takut mencoreng nama Prambadi? Orang-orang pasti berpikiran negatif,” sambung seorang wanita lainnya, ikut menambah panas suasana.

Panjat merangkul pinggang ramping Wesmilia tanpa malu-malu. Sambil tersenyum bangga, dia berkata, “Saya nggak masalah, Tante Santi. Saya menerima Wesmilia apa adanya, bukan ada apanya.”

“Ya, semoga aja kelakuannya nggak urakan.” Santi menekankan kalimatnya dengan sengaja, mengejek secara terselubung saat melempar senyum kepada Wesmilia.

Wesmilia akhirnya tahu bagaimana rupa iblis. Dia sudah cukup sabar mendengar tante-tante girang itu membahas soal tatonya. Ini saatnya dia membalas. Dia menunjukkan senyum manis, lalu membalas, “Tato itu seni, Tante. Di luar negeri ada polisi yang ditato. Nggak ada yang bilang tato adalah ciri khas preman. Kan, cuma di sini aja yang bertato dibilang seperti preman. Itu karena stigma masyarakat menciptakan pandangan negatif tentang tato. Padahal banyak artis yang ditato tapi kelakuannya baik-baik aja. Dan kelakuan seseorang bukan dilihat dari tatonya, tapi cara keluarga mendidiknya. Keluarga saya mendidik saya untuk tetap baik sama orang tanpa melihat dia bertato atau nggak, bukan menyinyir.”

“Saya setuju dengan kamu, Wes. Saya nggak pernah berpikir orang bertato itu arogan atau seperti preman. Tato hanyalah seni. Sikap bukan tergantung dari tatonya,” sela Yastomo.

“Itu dia, Opa. Semoga sikap saya nggak dilihat dari banyaknya tato yang ada di tubuh saya.” Wesmilia tetap mempertahankan senyum manis saat melihat Yastomo. 

Panjat tersenyum senang. Dua wanita yang menyinyir itu langsung kesal. 

“Kamu kuliah? Apa jangan-jangan nggak kuliah?” tanya Santi sinis.

Wesmilia tersenyum lebih lebar. “Saya kuliah sampai S2, Tante. Kalau ada kesempatan, saya ingin kuliah lagi ambil S3.”

“Kamu hebat sekali,” puji Yanti.

“Bagi saya pendidikan sangat penting, Oma. Jadi saya kuliah terus,” balas Wesmilia.

“Kuliah di mana? Kampus swasta sini, ya?” sela Ilea.

Panjat menyela, “Wesmilia kuliah di luar negeri, Tante. Dia lulusan S1 Harvard. Kalau S2-nya dia lulusan Stanford.” 

Wajah Ilea dan Santi berubah kecut. Mereka saling menyenggol bahu untuk melanjutkan nyinyir sejagat raya. 

“Ya, ampun ... kamu pintar sekali, Nak. Di keluarga ini cuma ada Panjat, Brave, dan Kamperya aja yang berhasil kuliah di Harvard dan Oxford. Sisanya nggak ada.” Yanti berpindah posisi, menggeser posisi Panjat dari samping Wesmilia dan segera memeluk lengan Wesmilia. “Kalau nanti mau ambil S3, sekalian ajak Panjat.” 

Wesmilia mengangguk. ” Pasti, Oma.”

“Pintar otak belum tentu pintar masak, Ma. Jangan-jangan nanti malah nggak bisa ngapa-ngapain,” celetuk Ilea, masih belum puas. 

Panjat menjawab, dengan senyum manis yang tetap ditunjukkan. Cara terbaik membalas adalah dengan jawaban yang mantap dan ditambah dengan senyuman. “Wesmilia pintar masak. Saya sering dibawakan makanan sama Wesmilia. Dia bisa buat cookies, kue ulang tahun, makanan utama, steak, bahkan bisa masak rendang. Dia sehebat itu, Tante.” 

“Oh, ya? Pasti rasanya nggak enak,” ejek Ilea dengan nada pelan.

“Oma yakin rasanya pasti enak,” sela Yanti seraya mengusap punggung tangan Wesmilia. 

“Orang tua kamu kerja apa, Wes?” Santi bertanya dengan merendahkan. “Kerja di perusahaan mana?” 

“Papa saya kerjanya santai, Tante,” jawab Wesmilia santai. 

“Oh, berarti kerja sama orang, ya? Kamu tertarik sama Panjat bukan karena uangnya, kan?” ceplos Santi.

Yanti menyela, “Kenapa kamu ngomong kayak gitu, San? Nggak sopan!”

“Santi, cukup! Jangan bicara lagi,” sambung Yastomo dengan penuh penekanan.

“Kenapa, sih? Aku cuma mau mastiin kalau Panjat nggak dibodohi seperti saat bersama mantan istrinya. Jangan sampai nanti uang Panjat habis cuma untuk perempuan. Kasihan Panjat.” Santi memasang wajah pura-pura memelas saat melihat Panjat. “Dia udah cukup menderita, Ma. Jangan sampai nanti dapat benalu lagi.”

Ternyata meladeni manusia lebih sulit daripada meladeni binatang yang ingin mengajak main. Cukup main-mainnya. Wesmilia gemas sendiri. Mungkin sudah saatnya dia mengeluarkan jurus pamungkas. Dia mengubah senyum manisnya menjadi senyum angkuh saat melihat Santi dan Ilea bergantian.

“Papa saya Edo Subroto, Tante. Papa lebih sering berbisnis dengan orang lain. Ya, pekerjaannya nggak banyak, kok,” balas Wesmilia. Semakin Ilea dan Santi menatapnya, maka dia semakin senang.

Yastomo terkejut, lalu bertanya, “Edo Subroto? Pemilik gedung Subroto yang besar itu? Kalau nggak salah punya mal juga, kan?”

“Iya, Opa. Semisal Opa sama Oma mau sewa helikopter atau pesawat pribadi, bisa menyewa di perusahaan Papa saya. Tapi, kalau kalian mau pakai untuk pribadi, saya bisa minta gratis sama Papa,” jawab Wesmilia. 

Santi dan Ilea mendadak bungkam. Mereka tidak menyangka Wesmilia sekaya itu. Beberapa kali mereka menyewa helikopter pribadi dari perusahaan ayahnya Wesmilia. Ternyata Panjat berhasil memikat putri pemilik perusahaan itu.

“Kalau Tante Ilea sama Tante Santi mau ke luar negeri pakai pesawat pribadi, saya bisa pinjamkan pesawat secara cuma-cuma.” Wesmilia berucap, dengan nada mengejek. Gantian. Tadi orang-orang itu mengejek habis-habisan dan meremehkannya. 

Tak ada yang bisa dikatakan Santi dan Ilea selain diam dan tetap sinis, hingga pelan-pelan mereka berlalu dan pergi.

Wesmilia tersenyum samar. Dia cukup tahu kalau untuk memenangkan dunia pernyinyiran sengit adalah melawan dengan gaya.