“… and they live happily ever after ….”
Pangeran dan putri itu saling tersenyum cerah. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan diiringi tepuk tangan orang-orang di sekitarnya. Tak lupa berbagai macam hiasan kertas warna-warni disebar hingga memenuhi jalan setapak menuju kereta kuda yang sudah menanti. Di belakang kereta kuda, terdapat pita panjang yang mengikat beberapa kaleng menjadi satu. Ketika kedua mempelai pergi, kaleng-kaleng itu berbunyi kelontangan. Lalu, sebuah kata pamungkas muncul di televisi layar cembung itu, “The End”.
Seorang gadis kecil berusia enam tahun tersenyum puas saat mematikan televisi. Ia memejamkan mata seolah membayangkan dirinyalah putri yang bahagia itu. Ia pun berangan-angan bertemu dengan seorang pangeran tampan nan baik hati di kemudian hari, lalu hidup bahagia selamanya dalam istana yang megah.
Begitu pula ketika ia selesai membaca suatu cerita dalam buku yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah. Sang tokoh utama berakhir bahagia dengan pasangannya. Hidup tentram, nyaman, damai, dan sentosa, seakan semua masalah juga telah berakhir dan tuntas.
Sekali lagi, senyum mengembang di wajah polos si gadis kecil. Ia berharap bahwa suatu saat, kisah hidupnya serupa dengan mereka, hidup bahagia selamanya.
Akhir cerita yang seperti itu telah ia lihat dan baca di sepanjang usia remajanya hingga kini ia dewasa. Ia pun tumbuh menjadi orang yang menyukai tipe film atau buku-buku romantis yang berakhir sempurna dan bahagia. Ia paling anti membaca kisah kelam yang tragis atau menyedihkan. Baginya, membaca cerita semacam itu bisa merusak mimpinya, mencemari imajinasi sucinya, bahkan menggoyahkan prinsip hidupnya, yaitu bertemu pria impian dan hidup bahagia selamanya.
Pria impian yang dimaksud di sini adalah pria yang sempurna tanpa cela. Tampan, kaya, baik hati, setia, penyayang, juga romantis, yang bisa memperlakukannya bak putri raja. Yang akan selalu siap sedia untuknya. Rela melakukan apa saja untuk membuatnya senang. Yang paling penting, pria itu hanya akan melihatnya seorang. Tak peduli, gadis lain yang lebih cantik dan kaya, ia akan menjadi satu-satunya wanita di mata pria itu.
Ia juga sudah mempunyai rencana hebat untuk masa depannya. Selepas sekolah, ia akan kuliah di kota besar, bertemu dengan banyak orang, khususnya pria tampan yang kehidupannya jauh lebih baik dari dirinya sekarang, bekerja dengan gaji besar di perusahaan yang bonafide, lalu menikah di usia 25 tahun. Hidup bahagia sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anak yang manis nan lucu di pemukiman elite. Tak lupa memelihara seekor anjing besar jenis Golden Retriever seperti yang pernah ia lihat dalam film-film box office. Benar-benar impian yang sempurna.
Tidak hanya itu. Mimpinya semakin menjadi-jadi ketika menduduki bangku SMP. Di masa itu beredar lagu “Cuma Khayalan” yang dinyanyikan oleh Oppie Andaresta. Isi lagu tersebut benar-benar sesuai dengan impiannya sejak kecil. Ia bahkan menulisnya dalam buku harian dan berharap akan menjadi kenyataan di kemudian hari.
Demikianlah ia menjalani hidup, mimpi sebagai energi dan motornya. Dengan itu, ia mampu bergerak. Tak peduli komentar orang, ia tetap berpegang pada pendiriannya.
“Kamu ini jangan kebanyakan mimpi, Lis!” tegur temannya suatu ketika.
Mereka berdua sedang duduk sambil menatap anak-anak lelaki yang berlarian mengejar bola. Senyum masih mengembang di wajahnya. Matanya tertuju pada satu sosok tampan yang sekarang menendang bola dan gol. Ketampanannya sangat memesona ketika tertawa. Wajah dan rambutnya yang basah oleh keringat sangat menarik perhatian. Ia terus menatap tanpa berkedip. Jantungnya berdebar ketika anak lelaki itu melambaikan tangan padanya.
Teman di sebelahnya tertawa sambil menepuk bahunya dengan keras. “Ge-er banget kamu! Dia bukan dadadada sama kamu. Tuh, liat!”
Ia menoleh ke arah yang ditunjuk temannya. Benar saja. Ada anak perempuan lain berseragam putih biru yang sedang menatapnya heran. Namun, ia tidak peduli.
“Bisa saja kan, anak itu yang salah?” katanya santai.
“Astagaaa! Bener-bener deh, ya! Aku nggak habis pikir sama mimpimu yang terlalu tinggi itu!” Temannya kembali mengutarakan pendapat yang terdengar pesimis.
“Hidup kalau nggak pake mimpi itu kayak makan nasi nggak pake lauk. Nggak ada yang bikin semangat untuk menghabiskannya.” Ia tetap berkilah.
Temannya sudah angkat tangan tanda menyerah. “Terserahlah. Aku cuma ingetin aja, jangan mimpi terlalu tinggi. Nanti jatuhnya sakit.”
“Eh, siapa bilang? Aku bakal jatuh di awan-awan yang empuk.” Masih saja ia mempertahankan pendapatnya.
Si teman hanya bisa menggelengkan kepalanya lalu pergi.
Ia tidak peduli. Selama masih mempunyai mimpi, ia akan tetap hidup. Ia tidak sendirian berpikir seperti itu. Ibunya sangat mendukung, walau dalam konteks sedikit berbeda.
“Itu lho. Mama pengin kamu tuh besok bisa kerja kayak mereka. Kerja kantoran, pake komputer, di gedung tinggi. Gajinya pasti besar. Itu kalau mau kayak mereka, harus kuliah jurusan apa sih?” Begitu kata sang ibu sambil menunjuk seorang wanita kantoran dalam sebuah sinetron di televisi. Saat itu dirinya masih mengenyam pendidikan di SMA.
“Kamu itu harus pinter merawat diri. Dandan yang cantik, biar bisa melayani suamimu kelak. Kalau nggak, bisa kabur dia.” Si ibu berkata lagi di lain kesempatan.
Bukan tanpa alasan sang ibu berkata begitu. Beliau mengacu pada dirinya sendiri. Pengalaman yang membuatnya berkata demikian.
“Kamu tau sendiri hidup kita cuma begini-begini aja. Mama nggak bisa kasih lebih. Kamu harus cari calon suami yang mapan. Biar hidupmu nyaman, nggak kayak mama yang seumur hidup harus menanggung utang judi papamu. Udah meninggal, bukannya kasih warisan, malah ninggalin beban besar.” Ibunya menghela napas panjang, lalu melanjutkan, “Mama nggak minta apa-apa dari kamu. Mama cuma pengin hidup kamu itu lebih layak dari sekarang.”
Seolah mendapat dukungan, ia semakin bertekad mencapai mimpinya. Ia sudah cukup hidup biasa-biasa saja dan dipandang sebelah mata oleh keluarga besar ayahnya. Padahal beliau sendiri yang menghabiskan uang hingga nyaris bangkrut. Beruntung sang ibu masih mempunyai cukup tabungan untuk biaya hidup dan sekolahnya.
Sekarang, ibunya menjalankan toko peracangan seorang diri. Sementara dirinya, seperti impiannya, berhasil kuliah di kota besar, lalu bekerja di depan komputer. Namun ….
“Mbak, beli, Mbak ….” Suara parau seorang lelaki membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum sambil meletakkan buku harian usang di samping meja. Ya, gadis kecil itu, dan sosok yang kuceritakan di atas, adalah diriku sendiri.