cover landing

My Dna Love’s

By Sienta Sasika Novel


Minggu, 1 Agustus 2010

 “APA? NIKAH??”

Teriak Sienta dan Bintang bersamaan, di waktu yang sama, di tempat berbeda ketika keduanya sama-sama diberi kabar kalau mereka akan dijodohkan.

 

Di Rumah Sienta

 

“Aduh, Mah, please deh, masa aku harus nikah sekarang, sih?” keluh Sienta, mendengarnya saja sudah seperti orang kena alergi.

“Nggak apa-apa, nikah muda nggak ada salahnya, kan?” jawab ibunya santai sambil menyeruput bubur kacang hijau yang masih hangat.

“Mama, umur aku baru dua puluh tiga! Aku masih mau kuliah, masih mau ngejar prestasi, karier, sama pengalaman.” Sienta melirik ibunya. “Aku juga masih pengen main, Mah, Pah. Gak siap buat nikah!”

Sama sekali tak ada respons dari kedua orang tuanya

“Mah! Pah! Denger gak sih? Aku gak mau dijodoh-jodohin. Udah gak musim!” komentar Sienta gregetan.

“Kamu kenalan saja dulu, tapi akhir tahun ini kamu harus nikah sama dia. Iya kan, Pah?” guman ibunya.

“Iya, kamu kenalan aja dulu, baik kok orangnya,” tambah ayahnya tanpa melihat Sienta sedikit pun. Matanya fokus pada berita yang terpampang di koran hari ini. “Satu lagi, dia anaknya sahabat Papah, sahabat terbaik!” Barulah pria itu menaikkan wajah dan memandang anak gadis satu-satunya.

“Pah, kenapa harus akhir tahun ini? Nggak bisa apa nunggu aku lulus S2 dulu? Aku kan target nikahnya umur 27, Pah,” keluh Sienta, berusaha untuk tetap menolak perjodohan tersebut.

“Nggak bisa nunggu lagi!” serobot ibunya dengan tidak sabaran.

“Lho kenapa?” tanya Sienta heran. “Buru-buru amat kayak dikejar anjing,” tambahnya kesal.

“Kelamaan kalau dia harus nunggu kamu kuliah S2 dulu. Dia harus cepet-cepet nikah!” Kali ini ayahnya berkomentar sambil menyeruput teh tawar hangat.

 “Lho, memang umurnya berapa sih?” tanya Sienta lagi dengan penasaran.

“Tiga puluh,” jawab ayahnya.

“APA? Aku harus nikah sama laki-laki bangkotan?” Kedua bola mata Sienta membesar, biji matanya nyaris copot! Ia langsung membayangkan salah satu profesornya di laboratorium yang sudah tua, beruban, kurus kering, dan... bau tanah.

“Enggak, enggak, enggak!” seru Sienta bersikukuh sebab kengerian langsung membanjiri tubuhnya. Sienta langsung menggeleng-gelengkan kepala. “Pokoknya aku gak mau nikah ya! Titik!”

 

Di rumah Bintang

 

“Mam, apa-apaan sih?” keluh Bintang sambil memijat keningnya. “Ngapain pake jodoh-jodohin segala?” tanyanya dengan nada malas.

Menikah, bagi Bintang, adalah ide paling gila! Ide paling tidak rasional dan tidak masuk akal!

“Aduh, kamu mau apa lagi? Umur sudah cukup. Bukan cukup lagi, udah kelebihan malah!” sahut ibunya, “Anak-anak teman Mamih, semua udah nikah, udah punya keluarga, udah punya anak!”

“Nikah. Biar kamu punya tanggung jawab, nggak kayak gini terus,” tambah sang ayah.

“Tuh dengerin kata Papih kamu. Kamu ini anak satu-satunya. Papih sama Mamih kan udah pengen nimang cucu!” tutur ibunya, menasehati untuk kesekian kalinya.

“Nanti lah, Mih! Nanti juga aku nikah kok! Dan gak perlu jodoh-jodohan segala!” jawab Bintang yang teramat iritasi perjodohan ini.

“Ah, kamu. Disuruh nikah aja susahnya minta ampun. Nih, Mamih lagi bikin baju buat anak kamu nanti.” Wanita itu lalu menunjukkan hasil karyanya yang baru setengah jadi.

“Mamih, apa-apaan sih? Nikah aja belum, udah ngomongin punya anak. Aku gak mau dijodohin!” jawab Bintang kesal.

“Habis kamu cari sendiri gak dapet-dapet. Mamih sama Papih sudah capek lihat kamu hidup nggak jelas, gak karuan, gak ada tanggung jawabnya. Hidup seenaknya, pulang ke rumah aja kalau inget.”

“Kamu itu laki-laki, umur segini udah waktunya membangun keluarga, dan membangun generasi.” Ayah Bintang melipat koran dan menaruhnya di atas meja makan. “Kalau kamu nikah, kamu bakal belajar bagaimana bertanggung jawab sama anak dan istri.”

“Ya tapi kan, gak perlu jodoh-jodohan segala! Aku nggak kenal sama orangnya, siapa dia. Males banget!” seru Bintang.

Mendadak ibunya tersenyum kecil. “Masih muda kok anaknya, baru dua tiga. Anaknya cantik, pinter, berprestasi lagi. Udah deh, bisa dibilang dia menantu idaman Mamih.”

“APA? Aku harus nikah sama anak ingusan? Nggak salah tuh?” Bintang syok. Mulutnya terbuka selama beberapa detik, lalu tertutup dan melanjutkan kalimatnya.

“Cukup umur kok! yang penting bukan ABG,” jawab ibunya keukeuh.

“Enggak! pokoknya aku enggak mau nikah kayak ini!”

 

***

 

Dan, sejak saat itu dunia mereka seperti mengalami badai dan gempa secara bersamaan, yang tak lama lagi akan mengalami kehancuran.

Siapa Sienta?

Siapa Bintang?

Keduanya sama sekali tidak saling mengenal. Mereka berdua masih ingin menikmati kebebasan sebagai seorang manusia single tanpa ikatan.

Mengerikan! Sangat mengerikan! Dari mana kedua orang tuanya mendapat ide super gila seperti itu?

“Menikah?” Berkali-kali Sienta dan Bintang mengucapkannya dan lama-kelamaan menjadi semakin menakutkan.

Sepanjang hari keduanya tak henti-hentinya mengomel, mengutuk keadaan. Tak percaya akan perjodohan yang direncanakan oleh kedua orang tuanya.

“Ngapain sih gue nikah?!”

“Kenapa juga gue harus dijodohin? Emangnya gue nggak laku?”

“Gue nggak kenal sama dia, kenapa harus sama dia?!”

“Gue masih pengen sendiri”

“Nggak! Nggak mau nikah!”

Tak henti-hentinya, mereka berkoar-koar—seperti seorang narator—di kamar masing-masing. Berjalan mengelilingi tempat tidur. Sesekali membanting tubuh ke atas ranjang, lalu duduk, berdiri, lalu berjalan lagi. Berputar-putar, menjambak rambut, menggaruk pipi, menutup wajah, lalu mengomel lagi. Mereka benar-benar tak percaya kalau mereka harus menikah, terlebih lagi mereka tak saling mengenal.

“Dia orangnya kayak apa sih?” tanya Sienta dan Bintang saat masing-masing membayangkan seperti apa calon yang akan mereka nikahi.

Sienta adalah perempuan berumur 23 tahun, kutu buku, cerdas, berprestasi, supel, mandiri, dan jauh lebih dewasa dari umurnya. Kariernya sebagai peneliti begitu dibanggakan oleh Prof. Sukma, profesor yang membuat Sienta termotivasi menjadi peneliti di bidang Biologi Molekular. Ia juga seorang yang sangat berbakti dan menyayangi kedua orang tuanya, disiplin, sistematis, dan terbiasa dengan tekanan.

Berkebalikan dengan Sienta, Bintang sudah 30 tahun dan masih urakan. Ia masih merasa berjiwa muda. Sehari-hari hanya berkelana dengan motor besarnya, cuek, dan semaunya. Sebatang rokok selalu ada di mulutnya. Tak cuma itu, ia lebih suka tidur pagi, bangun siang, dan lebih senang menjalani dunia malam sebagai bagian dari hidupnya. Begitu pula dengan musik—tak heran, ia sangat mencintai gitarnya. Hidupnya seakan tanpa beban.

Perbedaan itu memang sangat mencolok! Sangat bertolak belakang, sangat tidak nyambung, sangat tidak cocok, dan masing-masing bukanlah cerminan yang diinginkan mereka sebagai pasangan. Dan parahnya, sebentar lagi... mereka harus segera menikah!

Konsep menikah bagi mereka berdua—dalam hal ini mereka memiliki satu pandangan—adalah suatu pembatasan terhadap ekspresi diri.

Bintang tak sanggup jika harus mendengar ceramah istrinya atau Sienta merasa akan sangat tersiksa jika ia harus menaati apa yang diperintahkan suaminya nanti. Bintang takut ia dilarang bermain musik, Sienta juga takut ia dilarang berkarier. Keduanya memiliki ketakutan yang sama—dilarang ini dan dilarang itu.

Membayangkan bagaimana sikap pasangannya saja sudah merinding, apalagi jika mereka harus hidup satu atap dan bahkan tidur satu ranjang.

Menurut Bintang, pernikahan ini sama dengan perampasan hak asasi manusia. Selama ini, tak ada satu perempuan pun yang bisa membuat Bintang bisa berpaling dari mantan pacarnya ketika SMA dulu. Cukup hanya mantannya saja yang bisa menyentuh hatinya. Perempuan secantik apapun itu, tak ada yang bisa membuatnya membuka pintu hati untuk yang kedua kali. Mana mungkin perempuan yang namanya Sienta itu bisa membuatnya luluh, siapa dia? Tak ada yang menarik, sepertinya perempuan itu kaku, serius, dan Bintang tidak menyukai sesuatu yang formal.

Sedangkan menurut Sienta, pernikahan ini sama dengan pemaksaan. Ia bahkan tak diberi kesempatan untuk memilih pendamping hidupnya sendiri. Dunianya pasti akan terkekang jika ia harus patuh dan taat kepada sang suami yang umurnya saja terpaut tujuh tahun. Bayangkan saja, ketika laki-laki itu duduk di bangku SMA, Sienta masih SD. Dan... pasti calon suaminya itu adalah tipe pengekang yang akan melarangnya ini-itu. Lalu apa yang akan dikatakan teman-temannya soal pernikahan gila ini?

 

* * *