cover landing

My Adorable Patient

By NisaAtfiatmico


 

Di Sebuah Rumah Sakit Pendidikan

 

Hisyam menjalani hari-hari yang sibuk sebagai dokter yang tengah menempuh pendidikan spesialis Obstetri dan Ginekologi. Sebagaimana peserta didik lainnya, banyak sekali pekerjaan yang harus dikerjakan. Seperti saat ini. Belum lama keluar dari ruang operasi, ia sudah dihadapkan dengan tugas visit pasien sebangsal. Rawat inap rumah sakit pendidikan memang tidak pernah sepi pasien. Pinggang Hisyam seperti akan putus. Lututnya sudah lemas akibat berjam-jam berdiri di ruang operasi. Belum lagi tugas mengetik tumpukan rekam medis yang begitu banyak. Kalau sudah begini, ia kembali memikirkan saran kedua orang tua. Sebenarnya mereka kurang setuju sang putra mengambil spesialis dan lebih menyarankan mendalami manajemen rumah sakit. Namun sudah terlanjur. Sebentar lagi pendidikannya akan usai. Sayang sekali kalau ia harus mundur sekarang.

“Aku kepingin fokus ke klinis, Pa,” alasan Hisyam saat itu.  

Berkat otak jenius dan koneksi yang kuat, ia berhasil diterima dengan mudah. Kedua orang tuanya tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah. 

“Tapi kamu harus menikah sebelum usia tiga puluh!” Syarat sang ayah itu membuat bebannya semakin berat.

Ia sudah 29 tahun sekarang, berarti dalam hitungan bulan ayahnya akan menagih menantu. Mengingatnya saja membuat kepala Hisyam berputar. 

Pening! 

Lamunannya buyar ketika seseorang menghampiri. “Dok, ada konsul cito dari IGD.” Dokter jaga memanggil Hisyam yang sedang duduk di nurse station.

Dokter tampan berwajah simpatik yang menjadi idola ibu-ibu itu mengalihkan pandangan dari layar komputer sembari membetulkan letak kacamata. Melihat wajah panik juniornya, Hisyam memberi atensi lebih dengan berjalan menghampiri si pembawa informasi.

“Pasien apa?” Radar Hisyam seperti menyala. 

“Ibu hamil kecelakaan, Dok.”

Dokter umum bernama Yuda itu memberikan teleponnya kepada Hisyam. Begitu batangan pipih persegi menempel ke daun telinga, Hisyam mendengarkan dengan wajah serius. Setelah mengembalikan telepon, putra direktur RS Lovellete itu bergegas ke IGD. 

Ibu hamil yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas tersebut benar-benar dalam kondisi tidak stabil sehingga ia diminta untuk datang segera. Menurut keterangan petugas IGD, sebuah sedan beradu dengan truk di jalan tol ke arah Pandaan. Peristiwa nahas yang merenggut korban jiwa sudah pasti bukan kecelakaan ringan. Sambil melintasi lorong demi lorong, Hisyam membayangkan akan seberat apa sorenya kali ini.

Pasien itu ternyata sangat muda. Umurnya baru 19 tahun, masih usia anak kuliahan. Ia terlihat pucat dan gelisah kesakitan. Hisyam merasa familier dengan wajah perempuan itu, tetapi lupa di mana ia pernah melihat pasien ini? Seberapa penting si ibu muda di hadapannya ini hingga Hisyam merasa seperti terikat sesuatu tak kasatmata? 

Berkali-kali mulut pasien bernama Azizah itu memanggil ‘ayah’ sembari mengerang kesakitan. “Ayahnya sopir sedan nahas itu, Dok,” bisik salah satu perawat. “Sudah meninggal saat dibawa kemari, tapi pasien belum diberi tahu.”

Hisyam menjadi kasihan. “Sudah diperiksa apa saja? Gimana hasilnya?” Ia bertanya pada dokter jaga IGD.

“Tekanan darah turun, nadi cepat, pernapasan cepat, dan nyeri tekan di perut bagian bawah, Dok,” lapor dokter jaga IGD.

“Tapi sudah diguyur, Dok.”

“Ada lagi?” tambah Hisyam sambil memijat pangkal hidungnya yang bangir.

“Dari pemeriksaan Doppler, ditemukan kegawatan janin.” 

Hisyam menelan ludah karena firasat buruk tiba-tiba melintas di benak. Kepalanya jadi semakin berat. Selain karena kurang istirahat, sejujurnya Hisyam terlalu sensitif dengan kasus kecelakaan yang menimpa ibu dan bayinya. Hatinya tak pernah bisa melihat bayi tak berdosa harus berpulang, bahkan sebelum melihat dunia.

“Mana yang terasa sakit, Mbak?” Hisyam melihat jejak kebiruan di dinding perut bagian bawah.

“Sakiiit … perut saya, Dok,” rintih perempuan muda itu. Bibirnya pucat dan gemetar. “Mana ayah saya? Ba-bagaimana kondisinya?” 

Hisyam semakin iba. Ia meringis getir seraya merangkai kebohongan yang diharapkan mampu meringankan sedikit beban pasiennya. “Ayah Mbak sedang ditangani. Sabar, ya. Sekarang tenang dulu supaya bisa diperiksa dengan cepat.”

Mata besar berbulu lentik itu kembali berlinang. “Ayah masih ada kan, Dokter?”

Hisyam hanya bisa tersenyum. Seperti tahu berita buruk yang disembunyikan, si pasien kontan merintih sambil menangis. 

“Tenang dulu. Sekarang saya periksa perutnya.” Saat Hisyam menyentuh perutnya yang membuncit, ibu muda itu mengerang kesakitan.

Isaknya terhenti. Dengan sisa-sisa tenaga, gadis bernama Azizah itu bertanya, “Bayi saya … bayi saya bagaimana, Dok?”

“Ini sedang saya periksa.” Hisyam segera melakukan pemeriksaan dengan menggunakan USG. Hasilnya mengecewakan karena kondisi pasien ternyata cukup parah. Terjadi perdarahan dalam. Sangat kuat dugaan adanya luka robekan di dinding rahim akibat benturan. Setelah konsul dengan senior, Hisyam segera memberikan instruksi.

“Dokter? Bayi saya?” Mata Azizah menyiratkan permintaan tolong. Mata besar dengan rambut mata lentik menatap penuh harap, membuat Hisyam tidak tega menjelaskan yang sebenarnya menimpa. 

“Tadi datang bersama siapa?” Hisyam bertanya setenang mungkin.

Si pasien kembali menangis. “Su-suami dan papa mertua.”

“Mbak jangan banyak menangis, ya. Saya akan bicara pada ayah mertua dan suaminya dulu.” 

Sesudah itu Hisyam pergi ke nurse station dan memberikan instruksi.

“Siapkan operasi cito!”

Azizah Lisilmi Kaffah tersedu begitu tahu dirinya harus menjalani operasi. Ia mulai kacau. Air mata menganak sungai. Memikirkan fakta bahwa ada satu hal berharga yang akan dirampok paksa lagi dari hidupnya. Tangan si ibu muda menggapai-gapai minta diperhatikan. Wanita itu berteriak parau. 

“Ya, Mbak?” tanya Hisyam.

“Do … dokter, tolong selamatkan bayi saya ….” Suaranya serak dan lemah. Wajah yang tampak cantik alami, bahkan dalam kondisi pias dan tanpa riasan. Sorot kesuraman di matanya lagi-lagi mencubit sudut hati Hisyam. 

Jika iba adalah air, mungkin saat ini IGD sudah kebanjiran oleh rasa iba Hisyam. Dagu Azizah yang oval basah oleh peluh dan air mata. Anak-anak rambutnya terburai tak teratur. Hidung mungil nan runcing kian memerah dan mengeluarkan ingus karena tangis. Walau sembap, Hisyam bisa melihat sepasang mata yang bening. Justru karena basah oleh air mata itulah, keindahannya semakin nyata.

Hisyam mengambil beberapa helai tisu dari nurse station untuk menyeka wajah Azizah. “Tenang, Mbak. Saya usahakan yang terbaik, ya.” 

Ucapan Hisyam tak membuat Azizah tenang. Ia memukul-mukul kepala agar kilatan kejadian mengerikan beberapa saat lalu enyah dari pikiran. Azizah berdoa, semoga semua ini hanya mimpi. Namun sia-sia, ekspresi dokter dan para perawat di sekitarnya sudah menjelaskan semua. Menghukum diri tak membantunya berkelit dari pahit kenyataan. Ia telah kehilangan segalanya hari ini. Azizah pun akhirnya lemas menantikan keputusan Tuhan selanjutnya. 

Hisyam meminta kepada petugas untuk memanggil keluarga Azizah. Dua orang lelaki, salah satunya masih seperti anak kuliahan, duduk di hadapan Hisyam di ruang konsultasi.

“Apa Anda suami Ibu Azizah?”

Si pemuda yang duduk dengan risau membuka mulut. Namun, belum sempat keluar suara, lelaki paruh baya di sebelahnya menyerobot.

“Ya, anak saya ini suaminya, Dok. Azizah itu menantu saya. Bagaimana kondisinya, Dok?” todong mertua Azizah. 

Hisyam menjelaskan beberapa hal mengenai kondisi pasien. Kedua orang itu mendengarkan dengan wajah suram.

“Harus dioperasi, Dok?” tanya ayah mertua pasien.

“Harus! Dan segera!”

“Apa tidak ada jalan lain?” Sang suami kembali mengonfirmasi. 

“Seperti yang telah saya jelaskan, rahimnya robek karena benturan. Kalau tidak dijahit, perdarahannya tidak akan berhenti.”

Kedua orang itu tercenung, kemudian saling pandang. Ada hal yang membuat Hisyam keheranan. Reaksi kedua orang itu tidak seperti keluarga pasien yang selama ini ditemui. Ayah mertua terlalu tenang, sedangkan si suami justru mendesah kesal.

Kenapa justru kesal? Seharusnya dia panik, bukan? Memikirkan itu membuat jantung Hisyam bergemuruh.

“Bayi sialan itu membahayakan nyawa Azizah, Pa,” celetuk suami Azizah dibalas sang ayah dengan pukulan telak di kepala.

“Jaga mulutmu, Aydan!” Pria tua itu menghela napas, menenangkan diri sebelum kembali melontarkan pertanyaan ke Hisyam. “Cucu saya bagaimana, Dok?”

“Mohon maaf sebelumnya. Bayi Ibu Azizah sangat lemah. Operasi kemungkinan tidak akan menyelamatkan cucu Bapak.”

Aydan terlihat senang, matanya berbinar terang. Ada senyum tipis yang lebih mirip seringaian mengembang di bibirnya. “Seberapa kecil kemungkinan bayi itu untuk hidup?”

“Kandungan ibu Azizah baru berusia lima bulan. Bila lahir pun, kemungkinan besar cucu Anda tidak akan bertahan.”

“Jadi kecil kemungkinan dia selamat?” Mata Aydan makin membulat, ia sempurna tertawa.

Dalam dada Hisyam meradang, tetapi yang bisa ia lakukan justru hanya mengangguk sedih. 

Sang ayah mertua tercenung sebentar, kemudian mengangkat wajah dan terperangah melihat putranya sedang jingkrak-jingkrak kegirangan. Bagai singa sedang mengaum keras, Tristan menghujani Aydan dengan pukulan tanpa ampun agar anaknya sadar. “Apa yang kamu lakukan Aydan?”

“Loh, apa aku enggak boleh hepi denger berita bahagia ini?”

Lelaki paruh baya bernama lengkap Tristanto Harimurti itu mendesah lebih keras seraya membuang muka. “Berita bahagia gundulmu!”

Hisyam semakin penasaran. Apa yang salah dengan suami pasien ini? Kenapa dia seolah tidak menginginkan bayinya?

“Sesuai ketentuan rumah sakit, sebelum operasi harus ada tanda tangan persetujuan dari pihak keluarga.” Hisyam menyerahkan selembar kertas kepada Tristan. “Silakan tanda tangan di sini.”

Tristan menerima kertas itu, lalu memberikannya ke sang anak dengan wajah masam. “Nih, kamu aja! Kamu kan suaminya!”

Hisyam semakin kesal dibuatnya, mereka seolah sedang saling lempar tanggung jawab.

Sang anak akhirnya menandatangani surat persetujuan tersebut dengan cepat dan ekspresi semringah, kemudian membubuhkan nama. Aydan Setyadi Tristanto. 

Mata Hisyam runcing membidiknya. Nama yang bagus, tapi tidak dengan perilakunya. Mana ada suami baik-baik yang terlihat biasa saja saat istrinya meregang nyawa? Apalagi sebuncah kebahagiaan meledak begitu ia mendengar kabar bayinya tak bisa diselamatkan. Apa dia waras? Perlukah Hisyam merujuknya ke poli Kesehatan Jiwa?

“Udah?” tanya Tristan seraya menusukkan pandangan setajam pedang pada sang anak.

“Udah, Pa.”

Sekali lagi cengiran ceria Aydan membuat napas Hisyam mendadak sesak. Ia teringat kembali setiap rintih yang keluar dari mulut Azizah yang lemah. Tangis, luka, kesakitannya. Hisyam menggigit bibir. Rahangnya mengetat, mengirimi satu demi satu rasa sakit Azizah ke palung hatinya.

“Ya, udah!” Tristan bangkit seraya membuang napas kasar.

Satu hal yang membuat Hisyam tidak terima adalah saat bangkit dari duduk terdengar umpatan lelaki itu.

“Menantu sial!”

Entah kenapa baru kali ini Hisyam sangat ingin ikut campur ke dalam urusan pasien. Seluruh tubuh, bahkan sampai saraf-saraf terhalus Hisyam bergetar merasakan luapan amarah.

 

***