cover landing

Mr. Stalker is My Boss

By Misyuna


Liora mengeram kesal dalam perjalanan pulang dari 'mantan' kantornya. Hari ini sangat terasa sial baginya. Tabungannya sudah menipis karena kemarin ia baru saja membayar sewa apartemen kecilnya. Dan sekarang ia harus kena PHK. Bukan karena ia yang bermasalah memang, tapi karena perusahaan tempatnya mencari uang setahun belakangan ini sedang dalam masa-masa sulit. Namun, tetap saja itu kesialan baginya.

Liora berjalan gontai memasuki apartemennya. Apartemen kecil yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama lebih dari satu tahun. Dan naasnya, kemungkinan besar bulan depan ia tidak bisa tidur di ranjang empuk favoritnya itu  jika ia tidak segera memperoleh pekerjaan.

Liora meletakkan satu-satunya tas layak pakai yang ia punya di atas sofa. Ia melangkah menuju dapur dan mulai membasahi kerongkongannya yang sudah mengering dengan air galon. Kemudian ia merebahkan tubuhnya yang terasa penat ke sofa ruang tamu. Ia mulai merogoh ponsel di dalam tasnya. Membuka aplikasi pencarian lowongan kerja dan memilah-milah pekerjaan apa yang dirasa cocok dengannya.

"Lowongan pekerjaan untuk lulusan S1 akuntansi. Ah ... ini sepertinya cocok," gumam Liora senang. Disentuhnya layar ponselnya hingga muncul informasi detail mengenai lowongan pekerjaan yang menarik perhatiannya.

"Xander Inc." Matanya melotot melihat perusahaan mana yang baru saja membuka lowongan pekerjaan. Perusahaan internasional yang sudah memiliki cabang hampir di seluruh negara Asia.

Liora menghembuskan nafasnya pasrah. Mengingat bagaimana perekrutan karyawan di sana. Yang ia dengar, orang-orang yang bekerja di sana adalah orang-orang pilihan yang sudah menjalani beberapa tahap tes yang sangat ketat. Termasuk interview dengan HRD yang sangat tegas dan sulit.

Liora mengembalikan halaman informasi loker ke halaman awal. Ia mulai me-scroll ke bawah, berharap masih ada pekerjaan yang cocok untuknya yang merupakan lulusan S1 Akuntansi sesuai ijazahnya.

"Loker editor, operator produksi, jurnalis ... aaa! Kenapa tidak ada yang cocok untukku selain dari Xander Inc. Apa aku harus mencobanya?"

Liora mulai berpikir. Jika dirinya tidak segera mendapat pekerjaan, ia tidak akan tau sampai kapan ia akan bertahan di sini. Dan jika ia tidak segera melamar pekerjaan di Xander Inc., bisa jadi kan ada seseorang yang mendahuluinya.

"Baiklah. Aku akan mencobanya."

***

“Kamu yakin tidak ingin membantu daddy-mu?”

"Tidak, Dad. Aku tidak ingin melanjutkan bisnis Daddy. Aku ingin jadi pemain biola sejak kecil. Bukankah Daddy sudah tau itu?"

Jonathan menghela napasnya. Dulu mungkin ia berpikir akan membiarkan putra putrinya untuk memilih kehidupannya masing-masing. Namun saat dirinya sudah semakin tua, rasanya ia tidak sanggup melanjutkan perusahaan ini sendiri. Ia bisa saja menyuruh orang untuk memimpin perusahaannya, tepi tetap saja berbeda jika seandainya putranya sendirilah yang melanjutkan bisnisnya.

"Bagaimana denganmu Nathan?"

"Oh ayolah, Dad. Aku bahkan tidak mengerti sama sekali tentang bisnismu. Lagi pula aku sudah memiliki bisnis sendiri. Suruh saja Leon, bukankah permainan biolanya tidak menghasilkan banyak uang?" sindir Nathan, putra kedua Jonathan.

"Jangan menghinaku! Dasar adik sialan!"

"Jangan mengumpat Leon!" hardik Ana.

Leon memang belum menghasilkan banyak uang dari hasil bermain biolanya. Bukan karena permainannya yang tidak bagus. Tapi karena memang ia tidak pernah mematok upah untuk setiap penampilannya. Ia pun juga tidak peduli akan penghasilannya dari bermain biola. Yang penting ia bisa menyalurkan hobinya sejak kecil.

Ana mengelus dadanya. Kedua putranya ini memang tidak pernah akur. Namun mereka berdua saling menyayangi. Hanya saja kejahilan Nathan yang sering menggoda kakaknya membuat Leon sering kali merasa kesal.

"Sudahlah. Jika memang mereka tidak mau kamu bisa menyuruh orang untuk memimpin perusahaanmu, Jo,” ujar Ana menenangkan suaminya.

"Baiklah. Mungkin aku akan menyuruh Cristian untuk memimpin perusahaanku sambil menunggu Nathalie lulus."

Nathalie memutar bola matanya.

"Oh ayolah, Dad. Putrimu yang cantik ini ingin menjadi seorang model. Apa Daddy tidak melihat aura bintangku?"

Jonathan mendengus.

"Oh ya Tuhan. Aku merasa seperti tidak memiliki anak."

"Dad!" ujar Leon, Nathan, dan Nathalie serentak.

Jonathan terkekeh. Ia senang jika ia bisa membuat ketiga anaknya kompak menyebut namanya. Itu artinya ia berhasil menggoda mereka.

"C'mon, Dad. Kami semua menyayangimu. Bukannya kami tak mau. Tapi ... Daddy pasti mengerti."

Jonathan tersenyum hangat. Inilah yang ia sukai saat berkumpul dengan keluarganya. Mereka semua saling menyayangi.

"Sudahlah. Daddy kalian hanya bercanda. Ayo lanjutkan makan kalian," ujar Ana menengahi.

"Istriku memang yang paling pengertian," ujar Jonathan di akhir yang mengundang gelak tawa dari mereka semua. Tak terkecuali Ana yang sibuk mencubit gemas pinggang Jonathan.

***

Leon menatap intens seorang gadis yang baru saja keluar dari perusahaan ayahnya dari dalam mobil. Dia sudah memperhatikan gadis itu sejak pagi tadi. Tepatnya saat gadis itu baru sampai, bertepatan dengan dia yang juga sampai di Xander Inc. untuk bertemu dengan ayahnya. Leon tersenyum misterius kemudian keluar dari mobil dan memasuki kantor ayahnya setelah melihat gadis yang diperhatikannya benar-benar pergi.

Dengan bersiul senang, Leon mendekati meja resepsionis dan menumpukan tangannya di sana.

"S-selamat pagi, Pak," sapa resepsionis gugup. Ia memang beberapa kali melihat putra pemilik perusahaan yang diketahuinya bernama Leon itu bersliweran di kantor. Dan tak sekalipun Leon menghampirinya atau sekedar meliriknya. Namun, kali ini Leon benar-benar menghampirinya. Berdiri tepat di depannya, membuatnya gugup setengah mati. Tak dipungkiri, wajah tampan Jonathan menurun pada putranya. Bahkan Leon berkali-kali lipat lebih tampan dari ayahnya. Dengan kesan dingin dan tegas—itu yang diketahui orang lainmenambah daya tariknya. Sayangnya pria itu tidak mau menjadi penerus di perusahaan ayahnya. Jika saja ia bersedia, ia pasti akan menjadi idola kantor.

Leon hanya mengangguk singkat. Ia lalu berjalan mendekati sang resepsionis yang terlihat terpesona dengannya. Dengan melirik ke kanan dan ke kiri, ia mulai berdehem.

"Kamu tau gadis yang baru saja keluar dari sini?"

Sang resepsionis yang diketahui dari name tag-nya bernama Mega itu terlihat mengernyitkan dahinya bingung.

Leon berdecak kesal. "Gadis kemeja biru yang baru saja keluar. Kamu tahu?"

"Oh itu. Nona itu baru saja melamar pekerjaan, Pak. Besok dia akan melaksanakan tes dan juga interview."

Leon tersenyum misterius. Seperti yang di harapkannya, gadis yang ia perhatikan dari beberapa hari lalu itu memang sedang melamar pekerjaan. Membuatnya semakin mudah untuk mendekatinya. "Siapa namanya?"

"A-apa? Oh ya. Namanya ...." dengan gugup Mega mulai mencari berkas lamaran pekerjaan gadis tadi dengan tangan gemetaran. Ia terlalu mengagumi ketampanan putra bosnya hingga kehilangan fokus.

"Namanya ...." ucapan Mega tidak berlanjut saat tangan Leon merebut paksa berkas yang ia genggam. Leon sudah tidak sabar mengetahui nama gadis yang menarik perhatiannya karena kesederhanaan itu.

"Amanda ...." gumam Leon sambil tersenyum simpul. Akhirnya ia mengetahui nama gadis yang menarik perhatiannya beberapa hari lalu.

"Berkasnya aku bawa. Kamu tidak perlu takut ataupun khawatir. Mulai besok aku yang akan memimpin perusahaan ini,” tegas Leon. Ia lalu berjalan angkuh meninggalkan Mega yang nampak shock mendengar penyataan putra bosnya itu.