cover landing

Mia as A Wife

By sweet-stripes


Satu set kebaya serta rok batik berwarna pink pudar masih tergantung rapi di belakang pintu kamar meski sudah sedikit kusut di beberapa bagian. Sesekali, aku memandang ke arahnya. Masih terbayang jelas momen wisudaku tadi pagi. Berkumpul bersama seluruh teman satu jurusan untuk yang terakhir kali. Sebetulnya, nanti juga pasti ada reuni, tetapi aku yakin pasti enggak akan selengkap tadi.

Embusan napas panjang namun lemah keluar dari mulutku. Sejak tadi, aku sudah berusaha mengelak dari realitas kalau aku sedang kebingungan sekarang. Akan tetapi, sekali lagi aku menghibur diri. Setelah lulus kuliah kan enggak harus langsung kerja. Aku masih punya waktu untuk berpikir. Nanti pasti ada jalan, kok. Pasti ada.

Lamunanku masih terus berjalan sampai tiba-tiba ponselku bergetar. Nama kakak perempuanku satu-satunya tertera di layar.

“Assalamualaikum, Teh Nuri,” sapaku begitu mengangkat panggilan.

Waalaikumsalam, Dek. Selamat, ya, akhirnya wisuda juga. Semoga kamu bisa cepat dapat kerja atau nikah, aamiin …,” ucap Teh Nuri mendoakan. Aku mengaminkan dalam hati, meski agak sedikit bingung. Kenapa tetehku tiba-tiba mengungkit pernikahan segala? Tumben.

“Terima kasih, Teteh Sayang. Aku aminin dulu, deh. Walaupun masih belum tahu mau ngapain setelah ini. Hehehe .Aku menjawab sambil tertawa canggung.

Loh? Emang kamu belum tahu mau kerja di mana, Dek?” tanya Teh Nuri, terdengar sangat kaget.

“Iya, Teh. Masih belum kepikiran. Aku sebenarnya memang nggak begitu pengen kerja, sih.”

Teh Nuri menghela napas panjang. Sepertinya ia sangat enggak puas dengan jawabanku barusan. Aku sendiri juga enggak puas, tetapi mau bagaimana lagi. Memang belum kepikiran mau melakukan apa.

Kamu udah kuliah susah-susah, mahal pula. Kok malah begitu? Sayang dong ilmunya. Kalau kamu masih bingung, mendingan nikah aja, Dek. Sambil mencari apa yang sebenarnya kamu pengen lakukan,” saran Teh Nuri.

“Loh, kok jadi balik ke nikah lagi sih, Teh? Mia belum kepikiran ke arah sana. Pacar aja enggak punya. Mau nikah sama siapa, dong?”

Sanggahan barusan malah bikin aku mendadak galau. Kalau diingat-ingat, kisah percintaanku memang lebih banyak sedih daripada bahagianya. Sudah dua tahun ini aku single. Ada, sih, yang aku suka, tetapi semacam cinta bertepuk sebelah tangan. Jadi, ya, intinya aku single, bukan jomlo.

Hm .… Begini, Dek, sebenarnya ….

Nada bicara Teh Nuri mendadak serius. Perasaanku langsung enggak enak.

Teteh punya temen yang suka tahsin sama kajian bareng. Kamu juga udah pernah ketemu, deh, kayaknya. Namanya Teh Ranti. Nah, dia punya adik laki-laki yang belum nikah.

“Aku nggak mau dijodohin, loh, Teh,” potongku cepat.

Dengerin dulu, Mia. Teteh selesaikan dulu penjelasannya.

“Okelah. Lanjut, Teh,” kataku mengalah.

Namanya Radit. Dia udah kerja di perusahaan multinasional asal Swiss yang bikin sereal sama susu itu, loh. Tapi sekarang Raditnya lagi penempatan di York.

“York? Inggris, Teh? Yang ada pertokoan mirip Diagon Alley-nya Harry Potter?” tanyaku tiba-tiba bersemangat.

Imajinasi berkeliling di negara Inggris bermunculan di kepala. Tinggal dan menetap di luar negeri memang selalu menjadi impianku dari dahulu. Bukannya aku enggak cinta dengan negara sendiri, ya. Bagiku, hidup di luar negeri adalah sebuah petualangan jangka panjang yang sangat menarik dan sayang banget buat dilewatkan.

Aduh, Teteh mah enggak paham Harry Potter, Dek. Pokoknya adiknya Ranti ini baru penempatan di York. Umurnya 29 tahun, masih muda, kan? Tapi ibunya Ranti sudah enggak sabar pengen Radit cepet nikah. Kata Ranti, biar beres gitu urusannya.

Kemarin, Teteh sempat cerita ke Ranti kalau Mia udah lulus kuliah, dan hari ini diwisuda. Terus, berlanjutlah obrolannya sampai Ranti nanya, Adek kamu udah punya pacar apa belum?. Teteh jawab aja belum. Soalnya kamu jarang banget ngobrolin masalah laki-laki. Mana tampangmu sering cemberut terus kalo di rumah.

Hah? Masa, sih? Aku happy terus padahal. I'm single and very happy.

Jadi … intinya, sih, Teteh sama Ranti udah tukeran foto kalian berdua. Adiknya Ranti enggak jelek kok, Dek. Nanti Teteh kirimin fotonya. Gimana menurut kamu?” tanya Teh Nuri, akhirnya selesai bercerita.

“Hm ....” Aku berpikir keras.

“Kumaha? Tertarik enggak?” tanya Teh Nuri lagi.

“Eh, Teteh ngasih foto aku yang mana?” Tuh, kan. Aku jadi penasaran.

Foto yang ada di Instagram. Yang ada empat muka kamu lagi monyong-monyong.

“Lah, kok yang itu? Kenapa enggak yang bagusan dikit gitu? Teteh gimana, sih? Marketing-nya kurang oke, nih,” protesku asal.

Sengaja Teteh pilih foto itu. Biar dia lihat mukamu yang aneh dulu. Kalau dia tertarik, berarti beneran suka. Bukan karena kamu cantik aja, Dek.

Wah, cerdas juga cara Teh Nuri.

“Jadi intinya, adiknya temen Teteh itu, oke ya? Berkualitas gitu? Agamanya gimana, Teh? Oke juga enggak?”

Kalo Teteh dengar dari cerita Ranti sih, dia agamanya lumayan bagus. Dia salat lima waktu. Puasa sama ngaji juga bisa. Ya … cukuplah pemahamannya. Nanti kalian berdua bisa perdalam lagi. Kan kamu juga enggak alim-alim banget, Dek.

Waduh, jadi malu.

Memang, aku dan Teh Nuri terlihat berbeda sekali. Teh Nuri itu muslimah banget. Dia sudah pakai khimar panjang sejak beberapa tahun lalu. Dia juga sering datang ke kajian yang diadakan oleh ustaz-ustaz di kota Bandung. Rajin mengaji, sama puasa Senin-Kamis. Pokoknya beda bangetlah sama aku, yang masih pakai celana jins ke mana-mana. Mana mengaji masih harus diingatkan. Belum lagi hobi salat di injury time.

“Ya udah, Teh. Adiknya Teh Ranti juga belum tentu tertarik sama aku.”

Iya, belum tentu, kok. Kata Ranti, Radit baru mau ngabarin besok. Dia lagi sibuk pindahan. Baru kemarin sampai di York. Sebelum ke situ, dia ditugasin di Glasgow selama setahun. Mulai bulan ini sampai tahun depan di York. Dia kerjanya pindah kota atau negara terus setahun sekali.

Kok, terdengar menarik sekali, ya, lelaki ini. Hm ….

“Emang dia kerja jadi apa, sih? Sibuk banget kayaknya.”

Auditor, Dek. Kamu seneng jalan-jalan, kan? Pas kalau gitu. Kamu bisa jalan-jalan tiap tahun. Gratis pula.

Tanpa henti Teh Nuri mempromosikan Radit. Aku cuma bisa senyam-senyum sendiri sambil membayangkan seperti apa rupanya. Semoga saja fotonya enggak mengecewakan.

“Iya, suka sih. Ya udah, kirim dulu aja fotonya. Setelah lihat, baru aku kasih jawaban. Oke?”

Oke, Teteh kirim fotonya ya, Dek. Salam buat Mama dan Papa. Maaf Teteh enggak bisa datang ke wisudamu. Insyaallah dua minggu lagi Teteh ke Bandung. Nunggu anak-anak libur sekolah dulu.

“Iya, enggak apa-apa. Nanti Mia salamin ke Mama dan Papa. Salam juga ke Aa Vidi sama ketiga bocah itu ya, Teh,” jawabku pelan seiring dengan merekahnya senyuman di wajah.

Sip, deh. Udah dulu, ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam .…”

Setelah hampir tiga puluh menit, akhirnya obrolan kami selesai. Tanganku langsung menggosok-gosok telinga yang kepanasan. Coba saja Teh Nuri masih di sini. Pasti rumah enggak akan sepi begini. Semenjak tiga bulan lalu, keluarga Teh Nuri harus pindah ke Bali, karena A Vidi dipindahtugaskan ke sana. Alhasil, rumah yang biasanya berisik dan selalu ramai, jadi terasa sepi dan sedikit hampa. Hanya ada aku, Mama, Papa, dan Mbok Tina yang sekarang tinggal di rumah besar ini.

 Suara ketukan pintu yang terdengar cukup kencang membuatku menoleh ke arah asal suara.

“Masuk aja. Enggak dikunci, kok.”

Pintu kamarku terbuka, dan Mbok Tina muncul dari baliknya.

“Neng, diajak pergi makan malam sama Ibu dan Bapak. Katanya, Neng Mia disuruh siap-siap. Mandi dulu gih, Neng,” ujar Mbok Tina mengabarkan.

“Oke, Mbok. Tolong bilangin ke Mama, Mia siap-siap dulu.”

Mbok Tina mengangguk paham, lalu keluar dan menutup pintu kamar.

Untuk beberapa detik selanjutnya, aku diam enggak bergerak. Aku masih butuh waktu untuk memproses semuanya. Tadi siang aku diwisuda, terus pulang ke rumah. Eh, tiba-tiba Teh Nuri menawari lelaki buat dijodohkan. Awalnya, kupikir yang begitu cuma ada di novel sama film doang. Ternyata perjodohan itu benar adanya, ya.

***

“Mau makan di mana, Pa?” tanyaku begitu menghampiri Papa yang sudah duduk dengan rapi sambil serius menatap ponselnya.

“Papa enggak tahu. Mama yang pengen makan malam di luar tadi. Sekalian syukuran kamu wisuda juga, Mia,” jawab Papa seraya mengalihkan tatapan ke arahku. Aku tersenyum dan mulai bergelayut manja di lengan lelaki nomor satuku itu.

“Pa, salah nggak sih, kalau Mia nggak punya cita-cita?” tanyaku pelan. Papa yang tampak terkejut dengan pertanyaanku segera duduk menyamping agar bisa melihat lebih jelas anak bungsunya ini.

“Enggak salah, Mia? Masa kamu enggak punya cita-cita?” tanya Papa kebingungan.

“Maksudnya, setelah lulus kuliah Mia belum kepikiran mau kerja atau bikin usaha bisnis gitu, Pa. Kayak, ya udah aja. Kuliah selesai, Mia udah sarjana, cumlaude lagi. Tapi Mia belum tahu selanjutnya mau ngapain, mau bikin apa. Enggak kebayang gitu. Mia aneh ya, Pa?” tanyaku sedih. Aku menunduk, enggak berani membalas tatapan beliau.

“Mia, kamu enggak aneh, kok. Menurut Papa, wajar kalau kamu sekarang ngerasa buntu. Dulu Papa memang terlalu menuntut kamu untuk terus belajar supaya bisa masuk ke kampus yang Papa pilih. Sebetulnya, Papa merasa bersalah sama kamu, Sayang. Maafin Papa, ya?”

Setelah mendengar pengakuan Papa, aku memberanikan diri melihat ke arahnya. Tatapan mata sendu penuh kasih sayang Papa berhasil menyadarkanku kalau selama ini yang beliau lakukan memang untuk kebaikanku sendiri, dan aku bersyukur untuk itu. Lelah, sudah pasti, tapi aku sama sekali enggak menyesalinya.

Sebab, secara enggak langsung paksaan Papalah yang memacuku untuk terus belajar dan berusaha. Sampai akhirnya berhasil masuk ke kampus impian, yang juga merupakan pilihan Papa. Di semester pertama kuliah, aku bertemu dengan dua orang teman sekelas yang menjadi sahabatku hingga sekarang, Aysha dan Nadhira. Mereka berdua yang membuat masa kuliahku penuh warna dan enggak pernah sepi.

“Maafin Mia juga, Pa. Mia janji, enggak akan ngecewain Papa,” jawabku sembari memeluknya. Lalu tiba-tiba, ponselku berdering. Oh, iya. Aku belum membuka pesan dari Teh Nuri. Pantas saja ia menghubungiku lagi.

Assalamualaikum, Mia. Gimana, udah dilihat fotonyaKok enggak ada kabar sih, kamu?” cecar Teh Nuri begitu aku mengangkat panggilan.

“Waalaikumsalam. Lupa meriksa HP, Teh. Maaf, ini Mia buka sekarang. Tadi Mia langsung mandi. Mau pergi makan di luar sama Mama-Papa soalnya,” kataku menjelaskan.

Oh, pantesan. Nanti kalo udah lihat fotonya, kabarin Teteh ya, Dek. Jangan bilang ke Papa-Mama dulu, belum pasti soalnya,” Teh Nuri menjawab sekaligus mengingatkan.

“Oke siap, Teh. Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam.

Begitu sambungan terputus, aku segera membuka pesan yang dimaksud.

 

Radit Pramana Putra, kumaha? Enggak jelek, kan?

 

Mulutku langsung tersenyum lebar begitu melihat foto yang dikirim oleh Teh Nuri. Seorang lelaki bermata agak sipit dan beralis tebal sedang memegang bungkus makanan di tangan kanannya. Kedua sudut mulutnya sedikit naik. Senyumnya datar, tapi manis. Radit sama sekali enggak buruk, malah tampan. Semoga saja, sifatnya juga enggak buruk.

 

Mantap! Lanjut, Teh.

***

Suara persendian tulang-tulang yang sengaja aku renggangkan kembali mengingatkan pada semua peristiwa yang sudah terjadi hari ini. Lelah sekali rasanya. Bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Setelah mendapatkan posisi nyaman, perhatianku baru teralihkan pada ponsel yang masih tersimpan di dalam tas. Kuputuskan untuk membuka aplikasi Instagram, lalu iseng mengetik nama lengkap Radit di kolom pencarian. Akun Radit langsung muncul di urutan pertama. Namun sayang sekali, akunnya di-private. Huh. Padahal, aku penasaran banget.

Ah, kenapa aku bisa lupa kalau punya teman seorang detektif andal? Jemariku segera mengetuk layar ponsel beberapa kali, kemudian nada sambung panggilan terdengar.

Kenapa lo nelfon malem-malem begini?” tanya seseorang di seberang sana dengan galaknya.

“Malem, Beb. Lagi ngapain? Ganggu enggak gue?” Aku berusaha membuka pembicaraan semanis mungkin. Tentu saja karena ada maunya.

Sekarang udah hampir tengah malem, Mia Sayang. Ini gue baru aja mau tidur. Lo udah kangen lagi sama gue? Padahal baru tadi siang kita ketemu, ujar Nadhira keheranan.

“Iya, kangen gue. Kangen pengen ngerepotin lo, Nad. Hahaha ….” Aku tertawa, tetapi Nadhira enggak menggubris.

Mendingan lo to the point aja, deh,” jawabnya tegas.

“Oke …. Jadi begini, Nad. Gue mau minta tolong sama lo. Tolong selidikin cowok yang namanya Radit Pramana Putra. Tolong cariin medsosnya apa aja, sama tolong lihatin dia punya pacar apa enggak, ya? Please… tolongin gue,” kataku sambil memelas. Nadhira terdengar mengembuskan napas pelan dan panjang.

Ya udah. Ntar dikabarin kalau udah kelar.

Aku langsung duduk tegak dan berusaha keras untuk menahan diri supaya enggak berteriak, padahal sangat kegirangan sekarang.

Thank youI can't live without you bangetlah pokoknya. Besok gue tunggu, ya. Met tidur, Beb. Dah!”

Dah juga, Beb. Jangan lupa janji lo mau main ke Jakarta secepatnya. Awas kalau lupa.”

“Ashiap, Bos!” jawabku cepat. Nadhira tertawa sebentar lalu pamit sekali lagi sebelum akhirnya benar-benar mengakhiri panggilan. Aku kembali merebahkan badan dan segera setelahnya, mataku mulai terpejam.

Sleep well, Mia.