cover landing

Met You Through Destiny

By Squidzi


“Lari, Rum!”

“Anjing gila! Kenapa malah ngejar gue sih, Monyet?!”

“Itu anjing bukan monyet, Bangsat!”

“Kenapa lo berdua malah berantem? Lari woi!”

“Tungguin gue woi! Mama!! Tolong!”

Tengah hari yang terik itu diwarnai oleh keributan tiga orang mahasiswi—termasuk aku—yang berlari kocar-kacir panik, berusaha bersembunyi dari kejaran anjing di dekat wilayah kampus kami. Jilbabku sudah acak-acakan kusut, persis seperti pelari maraton lima kilometer. Kami pun berbelok ke dalam gang sempit sebelum memasuki pagar rumah orang.

“Aman, aman! Akhirnya lepas juga dari anjing kampus sialan itu!” ujar Nirmala ngos-ngosan.

“Rum, lo aman?” tanya Adlina sambil menatapku yang masih tersengal.

“Itu anjing ada dendam apa sih sama orang yang lewat?” ujarku lesu.

“Kenapa, Dik?” tanya ibu-ibu pemilik rumah pada kami yang sedang jongkok di halaman rumah orang.

“Maaf, Bu. Kami dikejar sama anjing dekat belakang gerbang kampus kami. Terima kasih, Bu, sudah mengizinkan kami berlindung di sini,” ujar Nirmala yang kebetulan sedang berdiri di dekat ibu si pemilik rumah.

“Oh ya, Dik. Sama-sama. Masuk dulu, yuk. Minum air dulu. Wajah kalian pucet semua,” ucap si ibu tadi.

“Nggak apa-apa, Bu. Kami buru-buru, mau pergi demo. Terima kasih ya, Bu, sebelumnya,” tukasku yang langsung dibalas anggukkan oleh kedua temanku.

“Kalau begitu, ini beberapa botol minuman buat kalian nanti. Hati-hati ya, Nak!” ujar ibu itu sambil memasukkan beberapa botol minuman untuk kami.

Kami berterima kasih banyak pada ibu baik hati itu. Setidaknya, hal baik seperti ini memberi kami tenaga dan rasa hangat. Dengan sisa kekuatan yang kami miliki, kami pun berjalan menuju lapangan pelataran tempat orang-orang dengan almamater biru berkumpul. Hari ini, akan ada unjuk rasa ke salah satu instansi pemerintah.

Oh, ya. Omong-omong, perkenalkan, aku Rumanah Asyifa Laila. Hari ini, aku—bersama kedua temanku—akan ikut demo untuk pertama kalinya.

“HIDUP MAHASISWA!” seru seorang pria berperawakan tinggi dengan rambut hitam lurus panjang menyentuh bahu. Ia mengepalkan tangannya ke udara sembari berorasi memimpin kerumunan mahasiswa di tengah lapangan. Pria itu adalah Reyhan Arthur Dewangga, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di kampus ini. Sekaligus, sahabat karibku.

Aku menoleh ke sebelah kanan, mendapati dua mahasiswi yang entah dari jurusan apa menatap penuh minat pada kerumunan di tengah lapangan kampus yang luas.

“Itu tuh, anak-anak pada mau demo ke Kantor Gurbenur. Ikut yuk! Untung-untung nih bisa dapet incaran kampus lain!” celetuk salah satu mahasiswi di dekatku.

“Boleh juga!” jawab temannya.

Aku mengembuskan napas keras Sebelum beralih menatap ke sebelah kananku. Ada sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi yang terlihat antusias berlari kecil sambil menenteng almamater kampus. Aku refleks berdecak. Di saat-saat seperti ini, mereka masih sempat-sempatnya berpikir untuk cari ‘gebetan’. Aku memilih tidak peduli dan memperbaiki pin jilbabku yang lepas. Pandanganku kembali menuju pemuda yang sedang memegang toa dan berorasi di atas mimbar dekat tiang bendera.

Ada banyak tipe mahasiswa di bumi ini yang mungkin tak perlu kujabarkan satu per satu. Aku adalah mahasiswi jenis kupu-kupu—kuliah-pulang—yang tak pernah terlalu ingin melibatkan diri dalam kegiatan berorganisasi. Aku bahkan terkesan anti sosial. Jadi, jika kaum rebahan dan mahasiswa kupu-kupu sepertiku saja sudah turun ke jalan, kalian bisa membayangkan betapa kacaunya keadaan saat ini. Sebelumnya, hariku juga sudah diawali dengan dikejar anjing. Semoga kami baik-baik saja. Aku terus berdoa dalam hati.

“Reyhan, tunggu!” panggilku menghentikan langkah pemuda itu.

“Apaan?” tanyanya seraya menaikkan alis.

“Hati-hati, ya! Kalau ngomong dipikir-pikir dulu. Jangan sampai babak belur lo pulang ke rumah. Gue nggak mau ya, emak lo sampai pingsan mikirin lo nanti!” ujarku sambil menyerahkan sisa botol air minum yang sempat diberi ibu penolong pagi tadi. Ia menerima botol minum yang kuserahkan lalu tersenyum tipis dan mengangguk dengan asal.

.Setelah sampai di titik lokasi demo, aku bisa melihat Reyhan yang kini tengah bergabung di barisan depan deretan para juru bicara demo. Senyumku tanpa sadar merekah. Kami pun berbaur bersama mahasiswi kampus lain lalu saling bergandengan tangan.

“Kami berdiri di sini untuk menyampaikan aspirasi!” seru Reyhan dengan lantang menggunakan toa.

Aku kembali tersenyum dan mengangkat spandukku tinggi-tinggi. Jujur saja, mendengar pemuda itu berorasi membuatku merinding dan merasa bersemangat. Terlebih, jika kuingat-ingat lagi, saat ini memang ada beberapa isu yang membuat para mahasiswa turun ke jalan. Seperti kata kebanyakan orang, negara ini memang sedang tidak baik-baik saja. 

Aku memperhatikan keadaan sekitar kemudian menunduk. Dalam hati, aku terus merapalkan doa agar aspirasi kami bisa didengar. Aku juga berharap semua kesalahpahaman dapat diluruskan. Sederhana memang, tetapi aku tahu itu bukan hal yang mudah.

“Rum, yang cewek disuruh mundur lagi ke bagian belakang!”

“Rumanah! Awas!”