cover landing

Menanti Sakinah

By Ashaima Va


Juli 2010

Pada suatu siang di Kota Kembang

Angkot oranye yang catnya masih tampak baru itu melaju tersendat-sendat. Bukan karena macet, tapi karena sang sopir masih menanti angkutan yang dikemudikannya penuh. Jika tak ingin dipecat, setoran ke bos harus lancar hari ini.

"Geura leumpang, Jang. Panas yeuh (Cepat jalan Nak, panas nih)," pinta seorang bapak-bapak dengan asap rokok yang mengepul dari bibir kehitaman.

Uhuk uhuk uhuk uhuk

Seorang gadis remaja terbatuk karena asap rokok itu. Sha, nama gadis itu, mengibaskan topi yang terbuat dari koran untuk menghalau asap. Selanjutnya tas yang terbuat dari karung terigu dia gunakan untuk menutup hidung. Berguna juga peralatan ospek yang dibuat Bu Rumi untuknya.

Huft ... Asap rokok Bapak tuh, yang bikin panas, batin Sha.

"Angkot nu sanes mah tos nepi deui, Jang (Angkot yang lain sudah nyampe lagi, Nak)," seorang ibu menimpali, kali ini dengan tutur yang lebih santun.

Sang sopir hanya melirik sekilas ke spion tengah, melihat tiga penumpang yang wajahnya sudah tertekuk. Hanya ada mereka di angkot itu. Menunggu mobil penuh rasanya mustahil, karena siang itu bukan jam padat penumpang. Sepertinya tiga penumpang angkot itu harus pasrah dengan keputusan sang sopir yang tetap melajukan angkot dengan perlahan.

Tak lama sebuah nada dering polyphonic—khas sebuah merek ponsel yang sedang merajai angka penjualan ponsel pada masa itu—terdengar dari tas karung terigu milik Sha. Gadis remaja itu mengeluarkan ponsel yang saat itu masih tergolong barang mewah.

Ada SMS dari Bu Rumi, asisten rumah tangga di rumahnya. Bu Rumi memintanya untuk segera pulang, balado terong dan orek teri telah menanti di rumah. Sha tersenyum membayangkan makanan favoritnya itu. Lelah menahan emosi ketika ospek tadi, sepertinya akan terbayar dengan makanan enak setibanya di rumah nanti. Setelah mengetikkan balasan bahwa dia sedang berada di dalam angkot menuju pulang, Sha memasukkan kembali ponselnya.

Sha tersenyum kembali, SMS dari Bu Rumi sedikit menghiburnya. Sepertinya keputusannya untuk membelikan Bu Rumi ponsel yang sama seperti miliknya adalah tepat. Dengan uang yang diberikan ayahnya, seharusnya dia bisa membeli ponsel yang lebih mahal. Tapi dia memilih membeli dua ponsel dengan harga lebih murah. Satu untuknya, satu untuk Bu Rumi.

Saking asyiknya berkutat dengan ponsel tadi, Sha baru sadar sudah ada empat penumpang di angkot itu. Ibu-ibu yang semula ada di hadapannya telah bergeser ke dekat pintu. Kini di hadapannya, seorang pemuda kerempeng bertato tengah tersenyum padanya. Sesekali pemuda itu melihat ke bawah, lalu tersenyum lagi. Senyum geli, senyum mencemooh, atau senyum melecehkan? Entahlah, Sha tak paham. Yang jelas alarm berbahaya dalam dirinya menyala. Sha waspada.

Sha merapatkan kaki, lalu membenahi seragam rok sepan panjang berwarna biru tua yang dia kenakan. Dan perlahan Sha memutar tubuhnya jadi menyerong ke kanan, tak ingin berhadap-hadapan dengan pemuda yang berpenampilan urakan itu. Dengan badan bertato di beberapa bagian, pemuda itu lebih tepat jika disebut sebagai PREMAN.

Sha melirik ke arah kiri, tepatnya ke arah pemuda itu. Senyum tertahan pemuda itu memperlihatkan lesung pipi. Kulitnya yang kecokelatan dan bau matahari membuat Sha tak ingin berlama-lama menatapnya. Sha merasa ngeri.

Kembali pada angkot oranye yang Sha tumpangi. Setelah lampu merah, angkot tersebut agak mempercepat lajunya. Tapi kembali berjalan perlahan menjelang halte. Keempat penumpang hanya bisa mendesah kecewa dan bosan. Dari ekor matanya, Sha melihat pemuda itu masih menatapnya sambil tersenyum.

Uh, maunya apa sih?

***

"Bu Ruuuuum!" teriak Sha berlebihan.

Sha mengempaskan tubuhnya ke atas sofa marun di ruang tamu. Setelah harus mengerjakan tugas ospek yang macam-macam dan menghadapi kakak kelas yang 'sok senior', Sha merasa lelah. Belum lagi perjalanan pulangnya panas dan gerah. Sha harus berjibaku dengan asap kendaraan dan rokok, ditambah bertemu dengan preman kerempeng itu. Tiba di rumahnya yang adem, dia merasa lega.

Seorang wanita paruh baya berlari kecil menghampiri Sha. "Haduuuh, Sakinah udah datang," ucap Bu Rumi heboh. "Sendirian? Kirain dijemput Amih. Pantesan lama." Bu Rumi duduk di hadapan Sha.

Sha mengerucutkan bibir mendengar panggilan Bu Rumi padanya. Dia tak suka dipanggil Sakinah. Tapi Bu Rumi tetap saja memanggil namanya dengan Sakinah. "Si Amih seperti biasa, sibuk sama kerjaannya," jawab Sha bete.

Bu Rumi tersenyum maklum. "Gih, ganti baju trus makan. Nasi sama lauknya sudah ada di meja makan. Bu Rumi mau SMS-an sama si Akang dulu, ya." Bu Rumi berdiri dan melambai pada Sakinah.

"Deuh, yang sedang diterjang badai rindu. Makanya si Akangnya suruh pindah ke sini!" ledek Sha setengah berteriak pada Bu Rumi.

Si Akang yang dimaksud adalah suami Bu Rumi di kampung. Empang dan ternak ayamnya yang butuh dikelola membuat suami Bu Rumi tidak bisa turut bekerja dengan istrinya di rumah Rustam Anwar, ayah Sha.

Sha masih malas beranjak. Ruang tamu yang adem sungguh membuatnya lembam. Tepat di hadapannya terdapat cermin besar, memantulkan hiasan guci dan kristal berbagai model dan ukuran. Cermin itu juga memantulkan sosok Sha yang tengah duduk di atas sofa.

Menyadari bayangannya di cermin, Sha terbelalak dan mengerjap tak percaya. Dengan posisi duduk seperti di angkot tadi, kaus kaki tebal yang dipakainya rupanya tak sempurna menutup setengah betisnya. Rok seragam SMP yang mulai ngatung pun luput menutup sampai mata kaki. Alhasil kulit kakinya terlihat. Pantas saja preman tadi senyam-senyum sambil melihat ke bawah. Betisnya tersingkap!

Arghhh!

Sha mengerang kesal, sempurnalah ke-bete-annya hari ini. Sudahlah di sekolah harus mengikuti perintah kakak kelas yang aneh-aneh, ospek seminggu serasa enggak selesai-selesai, lalu di angkot dia harus bertemu dengan preman yang enggak banget. Sha hanya bisa menutupi wajahnya dengan kesal. Apa yang ada di pikiran preman tadi saat melihat kakinya? Uhh, tidak tahukah preman itu kalau kaki itu aurat perempuan? Seharusnya dia nunduk atau memalingkan wajah, bukannya ngelihatin sambil senyam-senyum.

Dengan asal Sha melepas kerudungnya dan berjalan gontai menuju meja makan.

“Eiiit .… Cuci tangan dulu, Sha. Seneng, yaa, makan ditemenin kuman,” teriak Bu Rumi dari arah dapur.

Bu Rumi ini cerewetnya melebihi Amih. Tapi Sha sudah terbiasa. Baginya Bu Rumi seperti ibu kedua. Masih dengan gontai Sha menuju wastafel dan mencuci tangan. Kejadian dengan preman tadi semakin membuat mood-nya terjun bebas. Kembali ke meja makan, sudah ada balado terong dan orek teri di hadapannya. Dengan sendok Sha mulai menyuapkan makan siangnya. Balado seperti ini lebih enak dimakan langsung dengan tangan kosong, tapi Sha sedang tak ingin mengotori tangan.

Suapan demi suapan Sha nikmati. Dia tersenyum, Bu Rumi memang the best. Masakannya juara.

Makan sudah, setelah ganti baju Sha memutuskan untuk tidur siang. Semoga setelah bangun nanti dia bisa melupakan preman itu selama-lamanya.

***

November 2010

Sepulang sekolah di Kota Kembang

Pemuda kerempeng itu naik ke atas pohon rambutan. Pohon tersebut adalah spot terbaik untuk melihat pemandangan di seberang jalan. Di seberang jalan berdiri sebuah sekolah menengah atas negeri. Sekolah terfavorit di kota itu.

Duduk di atas dahan, kakinya yang menggantung dia gerak-gerakkan. Sambil memakan rambutan dari pohon itu, matanya awas menatap bangunan sekolah di seberangnya. Memandang sekolah itu selalu mengingatkannya pada omongan sang ibu padanya.

"Itu sekolah Ibu dulu. Nanti kamu juga sekolah di situ, yaa."

Itu adalah pengharapan ibunya. Pemuda itu tersenyum sinis. Sekolah adalah hal yang tak akan bisa digapainya. Tak bisa atau tak mau? Entahlah. Dia terlalu skeptis. Seharusnya kini dia sudah mengenakan seragam putih abu-abu.

Mata pemuda kerempeng itu masih awas. Meneliti satu per satu siswa dan siswi yang keluar dari gerbang. Dia sedang menanti salah satu siswa yang berpenampilan agak berandal. Siswa itu punya barang yang dia butuhkan.

"Andre, lama amat," gumam pemuda itu.

Tidak lama di bawah pohon rambutan berdiri tiga orang siswi berseragam SMA dengan hijab. Tepat berada di bawah pemuda kerempeng itu. Mereka tengah menunggu angkot. 

"Sha, tadi Kak Arfa ngapain ke meja kamu?" Tara, teman sebangku Sha bertanya, membuka percakapan.

"Oh, nganterin buku. Bukuku ketinggalan di ruang PMR kemarin."

"Kak Arfa itu keren, ya. Udah ketua OSIS, aktif di PMR, aktif di jurnalistik juga," puji Dania. "Dia bisa banget jadi pangeran berkuda putihku." Pandangan Dania menerawang. Bagi Sha lebih mirip orang yang mengkhayal.

"Ah, Kak Arfa kurang menantang. Yang lebih keren itu Kak Andre. Bad boy-bad boy gimana gitu!" seru Tara gemas. "Kak Andre yang lebih tepat jadi pangeran berkuda putihku."

"Eh, ini untuk imam masa depan, ya. Di pengajian kemarin, kan, dibahas nggak boleh pacaran."

"Iya, Dania, ini pastinya pengharapan untuk masa depan. Seru-seruan aja."

Tara dan Dania lalu terkikik. Geli dengan pemikiran mereka masing-masing. Sha hanya menyimak. Dua sahabatnya sejak enam bulan ini memang kompak kalau ngomongin gebetan. Sha tak habis pikir, pengharapan masa depan atau nggak nundukin pandangan, nih? Bisa aja berdalih.

"Kalo kamu, Sha, siapa pangeran berkuda putihmu?"

"Aku, sih, kuda hitam kali. Kuda putih dah pasaran," jawab Sha santai.

PLUK PLUK

Biji rambutan yang masih ada sedikit daging buahnya, basah, dan lengket, berjatuhan menimpa tepat pada Sha. Bahkan di antaranya ada yang menimpa punggung tangannya.

"Apa ini? Iiih .... Jijik!" pekik Sha.

Tara dan Dania menengok ke atas.

"Eh, turun kamu!" teriak Tara pada pemuda kerempeng yang ada di atas pohon. Tara hendak mengomelinya karena buang biji rambutan sembarangan.

Pemuda kerempeng yang masih bingung—karena biji rambutan yang dia kumpulkan di tangan kirinya terjatuh—akhirnya melompat turun.

HAP

Setibanya di bawah, dengan menghadap pada Sha dia berujar polos, "aku mau jadi pangeran berkuda hitammu." Lalu tersenyum, lagi-lagi memperlihatkan lesung pipitnya.

Sha membeliak. "Kamu ... preman yang itu!"