cover landing

Mekar di Padang Gersang

By endah18269


The best times to show 'true love' are when it isn't easy and it requires personal sacrifice.
(fiercemarriage.com)

1996

Suciati, gadis berkulit kuning langsat itu menunduk dalam diam. Di hadapannya, di kursi berlapis kulit, duduk seorang lelaki paruh baya berwajah tampan, tapi memiliki sorot mata dingin dan tidak terlalu ramah. Meskipun begitu, Suciati tahu kalau orang itu sebenarnya pimpinan yang baik dan penuh perhatian pada karyawannya.

Pria berambut kelabu itu adalah RM. Sudiro Notokusumo yang jauh-jauh datang dari Yogyakarta. Tujuannya tak lain untuk mengunjungi putra tunggalnya, sekaligus memeriksa salah satu perusahaan garment miliknya yang ada di kota kecil tempat tinggal Suciati. Sedangkan Suci, panggilan wanita itu, adalah salah seorang karyawan bagian administrasi dan keuangan di perusahaan tersebut.

Suci masih mencerna ucapan lelaki yang juga ayah kandung bosnya. Bosnya yang sekarang sedang keluar karena ada meeting dengan calon pembeli potensial produk garmen mereka. Bos yang sangat dia kagumi karena punya karisma dan selalu menjaga sikap di dalam dan di luar kantor. Bos yang sangat dia cintai melebihi nyawanya sendiri. Laki-laki yang sudah menikahinya di depan jenazah bapaknya yang terbujur kaku selama proses akad nikah di hadapan penghulu tiga hari yang lalu.

Beberapa minggu sebelumnya, sang bos, R. Hadiningrat Notokusumo melamar Suciati di depan bapaknya, meski tanpa kehadiran kedua orang tua lelaki itu. Tak banyak pertimbangan, bapak Suciati langsung setuju. Sang bapak yang sangat memikirkan kebahagiaan putri tunggalnya sejak istrinya meninggal lima tahun lalu.

Laki-laki tua itu bersukacita melihat binar kebahagiaan di mata anak perempuannya. Kebahagiaan saat menatap penuh cinta lelaki muda yang juga atasannya di kantor. Ada kelegaan pada saat bapak Suciati menyetujui lamaran Hadiningrat. Lega karena masa depan anak perempuannya sudah terjamin. Sudah ada seorang laki-laki kuat, seorang calon suami yang akan mengurus putrinya.

Ada yang bisa diandalkan bila sesuatu terjadi pada lelaki tua itu, mengingat kondisi kesehatannya yang kian memburuk. Rencananya, pernikahan sederhana akan digelar secepatnya begitu calon suami Suci memberi tahu kedua orang tuanya di Jogja.

Namun, pernikahan tanpa pesta akhirnya digelar mendadak. Bapak Suciati meninggal tiga hari lalu karena sakit yang sudah lama dideritanya. Sebelum meninggal keinginan terakhir bapaknya adalah menikahkan Suci. Maka, untuk memenuhi keinginan bapaknya itulah mereka akhirnya menikah di depan jenazah sekaligus di depan penghulu. Pernikahan sederhana itu disaksikan teman dan kerabat dekat, lagi-lagi tanpa kehadiran kedua orang tua mempelai laki-laki. Tidak ada tawa dan senyum kebahagiaan, yang ada adalah tangisan duka lara dan kepedihan akibat kehilangan orang tua tercinta.

Suci sadar setiap yang hidup pasti mati. Waktu hidup bapaknya di dunia memang sudah habis. Laki-laki tua tercinta itu tidak perlu air mata kesedihan. Dia hanya perlu doa dan amal kebaikan sang anak untuk melapangkan jalannya di alam kubur sana.

"Aku ingin menjemput Hadi, kalau bisa hari ini juga aku ajak pulang ke Jogja. Kami akan berkunjung ke calon besan akhir pekan ini. Untuk acara lamaran dan memastikan tanggal pernikahan Hadi dan calon istrinya. Tentu saja setelah menyelesaikan beberapa urusan yang ada di sini. Oya, kamu masih mengurusi administrasi dan juga keuangan di sini, kan?" Ucapan RM. Sudiro Notokusumo itulah yang tadi membuatnya terdiam agak lama. Namun, kini Suci tersadar kembali oleh kenyataan pahit yang harus ditelannya.

"Maaf, maksud Bapak, Pak Hadi akan segera menikah?" tanya Suci dengan suara bergetar.

Kata-kata laki-laki tua itu bagai sembilu yang merobek hatinya. Ternyata, berita pernikahannya dengan sang atasan belum sampai ke telinga keluarga besar Notokusumo.

Lalu apa arti dirinya juga perkawinan mereka beberapa hari yang lalu itu bagi Hadiningrat Notokusumo? Gadis itu kembali termangu dengan hati serasa tercabik-cabik. Dia tidak bisa menyalahkan sang mertua, pria yang kini duduk di hadapannya itu, jika tak mengerti sama sekali kalau Suci adalah menantu yang sudah dinikahi oleh anak laki-lakinya, Hadiningrat Notokusumo. Karena suaminya memang belum mengabarkan berita itu kepada keluarga besarnya.

"Iya betul, Hadi akan segera menikah. Dia sudah terlalu lama menunda keputusannya. Padahal perjodohan itu kan sudah lama, sejak mereka sekolah. Kedua keluarga besar sudah setuju, jadi hanya soal waktu saja," ujar RM. Sudiro Notokusumo sambil memperhatikan gadis cantik yang jadi bawahan anaknya itu.

Gadis sederhana yang sudah bekerja di perusahaannya selama hampir empat tahun. Pekerjaannya nyaris sempurna selama ini. Suci menangani semua urusan keuangan juga administrasi dibantu oleh seorang asisten. Perempuan itu memiliki kulit kuning langsat, rambut hitam yang tebal dan panjang, yang disanggul indah di atas tengkuknya. Wanita muda cantik yang baru mekar. Ada sesuatu yang berbeda pada gadis yang sedang duduk termangu di depannya itu.

Saat itu seperti ada aura kedukaan dan kepahitan di raut mukanya. Namun, sesaat kemudian, mendadak semua lenyap diganti dengan senyum lebar tersungging di bibir merahnya yang tanpa polesan lipstik itu.

"Wah, selamat kalau begitu, Pak. Sebentar lagi mantu. Saya berharap semoga semua berjalan lancar," ucapnya tulus sambil mengulurkan tangannya. RM. Sudiro Notokusumo menyambut uluran tangan gadis itu dan menggenggamnya erat sambil tersenyum.

"Terima kasih, Suci, aku akan mengandalkanmu di sini sementara Hadi ada di Jogja. Kinerjamu bagus dan sudah kamu buktikan selama ini. Jangan khawatir, perusahaan akan menghargai jerih payahmu itu," ucap laki-laki setengah baya itu tanpa tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hati gadis cantik yang duduk tersenyum di hadapannya.

"Terima kasih kembali atas apresiasinya, Pak. Sebelumnya saya mohon maaf. Bapak saya baru meninggal beberapa hari yang lalu. Saya harus menyelesaikan beberapa urusan di luar kota, tempat kampung halaman bapak saya. Jadi dengan terpaksa saya harus mengundurkan diri dan meninggalkan perusahaan ini, Pak. Karena saya tidak tahu sampai berapa lama saya pergi." Suci menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.

"Sebenarnya, saya baru akan membicarakan hal ini dengan Pak Hadi, tapi tertunda karena kami mendadak mendapat kontak dari seorang calon pembeli potensial yang harus beliau temui sendiri hari ini."

Suci berbicara dengan tenang meski otaknya berpikir cepat bagaimana mengatasi persoalan di depan matanya yang jelas-jelas sudah memporak-porandakan kehidupannya. Dia segera memutuskan, meski beban berat itu harus dia tanggung sendiri setelah kini kedua orang tuanya tidak ada lagi.

"Oh, maaf. Aku ikut berduka atas meninggalnya ayahmu. Tapi, apakah keputusanmu itu tidak bisa ditunda lagi? Lantas, bagaimana dengan urusan administrasi dan keuangan perusahaan ini?" tanya RM. Sudiro Notokusumo. Laki-laki itu tidak bermaksud egois, tapi dia tidak mungkin membiarkan administrasi perusahaannya morat-marit setelah ditinggal pergi salah satu pegawai kepercayaannya.

"Oh, Bapak tidak usah cemas, saya yakin pasti Pak Hadi bisa mengatasi persoalan tersebut. Masih banyak karyawan yang bisa diandalkan. Laporan triwulan, arsip, dan laporan keuangan sudah saya siapkan di meja saya, Pak. Saya tinggal menyerahkannya pada Pak Hadi, beserta surat pengunduran diri saya," ucap Suci dengan tenang sambil berdiri.

"Saya sekalian mau pamit Pak, sore ini juga saya harus berangkat. Semua laporan dan dokumen yang perlu follow up Pak Hadi akan segera saya siapkan di meja beliau sebelum saya pergi. Sampaikan salam dan maaf saya pada Pak Hadi. Maaf tidak bisa bicara langsung dengan beliau. Tapi saya rasa dengan Bapak juga sama saja 'kan," sambung gadis itu lagi sambil tersenyum.

"Baiklah kalau memang itu sudah jadi keputusanmu. Jika setelah urusanmu selesai kamu belum punya pekerjaan, kamu bisa kembali lagi ke perusahaan ini," sahut RM. Sudiro Notokusumo dengan tegas yang hanya disambut Suci dengan senyum tipis di bibirnya sebelum dia berlalu dari hadapan laki-laki itu.

Keputusannya sudah bulat, Suci tidak akan membiarkan orang yang dicintainya melakukan kesalahan besar yang akan disesalinya seumur hidup bila dia mempertahankan perkawinannya, yaitu durhaka pada kedua orang tuanya. Meski gadis itu terpaksa mengorbankan perkawinan yang baru berumur tiga hari, dia rela. Hidup akan terus berjalan, dia pasti bisa melewatinya meski dengan kesendirian berteman luka hati yang entah kapan sembuhnya.