cover landing

Meet Me in Athens

By erlin🎐


Prolog

“DICARI ke mana-mana ternyata nongkrong di sini. Tangkap!”

Dengan salah satu tangan, Widha meraih sekotak susu kemasan rasa taro yang dilemparkan Deno. “Apa susahnya simpan di meja, sih?”

“Cuma pengin memastikan kamu masih hidup setalah dapat kabar tadi pagi.” Deno mengambil kursi kosong dari meja belakang. “Kamu mahasiswa pertama dari angkatan kita yang bakal sidang, bareng kakak tingkat pula. Tapi kok murung? Enggak suka?”

Sembari memutar-mutar susu kemasan, Widha memeriksa kantin. Selain dia dan Deno, hanya ada sekelompok mahasiswa berseragam hijau dari Teknik Informatika yang berkumpul di sudut. Beberapa penjual makanan bercengkerama di sekitar stand mereka. Tatapan Widha lantas berakhir pada Deno yang tengah menanti jawaban.

“Aku terlalu kaget. Semua rencana yang kususun berjalan lancar.”

“Lulus S1 dalam waktu tiga setengah tahun? Terdengar bagus buatku.”

“Ada yang lain,” gumamnya. “Ingat kompetisi menulis esai dari agen travel yang hadiahnya jalan-jalan ke Athena?”

Pemuda di sampingnya mengangguk.

“Aku nyaris lupa pernah submit tulisan. Pas kirim juga pasrah soalnya yang ikut pasti banyak banget.” Kemudian, Widha mengambil ponsel. “Ternyata hari ini mereka mengumumkan pemenangnya dan aku jadi juara satu.”

Deno mendelik. Sebelum dia sempat mengucapkan sesuatu, Widha memperlihatkan pengumuman yang diunggah agen travel di salah satu akun media sosial. Sesaat, keduanya bersitatap sampai Deno menyalami erat tangan Widha.

Congrats! Kamu memang pantas pergi ke sana.” Keduanya berbalas high five. “Naomi pasti bakal senang mendengarnya.”

Senyum Widha perlahan mengisut. Dari sekian orang yang ingin dia beri tahu, Naomi yang seharusnya jadi penerima kabar pertama. Widha dapat membayangkan matanya yang berbinar. Pekikan gembiranya. Rambutnya yang berayun saat melompat kegirangan.

Sayang kebahagiaan tersebut hanya bisa Widha bayangkan dalam benaknya.

“Sori, enggak bermaksud bikin kamu sedih.” Deno berdeham. “Terus, apa ada yang mengganjal? Apa tanggal keberangkatannya bentrok?”

No. Kemungkinan besar aku bakal terbang sebulan setelah wisuda.” Dimasukkannya susu taro ke dalam tas. “Cukup mengejutkan aku bisa mewujudkan impianku ini selepas kuliah. Kukira aku baru bisa ke Yunani setelah jadi budak korporat.”

Come on, you deserve it anytime.”

Dalam diam, Widha mensyukuri keberadaan Deno. Sejak masuk universitas, pemuda itu adalah satu-satunya orang yang kuat sekaligus sabar menyimak ocehannya seputar Yunani, terutama Athena. Entah saat mengulas buku atau berita terkini yang terjadi di negara itu.

Butuh waktu cukup lama bagi Widha sampai dia yakin Deno benar-benar tulus berteman dengannya. Berbeda dari sebagian orang yang baru menyebut dirinya ‘kawan’ bila sedang membutuhkan sesuatu.

Anyway, makasih, Deno.”

“Hm?” Deno mengeluarkan kotak makan dari ransel. “Buat apa?”

You’re the only sane person who listens to me.”

“Apaan, sih, Wid. Kamu enggak bertingkah aneh di mataku.”

“Ka—uh, itu bau—” Serta-merta, Widha menutup hidung. “Deno, kamu bawa—“

Dengan wajah polos, Deno membuka kotak. Penganan di dalamnya sontak membuat Widha mendorong mundur kursinya. “Kamu enggak bakal nemu pancake durian di Yunani.”

“Baguslah, bisa hancur rencana jalan-jalanku!”

Seringai terbit di wajah Deno. “Kalau kamu kangen sama aku, ingat saja bau ini.

“Jijik!” Widha mati-matian menahan keinginan untuk muntah sembari membereskan barang. “Jangan temui aku sebelum baunya hilang dari badan kamu!”

Deno menggigit pancake-nya. “Apa?”

“Bodo amat, Deno! Aku mending ngurus bahan sidang di rumah aja.”

Seperti Deno yang memaklumi obsesinya pada Athena, Widha berusaha bertahan melihat kecintaan pemuda itu terhadap durian—buah yang paling dia benci. Namun, kedekatan mereka belum mampu meyakinkan Widha untuk menyampaikan satu tujuan lain yang membuat keberangkatannya ke Yunani lebih mendebarkan.

Widha akan menjemput cinta lamanya yang belum terbalas.

***

1

ATHENS International Airport Eleftherios Venizelos

Kesibukan di bandara tak mengusik Nathan selepas keluar dari pesawat. Seakan sudah jadi rutinitas, pemuda itu melewati pemeriksaan, mengambil koper dan ransel, lalu melangkah cepat menuju jalan keluar. Nathan menunggu taksi yang dipesan online sembari mengamati lautan manusia yang silih berganti melintas.

Apa lagi yang mau kamu perjuangkan, Nathan? Semuanya sudah berakhir.

Nathan mendengus. Harus diakui dia bertingkah seperti para tokoh protagonis novel komedi romantis yang kena patah hati berat: melarikan diri sejauh mungkin untuk melupakan masa lalu. Bedanya, tak ada skenario jatuh cinta dengan penduduk lokal atau sesama. Kunjungannya ke Yunani terdengar seperti menyiksa diri, karena semua kenangan manisnya tersimpan di sana.

“Nathan Strauss?” Seorang pria tambun berkumis membuka jendela taksi. “Nate?”

“Ilias?” Nathan menurunkan kacamata hitamnya untuk memastikan sejenak. “Hei, bukannya kamu bekerja di kedai Giorgos?”

“Ceritanya panjang. Masuk dulu. Giorgos dan Dafni menunggu di rumah.”

Perjalanan menuju Elpida, penginapan yang Nathan tempati setiap bertamu ke Athena, lebih lambat dibandingkan biasanya. Dari balik jendela, Nathan mengamati para wisatawan menyemuti kafe dan restoran tradisional; mengambil foto dalam berbagai pose untuk diunggah ke media sosial. Sejumlah pasangan pun bergandengan di sepanjang trotoar tanpa ragu berbagi kemesraan.

Nathan melengos; mencegah pemandangan tadi menggarami luka lamanya.

Kepadatan semakin terasa saat mereka hendak melewati Monastiraki. Syukurnya, Ilias hafal jalan-jalan pintas, sehingga dalam hitungan menit, mereka tiba di rumah berlantai dua. Bugenvil yang tumbuh di depannya merekahkan bunga-bunga berwarna ungu; mengimbangi warna putih dari cat tembok bangunan.

“Nathan!” Seorang perempuan paruh baya menghambur dari dalam rumah. Aroma rempah dan matahari langsung menyambut kala sosok itu memeluk Nathan. “Kamu datang di waktu yang tepat. Aku sedang mempersiapkan bahan-bahan makan malam.”

“Apa aku boleh bergabung, Dafni?” celetuk Ilias saat mengeluarkan koper Nathan dari bagasi.

“Ya, ya, tapi tolong kabari Giorgos dulu kalau Nathan sudah datang.”

Seperti biasa, Dafni tak memberikan jeda bagi Nathan untuk bicara. Berbagai kisah keluar dari bibirnya hingga gelungan rambutnya bergoyang saat tertawa. Dafni adalah wujud musim panas sesungguhnya bagi Nathan: sosok yang mampu memancarkan sekaligus menularkan keceriaan pada siapa saja yang ditemuinya.

“Kamarmu.” Dafni menyerahkan kunci. “Kebutuhan yang kamu minta juga sudah tersedia. Selamat beristirahat.”

“Terima kasih, Dafni.”

Satu lagi yang membuat Nathan memilih Elpida sebagai tempatnya bermalam: Dafni tak pernah mengungkit kenangan-kenangan buruknya meski perempuan itu menyaksikan keterpurukan Nathan setahun lalu.

***

Jangan menangis. Jangan menangis.

Widha mengerjap semakin cepat. Luapan emosinya kian menjadi begitu matanya membaca tulisan dalam bahasa Yunani di sekitarnya. Percakapan lintas bahasa dari sejumlah turis pun meyakinkan Widha kalau dia telah menginjakkan kaki di Kota Para Dewa.

Setelah menemukan bangku kosong, Widha menenangkan diri dari antusiasme dan kecemasan yang menyerangnya selama belasan jam di udara. Gadis itu lantas memeriksa daftar hal yang harus dilakukan setibanya di bandara. Mengecek barang-barang bawaan dan menukar mata uang sudah dilakukan. Dia juga perlu mencari provider lokal meski nomor telepon utamanya bisa aktif di luar negeri.

Satu hal penting yang harus segera Widha lakukan adalah menemukan kendaraan menuju penginapan.

Jam hampir menunjukkan pukul enam petang, tetapi matahari belum meluncur ke ufuk barat. Kerumunan di sekitar jalan keluar pun kian memadat. Paket data ponselnya tak memungkinkan Widha memesan taksi lewat aplikasi. Mau tak mau, dia menggunakan taksi biasa untuk menghindari peluang tersesat pada kunjungan perdananya ke Athena.

Kalispera(Selamat malam/good evening),” sapa Widha saat memasuki taksi yang dia hentikan. “Antarkan saya ke penginapan—sebentar.” Kemudian, dia menyerahkan secarik kertas pada sopir.

Sang sopir membaca alamat pada kertas, lalu melirik Widha. “Signomi, milatay Ellenika?( Maaf, apa Anda bisa berbahasa Yunani?)”

Kumpulan kosakata dan frasa dalam bahasa Yunani dalam ingatan Widha berhamburan. Dia memahami pertanyaan sang sopir, tetapi bimbang harus menjawab apa.

Menangkap kebingungan dari roman penumpangnya, sang sopir lantas melanjutkan, “Tidak apa-apa, Nona. Saya bisa bahasa Inggris juga meski tak terlalu lancar.”

Widha tersenyum kikuk menanggapinya.

Athena kian ramai mendekati makan malam. Widha memanfaatkan momen tersebut untuk mengambil sejumlah foto yang nantinya akan diunggah ke Instagram—salah satu permintaan penyelenggara kompetisi menulis kepada pemenang yang wajib dipenuhi. Malah Widha sudah membayangkan kerangka tulisan yang bakal dinaikkan ke blog pribadi.

“Nona,” sopirnya memanggil, “saya tidak bisa mengantar sampai alamat yang dituju. Aksesnya tertutup dan ada banyak kendaraan yang mengambil jalan alternatif.”

Oh, sial. “Apa tempatnya masih jauh dari sini?”

“Syukurnya tidak. Anda lihat kedai di seberang jalan itu? Jalan lurus sampai ujung, lalu belok ke kiri. Ada plang nama penginapan yang bisa Anda temukan di blok itu.”

“Baiklah.” Widha menyerahkan ongkosnya. “Efharisto(Terima kasih).”

Enjoy your stay,” ujar sang sopir sebelum berputar ke rute semula.

***

Cepat-cepat, Widha memeriksa lagi koper dan ranselnya. Aman. Gadis itu hendak melanjutkan perjalanan kala menyadari bangunan-bangunan di sekitarnya terasa familier. Toko-toko cendera mata tradisional. Deretan kafe yang menjajakan penganan khas Yunani. Bookstore tua. Penjual kaki lima.

“Monastiraki,” gumam Widha. “Monastiraki.”

Matanya memanas lagi. Bukan waktu yang tepat untuk terbawa emosi, apalagi saat tubuhnya membutuhkan istirahat. Widha menengadah; menahan aliran air mata yang siap tumpah, lalu mengambil napas panjang dan melepasnya beberapa kali. Konsentrasi, batinnya. Bersikap normal.

Kedai yang dimaksud sopir taksi tadi merupakan coffeeshop yang menyuguhkan berbagai minuman dan camilan buatan rumah. Widha memotret momen-momen memukau di tempat tersebut, lalu menyusuri jalan kecil ke arah penginapan. Obrolan yang berbaur bersama aroma masakan dan denting alat makan menciptakan harmoni musim panas yang selama ini hanya Widha bayangkan saat membaca buku.

Dia bersedia terjebak dalam keindahan ini untuk waktu yang lama.

Akan tetapi, sebelum sampai ke ujung jalan, insting Widha berkata bila dirinya sedang diikuti. Gadis itu berhenti, lalu memindai sekitar. Para wisatawan dan penduduk lokal tampak menikmati malam mereka. Tak ada yang mencurigakan. Mungkin isyarat tadi adalah gejala kelelahan lain yang diteriakkan tubuhnya agar cepat-cepat mencapai tujuan.

Maka, ditariknya koper dan dipercepatnya langkah menuju penginapan. Keramaian di belakangnya berangsur menjauh. Di hadapannya, terbentang blok baru yang lebih lengang. Widha menoleh ke kanan dan kiri, lalu menemukan plang nama yang dicari.

Kelegaan membanjiri Widha. Namun, saat hendak berbalik, gadis itu tak awas hingga bertubrukan dengan seseorang dari jalan kecil tempatnya datang. Keduanya mundur beberapa langkah sembari mengaduh. Widha membetulkan letak kacamata, lalu menghampiri pria yang ditabrak.

“Maaf, maaf,” katanya. “Ada yang terluka?”

“Tidak, tapi souvlaki-ku jatuh,” sahut pemuda itu sambil mengumpulkan daging dan sayur yang tercecer. (terdiri dari potongan daging dan sayur yang disusun dalam tusukan)

“A-aku ganti, ya? Berapa—“

“Tidak perlu, tinggal beberapa potong lagi. Bisa kuberi ke kucing liar sekitar sini.” Tanpa menggubris Widha, pria itu menaruh sisa souvlaki di sudut jalan. “You must be new here. Aku jarang lihat turis bawa koper di jalan sempit. Satu menit lebih lama di sana, pencopet bakal menjadikanmu sasaran empuk.”

Jadi orang ini yang mengamati Widha. “Well, ya, ini kali pertama aku ke Athena.”

“Lalu, di mana kamu menginap?”

“Elpida.”

Kening lawan bicaranya mengernyit. Dia menunjuk bangunan bertembok putih di blok tersebut. “That one?”

Widha mengangguk.

So, you’re the new guest they’ve been talking about.” Sebelum sempat menanggapi, pria itu mengulurkan tangan. “Nathan. Aku juga bermalam di Elpida. Kami kebetulan menunggumu untuk makan malam.”

“Widha.” Dia menjabat tangan Nathan. “Kalian sudah lama menungguku? Aku terjebak macet sebelum sampai Monastiraki.”

Not really. Aku beli souvlaki dulu untuk mengganjal perut. Mungkin sekarang Dafni sedang menata hidangan bersama Giorgos.” Nathan mengambil kopernya. “Ayo.”

Widha mengekori Nathan menuju Elpida. Hari pertamanya di Athena bisa dikatakan berjalan lancar. Gadis itu berharap tak ada masalah serius mengganggu selama dua minggu ke depan. Impiannya menapakkan kaki ke Yunani terwujud dan tak ada satu orang pun yang boleh menghancurkannya.

***