cover landing

Me & Mr. Five Star

By SHAB


🎵 Perfect (Acoustic Version) – Simple Plan
Me & Mr. Five Star Soundtrack
Dengarkan playlist-nya di Spotify: Shabrina Huzna


Dua tahun lalu.
Dubai, Uni Emirat Arab.

"Keluar kau dari sini!"

Suara Robert Cole masih mengiang di kepala. Adria tidak menyangka ayahnya baru saja mengusirnya padahal mereka sedang berada di negara orang. Semua sudah telanjur terjadi, jadi tidak ada hal lain yang gadis itu lakukan selain pergi.

Kini Adria sudah berada di Bandara Internasional Dubai. Meski pikirannya masih kalut, ia tetap berjalan menarik koper masuk ke gedung bandara dengan air mata berderai. Ia terus menundukkan kepala agar orang-orang sekitar tidak dapat melihatnya sedang menangis, padahal tidak apa-apa juga untuk menangis. Bukankah menangis adalah sesuatu yang biasa terjadi di bandara? Banyak orang yang menangis di bandara karena perpisahan, sedangkan Adria sendiri akan berpisah dengan segala masa lalu dengan ayahnya.

Pandangan mata Adria jadi kabur akibat air mata yang terus membendung hingga akhirnya membuatnya tak sengaja menabrak seseorang. Ia pun terjatuh beserta dengan barang-barang yang dipegangnya jadi berserakan di lantai.

"Maafkan saya, Miss," ucap pria yang ditabraknya. Kemudian pria itu membungkuk, mencoba membantu Adria. "Apa kau baik-baik saja?"

Adria sempat terkejut saat mendengar pria itu menggunakan logat Australia yang sama dengannya. Sekilas ia memperhatikan pria itu yang tampak begitu rapi dengan jas hitamnya juga aroma parfum yang tercium sangat maskulin dan berkelas.

Adria terlalu fokus menatap pria itu, sampai pada akhirnya mata mereka bertemu. Pria itu menatapnya dengan raut khawatir. Astaga! Dia menyadari Adria yang habis menangis. Sambil buru-buru menyeka pipinya, Adria menjawab, "Saya tidak apa-apa, Sir."

Sekarang, pria berjas hitam rapi itu sedang mengumpulkan barangnya yang berserakan di lantai, dibantu dengan pria di sampingnya yang Adria yakini sebagai asistennya.

"Ternyata Anda dari Australia," ucap pria itu ketika melihat sampul paspor Adria yang bersimbolkan kanguru dan burung emu.

Adria masih diam sambil menerima paspor dan barang lainnya yang diberikan oleh pria itu dan asistennya.

"Sepertinya Anda sedang dalam masalah. Apa ada yang bisa saya bantu? Karena saya juga dari Australia," jelas pria itu dengan logat Australia yang semakin kental.

"Tidak apa," tolak Adria halus, karena sesama warga Australia pun tidak akan bisa membantu masalahnya dengan Robert Cole. "Terima kasih tawarannya, Sir. Saya permisi." Tanpa berlama-lama lagi, ia kemudian pergi meninggalkan pria itu dan asistennya.

Kini Adria berjalan mencari gate pesawat seraya menyeka pipinya yang masih basah. Entah bagaimana air matanya masih terus mengalir meski ia sudah berusaha sekeras mungkin menahannya.

Saat sudah berada di ruang tunggu, lagi-lagi Adria teringat dengan peristiwa tadi pagi. Ia jadi menyesal telah ikut mengambil proyek di Dubai bersama ayahnya. Sebenarnya pertengkaran tadi bukanlah hal baru, karena Adria sering berbeda prinsip dan pendapat dengan ayahnya. Namun, apa yang terjadi tadi pagi merupakan pertengkaran terbesar mereka. Karena tadi ayahnya menyuruhnya untuk keluar, Adria tidak segan-segan untuk bahkan keluar dari hidup ayahnya. Ini adalah kesempatannya untuk kabur dari kekangan ayahnya.

Kini Adria memandang tiket pesawatnya yang bertuliskan namanya, Adrianne Cole Gwen. Jika ayahnya sudah tak lagi menganggapnya sebagai anak, haruskah ia menghapus nama belakang Cole milik ayahnya?

Lalu terdengar oleh Adria pengumuman bandara bahwa gate pesawatnya telah dibuka. Ia pun menghela napas panjang. Ia harus ikhlas menerima keadaannya. Setelah ini hidup barunya dimulai. Menegangkan, namun sisi positifnya ia jadi bisa mencoba karier yang selalu diimpikannya tanpa perlu merasa takut dengan ayahnya. Saat merasa sudah siap, ia bangkit lalu masuk ke pesawat.

***

Gelenyar keberanian membawaku untuk mengejar mimpiku. Lembaran baru akan kutuang dengan tinta yang bertuliskan segala proses dari kegagalan dan keberhasilan.
Ini aku yang baru.

-Adrianne Gwen-


Dua tahun kemudian.
Sydney, Australia.

Beberapa klien yang berjas rapi kini keluar dari ruang rapat. Adria pun membereskan beberapa kertas di atas meja sambil tersenyum puas karena rapat telah selesai dan klien puas terhadap hasilnya.

Sampai saat ini Adria masih tidak percaya telah berhasil menjadi penanggung jawab sekaligus pemimpin untuk proyek iklan kali ini. Target pasar dari produk permen milik klien tadi ditujukan untuk anak-anak, dan iklan kartun tentu akan menarik perhatian anak kecil yang sedang menonton televisi atau iklan di internet. Sebagai salah satu animator di perusahaan jasa advertising, tidak heran jika Adria yang ditunjuk untuk menangani iklan anak-anak. 

Selain itu juga, Adria tidak menyangka hidupnya telah berubah 180 derajat. Setelah dua tahun lalu diusir oleh ayahnya, kini ia bisa menjadi seorang animator sukses, pekerjaan yang dulu ayahnya pernah remehkan.

Ketika keluar dari ruang rapat, Dave Miller, rekan kerja Adria yang juga seorang animator, memanggilnya dengan nama belakang. "Gwen!"

Ya. Nama belakang Cole sudah tidak lagi Adria gunakan karena ia tidak ingin orang-orang mengetahui dirinya memiliki hubungan darah dengan arsitek ternama, Robert Cole. Jadi Adria memutuskan untuk menggunakan nama belakang ibu kandungnya, Gwen.

Adria menoleh. "Hai, Dave!" sapanya balik.

"Jadi bagaimana?" tanya Dave penasaran.

"Klien mengambil video iklannya dan mereka bilang akan menggunakan jasa kita lagi untuk produk selanjutnya," kata Adria dengan girang.

"Wow! Selamat, ya!" seru Dave sambil memeluk Adria spontan. Adria pun memeluk balik Dave.

Tiba-tiba seseorang berdeham yang sontak membuat dua orang itu kalang kabut. "Miss Gwen, Mr. Miller," panggil William Flynn dengan wibawa seorang atasan kepada bawahan mampu membuat Gwen dan Miller tersenyum canggung.

"Miss Gwen, selamat atas kerja kerasmu. Aku tahu kau bisa kuandalkan dalam proyek ini," puji William.

"Terima kasih, Sir."

"Karena proyek sudah selesai, berarti kau dan Dave sudah siap pergi ke Melbourne lusa untuk pelatihan, kan?" tanya William.

"Sudah," jawab Dave dengan yakin.

Namun tidak dengan Adria yang kini sedang menelan ludah dengan berat. Dua tahun lalu, setelah meninggalkan Dubai, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kota yang berbeda dengan tempat tinggal ayahnya di Melbourne. Akhirnya Adria memilih Kota Sydney untuk memulai hidup barunya.

Namun, setelah berupaya menghindar, mengapa sekarang pekerjaannya malah mengharuskan kembali ke Kota Melbourne? Meski hanya akan berlangsung satu minggu, Adria tetap ragu.

"Adria?" panggil William, "Kau sudah siap?"

Sontak Adria yang sadar dari lamunan kini mengerjap. "Sudah," jawabnya berbohong demi menjaga sikap profesionalnya. Ia tidak boleh mencampurkan masalah keluarga dengan pekerjaannya.

"Baiklah. Kudengar Emma sudah menyelesaikan proyek iklannya juga, jadi kalian bertiga seminggu ke depan hanya perlu fokus untuk belajar pemasaran digital,” pinta William.

Adria menghela napas lega karena Emma, sahabat senior sejak kuliah sekaligus rekan kerjanya akhirnya bisa ikut dengannya ke Melbourne.

***

Melbourne, Australia.

Sudah dua tahun Adria tidak ke Melbourne dan sekarang ia tidak menyangka bisa menginjak kota kelahirannya itu lagi. Kini Adria bersama dua rekan kerjanya sedang berada di hotel yang akan menjadi tempat tinggalnya sekaligus tempat pelatihan. Mereka pun membagi tugas. Adria dan Emma pergi ke lobi hotel untuk check-in, sementara Dave memarkirkan mobil.

Saat masuk, mata Adria langsung berbinar takjub dengan desain interior lobi hotel yang begitu elegan, modern, dan didominasi dengan warna emas. The Raymond Suite adalah salah satu hotel megah berbintang lima di kota Melbourne. Di bagian kanan lobi terdapat tangga besar dengan karpet yang menutupi setiap anak tangganya. Lalu lampu besar dan berkilauan di tengah lobi membuat hotel terkesan mewah.

"Aku benar-benar tidak menyangka William menyewa kamar untuk kita selama seminggu di hotel mewah ini," ucap Adria.

Emma menjawab sambil tersenyum girang, "Itulah yang kusuka dari William, dia tidak pernah pelit dengan karyawannya."

Setelah itu, mereka berdua menghampiri meja resepsionis dan langsung disambut ramah oleh resepsionis wanita dengan wajah keturunan Asia. "Selamat pagi! Selamat datang di The Raymond Suite. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ya, kami ingin check-in dua kamar atas nama Mr. William Flynn," ujar Adria.

"Baik, tunggu sebentar." Kini resepsionis menatap layar komputernya.

Kemudian tiba-tiba saja datang seorang wanita paruh baya yang kini berdiri di samping Adria. "Maaf, boleh saya menyela?" tanya wanita paruh baya itu pada Adria. "Saya sedang buru-buru mengejar jam pesawat."

Adria melihat memang semua resepsionis sedang sibuk melayani tamu, tidak ada resepsionis yang sedang menganggur. "Oh, tidak apa-apa, Maam. Silakan," ucap Adria sopan. "Miss, tolong layani ibu ini saja dulu," pintanya pada resepsionis itu.

"Baik," jawab resepsionis sambil tersenyum. Adria dan Emma pun mundur menjauh dari meja resepsionis.

Kemudian wanita paruh baya itu menaruh kartu akses kamar hotel di atas meja resepsionis dan mengatakan ingin segera check-out. Setelah urusan wanita paruh baya itu selesai, Adria dan Emma kembali mendekati meja resepsionis.

Kini Adria melihat tiga kartu akses yang ada di atas meja yang Adria yakini salah satunya milik ibu paruh baya tadi, sedangkan dua kartu lainnya adalah milik mereka.

"Tadi atas nama Mr. William Flynn, benar?" tanya si resepsionis memastikan.

"Ya, benar," jawab Adria.

"Ini kartu akses Anda," tunjuk resepsionis pada kartu akses di bagian kiri Adria. "Kamar Anda adalah 1205 dan 1207. Ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis sambil tersenyum ramah.

"Tidak. Terima kasih," jawab Adria sambil mengambil kartu akses.

"Sama-sama, Miss."

Adria dan Emma pergi menuju lantai dua belas. Saat tiba, Adria membuka kamar pertama untuk Dave, 1205. Dave pun masuk membawa kopernya. Lalu ketika hendak membuka kamar 1207, layar sensor pintu menampilkan warna merah yang berarti akses ditolak. "Kenapa tidak bisa?" tanya Adria sambil masih terus mencoba menempelkan kartu akses, namun tetap tidak berhasil. 

"Apa kartunya tertukar dengan ibu yang tadi?" tanya Emma menduga.

"Sepertinya begitu," ucap Adria yang kemudian menyerah untuk mencoba membuka pintu. "Kalau begitu, aku akan ke bawah lagi, kau tunggu saja di kamar Dave."

Emma malah duduk di atas koper lalu membuka ponselnya, "Tidak. Aku menunggu di sini saja," jelasnya.

Adria memutar bola matanya karena dapat menebak sahabatnya itu pasti sedang membuka aplikasi surel. Dasar, workaholic, batinnya sambil berusaha menahan tawa. Kemudian, ia pun berjalan menuju lift.

"Jangan lama-lama," tambah Emma.

"Iya," sahut Adria dari lorong hotel.

Ketika tiba di lobi, ia tidak melihat resepsionis berwajah Asia yang tadi melayaninya. Kini hanya ada beberapa resepsionis yang sibuk melayani tamu hotel dan juga seorang pria tampan dengan setelan jas mahal tengah berdiri di belakang meja. Dia jelas bukan resepsionis di hotel ini.

Meski ragu, Adria tetap menghampiri meja resepsionis, mungkin saja pria tampan itu dapat membantunya.